Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Indonesia perlu dilakukan. Revisi tersebut perlu dilakukan sesuai perkembangan zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua Harian Kompolnas Arief Wicaksono Sudiutomo mengatakan, kewenangan Kepolisian saat ini sudah cukup dan begitu luas. "Hanya saja harus ada modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi internasional saat ini," ujar Arief saat dihubungi pada Kamis, 10 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Situasi global yang dimaksud Arief menyangkut kejahatan di dunia maya atau siber. Undang-Undang Kepolisian diberlakukan pada 23 tahun lalu. Arief menyebutkan, regulasi tersebut harus direvisi karena relevansinya sudah berkurang dengan zaman kini. Dengan kondisi yang ada saat ini, Arief menyebutkan Polri tergopoh-gopoh mengejar perkembangan pengamanan di dunia digital.
Arief mencontohkan, pembentukan Direktorat Tindak Pidana Siber di Bareskrim Polri dan tingkat Polda tidak cukup mengimbangi dinamika global saat ini. Arief juga menyebutkan UU Informasi dan Elektronik (ITE) termasuk yang juga perlu disempurnakan lewat RUU Polri.
Menurut Arief, revisi terhadap Undang-Undang Kepolisian tidak akan menyebabkan tugas Polri tumpang tindih dengan Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN). "Hal yang saya lihat itu adalah bagaimana menyelaraskan tugas-tugas fungsi dan wewenang Polri dengan kondisi terkini," ujar purnawirawan Inspektur Jenderal itu.
Arief memberi contoh kewenangan Polri dalam intelijen dan keamanan (Intelkam). Meski adanya penambahan wewenang di bidang siber, Arief mengklaim Polri akan tetap fokus kepada tugas penyelidikan, pengamanan, penanganan serta pengumpulan bahan keterangan dan informasi untuk pengambilan keputusan pimpinan Polri. "Saya tidak melihat adanya penambahan kewenangan tetapi modifikasi," ujar dia menegaskan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah membahas revisi Undang-Undang Kepolisian sejak 2024. Regulasi itu termasuk rancangan undang-undang inisiatif DPR. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan. Misalnya, yang tertuang dalam draf RUU Polri, Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam ruang siber berpotensi membatasi ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan, Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai superbody investigator. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi "bisnis keamanan".
Novali Panji berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: