Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan. Revisi UU TNI yang baru mengusulkan penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa pihak mendukung revisi ini dengan alasan efektivitas pertahanan nasional, sementara yang lain menolaknya karena dianggap menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI. Berikut reaksi dari berbagai pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. PBNU
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi'i Alielha atau Savic Ali, menilai revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI, meskipun dalam skala yang lebih terbatas dibandingkan era Orde Baru.
"TNI punya peran di luar wilayah keamanan negara itu artinya dwi fungsi TNI, walaupun dwifungsi yang lebih terbatas, tidak sama persis dengan zaman Orba," kata Savic yang dikutip NU Online di Hotel Acacia, Jakarta, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Salah satu poin utama yang disoroti adalah penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurutnya, ini bisa menimbulkan permasalahan struktural dalam sistem pemerintahan, karena ada perbedaan budaya organisasi antara militer dan sipil.
2. Koalisi Masyarakat Sipil
Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dibahas oleh Komisi I DPR. Upaya revisi UU TNI ini dinilai mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
"DPR dan pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional," kata koalisi dalam pernyataan tertulis mereka seperti dikutip oleh Tempo pada Ahad, 16 Maret.
Revisi UU TNI tersebut dianggap bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Salah satunya adalah beleid Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk penyelesaian kasus HAM.
3. Koalisi Akademisi
Dosen dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, sekaligus anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah mengatakan, selain dibahas secara ugal-ugalan, secara formil Revisi UU TNI sejatinya bukan RUU yang masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2025.
"RUU TNI juga tidak masuk dalam prolegnas prioritas, tetapi pembahasannya terus dikejar," kata Herdiansyah saat dihubungi, Senin, 17 Maret 2025.
Menurut dia, pembahasan RUU TNI sarat akan kepentingan politik kekuasaan. Hal tersebut dapat dilihat pada bagaimana DPR cenderung mengakomodasi usulan pasal-pasal yang berupaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
4. Deddy Corbuzier
Staf Khusus Menteri Pertahanan Deddy Corbuzier menyatakan rapat revisi UU TNI oleh panitia kerja DPR di Hotel Fairmont Jakarta pada Sabtu, 15 Maret 2025, tidak membahas dwifungsi TNI. Ia mengatakan dwifungsi TNI tidak akan terjadi di pemerintahan Prabowo Subianto.
"Rapat kemarin itu adalah resmi, konstitusional, dan tidak lagi membahas hal-hal seperti dwifungsi TNI," ucap Deddy Corbuzier melalui akun Instagram @dc.kemhan dikutip Senin, 17 Maret 2025.
Dia mengatakan bahwa Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga telah memberikan kepastian, dwifungsi TNI tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Deddy Corbuzier menyebut gagasan yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru itu sudah lama hilang dari permukaan.
5. Kapuspen TNI
Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menegaskan bahwa prajurit aktif yang ditempatkan di jabatan sipil akan melalui proses seleksi ketat agar tidak mengganggu prinsip netralitas TNI.
"Penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI akan diatur dengan ketat," kata Hariyanto dalam keterangan resminya, dikutip Senin, 17 Maret 2025.
Ia juga menambahkan bahwa revisi ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara militer dan institusi sipil serta memastikan stabilitas nasional tetap terjaga. "Kami berkomitmen menjaga keseimbangan peran militer dan otoritas sipil," ujarnya.
Andi Adam Faturahman, Novali Panji Nugroho, dan M. Raihan Muzzaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Inflasi Perwira Tinggi Setelah Revisi UU TNI