Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pro-Kontra terhadap Gagasan Presiden Prabowo Memaafkan Koruptor

ICW menyatakan Prabowo seharusnya berfokus mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset ketimbang menggagas pengampunan bagi koruptor.

24 Desember 2024 | 17.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat sebelum melakukan kunjungan ke luar negeri di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, 17 Desember2024. ANTARA/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Prabowo Subianto saat berpidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pekan lalu, mengatakan ingin memberikan kesempatan kepada koruptor untuk bertobat. Dia menuturkan pemerintah akan memaafkan koruptor yang mengembalikan kerugian negara, dan identitasnya tidak akan dipublikasikan.

“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Akan tetapi, kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya,” kata Presiden Prabowo dalam pidatonya di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024.

Pernyataan Presiden Prabowo itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Ada yang setuju, ada pula yang menentang rencana tersebut.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas: Pengampunan Koruptor Tetap dengan Persetujuan MA dan DPR

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Presiden Prabowo memiliki hak memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) perihal grasi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

Supratman juga mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi. “Perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Senin, 23 Desember 2024, seperti dikutip dari Antara.

Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menyebutkan pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujarnya.

Menkum mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, tetapi Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca-amendemen UUD 1945, kekuasaan presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

“Karena itu, supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” kata dia.

Ketua MPR Ahmad Muzani: Menghukum Harus Memberi Nilai Manfaat

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Ahmad Muzani menilai pernyataan Presiden Prabowo yang memberi kesempatan koruptor untuk bertobat mengembalikan uang rakyat sebagai bentuk hukuman yang menekankan pada efektivitas manfaat.

“Itu kan pidato beliau di depan mahasiswa Indonesia di Mesir, Kairo, tapi memang arah hukuman terhadap narapidana dalam tren hukum internasional itu pada efektivitas manfaat. Menghukum harus memberi nilai manfaat,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

“Termasuk menghukum koruptor, menghukum koruptor harus ada nilai manfaat. Kira-kira seperti itu sebenarnya,” ujarnya menambahkan.

Politikus Partai Gerindra itu menilai, dalam pidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo itu, Presiden Prabowo hendak menyampaikan gagasan bahwa hukuman maupun manfaat harus berjalan beriringan.

“Di satu sisi hukuman harus berjalan, tapi di sisi lain nilai manfaat bagi negara juga harus ada,” ucapnya.

Muzani menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pun turut menjadi salah satu fokus Presiden Prabowo. “Oh, kan beliau concern terhadap itu (RUU Perampasan Aset), tapi nanti (pembahasan RUU selanjutnya) akan diumumkan sendiri,” kata dia.

Peneliti ICW, Egi Primayogha: Presiden Seharusnya Dorong Pembahasan RUU Perampasan Aset

Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan ampunan kepada koruptor demi memaksimalkan pengembalian kerugian negara (asset recovery) hasil korupsi. Menurut peneliti ICW, Egi Primayogha, presiden seharusnya berfokus mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset.

“Sebagaimana telah tertuang dalam dokumen Asta Cita soal komitmen untuk memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Egi kepada Tempo pada Selasa, 24 Desember 2024.

Mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset, kata Egi, akan lebih konkret bagi presiden untuk menunaikan janjinya. Dia meminta Prabowo segera mengirimkan surat presiden kepada DPR untuk menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas utama pembahasan. “Ketika RUU ini disahkan juga dapat memulihkan aset negara,” kata dia.

Menurut Egi, untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara, tak harus melalui proses pengampunan. Dia mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan perampasan aset.

Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman: Pengampunan Koruptor Sinyal Buruk Pemberantasan Korupsi

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM, Zaenur Rohman, mengatakan ide Presiden Prabowo mengampuni koruptor asal mengembalikan hasil curian merupakan sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi.

Zaenur menilai ide itu bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal itu menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.

“Secara hukum, saat ini, tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian negara,” kata Zaenur saat dihubungi pada Selasa 24 Desember 2024.

Dia menuturkan, ketika pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan hasil pidana, tidak otomatis menghapus penuntutan. Apalagi, pengembalian hasil pidana itu biasa digunakan jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bahkan dimanfaatkan hakim untuk memberikan vonis. “Bisa jadi pertimbangan untuk meringankan,” kata Zaenur.

Pada sisi lain, Zaenur menilai, pelaku korupsi tidak mungkin mau mengembalikan hasil curiannya hanya karena perintah presiden. Pelaku hanya gentar bila ada penindakan dari aparat penegak hukum. “Mereka tidak akan gentar hanya diancam secara lisan meski oleh presiden. Diperlukan bentuk penindakan tegas dan keras terhadap pelaku dari aparat,” ujarnya.

Zaenur mengatakan pemerintah lebih baik segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Perampasan aset itu bisa digunakan untuk repatriasi aset-aset korupsi yang dilarikan ke luar negeri. Menurut dia, pemerintah juga perlu merevisi UU Tipikor, diikuti pembahasan dan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. “Lalu kembalikan independensi KPK dengan merevisi UU KPK,” kata dia.

Dinda Shabrina, Hendrik Yaputra, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Wapres Gibran Bilang Prabowo Wajibkan Swasembada Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus