Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian Institute of Vision, Paris, berhasil membuktikan terapi pengobatan bagi penyandang disabilitas Netra, Retinitis Pigmentosa dapat dilakukan dengan menggunakan protein ganggang. Terapi ini disebut juga dengan metode optogenetika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter José-Alain Sahel dari Institute of Vision, mengatakan teknik tersebut didasarkan pada protein, yang diproduksi oleh alga, yang disebut channelrhodopsin. "Protein ini kemudian mengubah perilakunya sebagai respons terhadap cahaya. Sebab biasanya mikroba menggunakan protein tersebut untuk bergerak menuju cahaya," ujar José-Alain Sahel seperti dikutip dari BBC News Rabu, 26 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metode optogenetika masuk kategori terapi genetik yang melibatkan kedokteran saraf dasar. Menurut José-Alain Sahel, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memisahkan protein yang disebut rhodopsin dari ganggang. Kemudian menyuntikkan protein tersebut ke dalam sel-sel yang ada di belakang retina mata.
Protein tersebut bekerja dengan mengirimkan sinyal listrik ke otak bila terkena rangsangan cahaya. Sayangnya, rhodopsin hanya bereaksi terhadap rangsang cahaya berwarna kuning. Untuk memaksimalkan gambaran yang terdekat dengan dunia nyata, pasien mesti memakai sepasang kacamata dengan kamera video di depan dan proyektor di belakang retina mata.
"Perlu waktu berbulan-bulan agar protein rhodopsin dengan kadar tinggi terbentuk di mata," kata José-Alain Sahel. Setelahnya otak perlu waktu mempelajari bahasa baru dari jenis rangsang yang diterima sebelum akhirnya pasien dapat melihat kembali.
Terapi dengan menggunakan protein ganggang memang belum sepenuhnya mengembalikan kemampuan penglihatan penyandang Retinitis Pigmentosa. Namun demikian, kemampuan pandangan mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.
Buktinya, seorang pasien Retinitis Pigmentosa asal Britney, Prancis, yang menjalani terapi ini menyatakan bisa melihat tanda bergaris pada zebra cross atau rambu penyeberangan untuk pejalan kaki. Padahal sebelumnya dia tak mampu melihatnya sama sekali dan menjadi tunanetra selama 20 tahun.
"Pasien ini awalnya agak frustrasi karena memang butuh waktu lama antara penyuntikan protein hingga dia mampu melihat sesuatu meski samar-samar," kata José-Alain Sahel. Hingga pada satu waktu, pasien tersebut menyatakan mampu melihat sesuatu seperti garis-garis putih di tengah jalan. "Dia begitu bersemangat saat melaporkan perkembangannya."
Profesor Botond Roska dari University of Basel mengatakan, temuan ini membuktikan kemungkinan penerapan terapi optogenetik untuk memulihkan penglihatan. Menurut dia, ada beberapa pendekatan lain yang sedang diteliti untuk memulihkan kemampuan penglihatan.
Salah satunya, kata Roska, dengan memperbaiki kelainan genetik yang menyebabkan penyakit. "Tetapi retinitis pigmentosa dapat diturunkan menjadi mutasi pada lebih dari 71 gen yang berbeda," ucapnya. Metode optogenetika juga sedang diteliti untuk pengobatan penyakit Parkinson dan stroke.
James Bainbridge, profesor studi retinal di UCL Inggris mengatakan, hasil penelitian dari Prancis tersebut sangat baik. Sayangnya, baru terbukti pada satu pasien. Dia mendorong agar riset tersebut diperluas ke banyak sampel untuk mengetahui efektivitasnya. "Sebab temuan ini dapat membantu memulihkan kemampuan penglihatan," katanya.
Baca juga:
7 Jenis Glaukoma, Bahkan Ada yang Diderita Sejak Bayi Lahir