Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

PR Pemerintah di Hari Nelayan Nasional: Masih Banyak Nelayan yang Miskin

Di Hari Nelayan Nasional, tercatat masih banyak nelayan yang hidupnya di bawah garis kemiskinan.

6 April 2023 | 22.44 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Sejumlah warga berada di atas kapal saat mengikuti pelepasan sesajen ke laut dalam tradisi Nadran Pesta Laut atau Festival Kampung Nelayan di Cilincing, Jakarta, Sabtu 22 Oktober 2022. Komunitas Nelayan Cilincing (Kunci) menggelar tradisi Nadran Pesta Laut yang ke-20 sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta akan limpahan rezeki hasil laut. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 6 April 2023 masyarakat Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Momen ini didedikasikan tiap tahunnya sejak 1960 sebagai bentuk apresiasi kepada nelayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi meski “diapresiasi” tiap tahun, faktanya masih banyak nelayan yang belum sejahtera. Bahkan tak sedikit nelayan yang melaut untuk sekedar menyambung hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal Indonesia menduduki posisi kedua negara penghasil ikan dunia, menurut data Europe Commision atau EU. Sudah sewajarnya nelayan hidup makmur, namun itu bak panggang jauh dari api.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP, pada 2015, masyarakat nelayan menyumbang sekitar 32,14 persen angka kemiskinan yang ada di Indonesia. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2018, 20 sampai 48 persen nelayan di Indonesia masih miskin.

Bahkan, data pada 2019 menunjukkan kurang dari 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta nelayan, belum berdaya secara ekonomi maupun politik, dan berada di bawah garis kemiskinan.

Lantas mengapa masih banyak nelayan belum sejahtera? Apa sebenarnya PR pemerintah?

Menurut Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia atau KNTI, M Riza Damanik, ada beberapa hal yang mempengaruhi nelayan lokal Indonesia masih tergolong miskin. Pertama, jumlah tangkapan hanya sedikit. Meski ikan di lautan melimpah, namun nelayan lokal kalah dari kapal-kapal besar. Apalagi adanya kapal asing yang ikut mencari ikan secara ilegal.

Selain itu, penyebab lainnya adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar keluarga nelayan. Antara lain fasilitas kesehatan kurang memadai, akses air bersih susah, dan kondisi pemukiman buruk. Problem tersebut ternyata juga bisa memengaruhi produktivitas nelayan. Ketika produktivitas minim, hasil tangkapannya pun tak banyak.

Beberapa pemukiman nelayan juga terletak di wilayah terpencil. Sehingga aksesnya masih sangat susah . Hal ini berpengaruh pada sampai atau tidaknya bantuan dari pemerintah kepada mereka yang membutuhkan. Menurut Zakariya Anwar dan Wahyuni dalam jurnal Miskin di Laut yang Kaya: Nelayan Indonesia dan Kemiskinan, pemerintah harus merumuskan kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakatnya secara berkesinambungan.

Pada 2022 lalu, Tempo mengangkat kisah sejumlah kehidupan pahit nelayan di Maluku. Adalah Maharam Difinubun. Pria berusia 63 tahun itu mengaku telah bertahun-tahun menjalani hidup sebagai nelayan numpang. Sebutan untuk nelayan yang menggunakan perahu milik orang lain. Sehingga berapa pun hasil tangkapannya harus dibagi dua dengan si pemilik perahu.

Menurut Maharam, butuh 100 liter bahan bakar untuk pulang pergi dalam sekali melaut. Tak jarang hasil tangkapannya minim. Mau tak mau harus diberikan kepada pemilik perahu dan pulang gigit jari. “Kalau hasil tangkapan sedikit, semua ikan dikasih ke pemilik (perahu). Besok kalau melaut, ya begitu lagi,” kata Maharam kepada Tempo, Jumat, 30 September 2022. Saat kepepet, dia akan kasbon ke toko sembako yang ada di Desa Apara.

Setelah bertahun-tahun menjalani hidup sebagai nelayan numpang, pada 2021, Maharam akhirnya bisa punya perahu sendiri. Perahu itu dibelinya dengan harga Rp 6 juta dari seseorang yang tengah butuh uang. Ia menyerahkan uang muka Rp 3 juta dari pemberian mertuanya yang berjualan kue dan sisa Rp 3 juta dicicilnya.

Beratnya tantangan hidup sebagai nelayan tradisional juga dirasakan Fatimah Difinubun, 53 tahun. Fatimah adalah janda dua anak, suaminya wafat setelah sakit selama lima tahun. Supaya dapur bisa tetap ngebul, tak jarang wanita itu pergi melaut, sebuah pekerjaan yang biasa dilakoni oleh laki-laki. Fatimah juga nelayan tumpang karena perahu peninggalan suaminya rusak.

Fatimah harus membagi hasil tangkapan dengan si pemilik perahu. Perhitungan pembagiannya untuk tiap 5 liter bahan bakar yang digunakan harus ‘dibayar’ dengan 250 ekor ikan hasil tangkapan. “Pernah kejadian pulang melaut tak membawa apa-apa (karena semua hasil tangkapan untuk si pemilik perahu). Pernah juga enggak mendapatkan ikan sama sekali karena air laut sedang pasang,” kata Fatimah.

Kalau kondisinya begitu, Fatimah biasanya ke hutan mencari daun pepaya. Daun itu lalu direbusnya untuk kemudian disantap dengan nasi dan sambal. Saat benar-benar tak punya uang dan hasil tangkapan selalu nihil, Fatimah akan kasbon ke toko yang menjual sembako di Desa Apara. “Waktu suami saya sakit, pernah saya terpaksa mencari ikan sampai tengah malam karena sudah tak ada yang bisa di masak di rumah. Untungnya, anak-anak enggak protes,” tuturnya.

Menurut penelitian Theconversation.com, meskipun nelayan termasuk salah satu pekerjaan paling rentan, analisis menunjukkan belum ada bukti kuat bahwa mereka memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan profesi lainnya. Dalam penelitian, tim melakukan analisis statistik terhadap status kesejahteraan nelayan yang diwakili oleh data sosioekonomi dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia atau IFLS pada 2012 dan 2015.

Selain data ekonomi dan demografi, di dalamnya juga terdapat survei terbuka kepada nelayan untuk menanyakan seberapa bahagia mereka saat ini, 5 tahun lalu, dan 5 tahun mendatang. Terdapat banyak aspek lebih berkorelasi terhadap kebahagiaan ketimbang sekadar status sebagai nelayan, yakni level pendidikan, status pernikahan, dan kondisi kesehatan. Salah satu alasan nelayan tetap bahagia adalah karakter pekerjaan mereka dapat menikmati kehidupan alam terbuka.

“Beberapa studi yang pernah dilakukan sebelumnya menemukan bahwa aspek perikanan yang penuh dengan “petualangan”, “kebebasan” dan “aktivitas di alam” berperan sebagai suatu bentuk terapi bagi nelayan,” tulis peneliti, dikutip dari laman theconversation.com.

Pilihan editor : Diperingati Tiap 6 April, Ini Sejarah Hari Nelayan Nasional
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus