GAUNG Islam liberal di Indonesia masih nyaring hingga akhir tahun ini. Salah satu label dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam itu pernah menjadi tema diskusi Indonesian Recovery, yang dipandu oleh ahli politik Dr. Rizal Mallarangeng, Ramadan lalu. Acara di sebuah televisi swasta itu biasanya mengangkat tema-tema politik dan ekonomi aktual, tapi rupanya topik Islam liberal sangat menarik didiskusikan. Sebab, inilah sebuah wacana baru dalam perjalanan Islam di Indonesia.
Apa sebenarnya Islam liberal ini? Jawaban yang tersedia mungkin tak memuaskan. Bahkan sebagai sebuah terminologi pun Islam liberal belum diterima oleh sebagian tokoh Islam. Anis Matta, misalnya. Intelektual muda dari Partai Keadilan yang mewakili Islam literal (biasa juga disebut fundamentalis) ini berpendapat bahwa Islam liberal tidak mengandung pengertian yang jelas dan cenderung retoris. "Islam itu sederhana, seperti dicontohkan Nabi Muhammad. Islam ya Islam. Ia tidak memerlukan istilah-istilah yang canggih," kata Anis Matta dalam sebuah diskusi di kantor Majalah TEMPO, awal Ramadan lalu.
Pandangan itu berseberangan dengan kalangan Islam liberal. "Tak ada Islam tanpa kata sifat," kata Ulil Abshar Abdalla, salah satu pelempar wacana baru ini, kurang-lebih. Pandangan itu didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa pemahaman terhadap Islam amat sangat beragam. Berbagai aliran dan mazhab muncul di berbagai zaman dan tempat. Karena itu, di belakang kata Islam harus ada embel-embel kata sifat, misalnya tradisional, modern, atau neo-modern.
Namun, pengertian Islam liberal memang masih kabur. Dan dalam sejarah, keliberalan dalam pemikiran Islam mengandung gradasinya sendiri. Charles Kurzman, sarjana sosiologi dari Universitas North Carolina dan penulis buku Wacana Islam Liberal (Paramadina, Jakarta, 2001), tidak mendefinisikan istilah itu secara lugas.
Istilah liberal sendiri berasal dari liberalisme, yang menurut kamus Britanica adalah filosofi politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam menjaga hak-hak setiap warga negara. Istilah ini mengandung konotasi negatif bagi sebagian umat Islam karena ia diasosiasikan memusuhi Islam.
Kurzman hanya mengungkapkan bentuk-bentuk Islam liberal. Menurut dia, Islam liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu Islam dan Barat. Ada kalangan yang disebut kaum liberal Islam, yaitu mereka yang merupakan bagian dari liberalisme. Yang lain di-sebut muslim liberal, yaitu mereka yang merupakan bagian dari pembaruan Islam.
Di Indonesia, istilah Islam liberal relatif baru. Ketika cendekiawan Dr. Nurcholish Madjid meletupkan gagasan sekularisasi (men-duniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya) pada tahun 1970-an, istilah Islam liberal tidak dilekatkan pada corak pemikiran Nurcholish. Bahkan ia sendiri lebih suka pemikirannya disebut dalam kategori neo-modernis. Cirinya, mengambil sesuatu yang baru sembari mempertahankan hal lama yang baik.
Istilah Islam liberal baru dilekatkan pada pemikiran Nurcholish pada 1999 oleh cendekiawan Greg Barton dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Belakangan, Kurzman juga memasukkan Nurcholish dalam barisan cendekiawan Islam liberal.
Sebagai sebuah komunitas, Islam liberal di Indonesia mulai terintis pada 1998 melalui berbagai diskusi di Yayasan Paramadina, lembaga yang didirikan Nurcholish Madjid.
Belakangan, Institut Studi Arus Informasi, lembaga di Jakarta yang bergerak dalam bidang riset media dan jurnalisme, yang memiliki proyek kajian agama dan toleransi, membingkai pembahasan itu dalam wacana baru Islam liberal. Penggagasnya Luthfi Assyaukanie, dosen sejarah peradaban Islam Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. Ia berinisiatif membuat forum diskusi Islam liberal melalui internet (milis) pada Maret 2001.
Diskusi berlangsung sangat intensif dan menyedot perhatian banyak orang. Daniel S. Lev, seorang Indonesianis yang mengikuti diskusi itu, menyurati Luthfi dan mengusulkan agar hasil diskusi tersebut dibukukan. Menurut Daniel, diskusi tersebut merupakan revolusi dalam sejarah agama di Indonesia dan mengingatkannya pada diskusi era para pendiri Republik Indonesia seperti Sukarno, M. Roem, M. Natsir, dan M. Hatta.
Berikutnya, komunitas itu memperoleh dukungan dari sejumlah pemikir di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, seperti Ulil Abshar Abdalla untuk menyosialisasi label baru itu melalui kios internet Jaringan Islam liberal (www.islamlib.com) pada Mei 2001. Sosialisasi juga digencarkan melalui kelompok koran Jawa Pos dan Radio 68-H, Jakarta. "Sambutannya cukup menggembirakan," kata Luthfi. Walau gaung Islam liberal nyaring, pengaruh Islam liberal menurut Ulil masih terbatas di kalangan terdidik.
Geliat wacana Islam liberal pada 2001 ini, menurut Ulil, berbeda konteksnya dengan pembaruan pemikiran era Nurcholish Madjid, yang menghadapi isu negara Islam. Sekarang kalangan Islam liberal generasi Ulil—yang menerima bentuk negara sekuler—menghadapi isu penerapan syariat Islam yang disuarakan kalangan Islam garis keras seperti Lasykar Jihad, Partai Keadilan, dan sejumlah partai Islam di parlemen.
Kalangan Islam di Indonesia pascareformasi menghadapi berbagai isu demokratisasi, hak-hak kaum minoritas, dan kesetaraan gender. "Kalangan konservatif agak sulit menerima berbagai gagasan itu," kata Ulil. Konservatif yang dimaksud Ulil adalah pemahaman Islam ala fundamentalis. Sedangkan Islam liberal yang berpandangan pluralis, terbuka, dan humanis bisa mengakomodasinya. "Masa depan Islam memang liberal. Tidak bisa lain," kata Ulil. Sebab, kalau memegang konsep lama yang tidak liberal seperti antiperbedaan pendapat atau antiminoritas, Islam tidak akan bisa diterima oleh masyarakat modern.
Pendapat senada datang dari Rizal Mallarangeng, yang sering mengikuti diskusi Islam liberal. "Pandangan Islam liberal lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan Islam fundamentalis karena masyarakatnya plural dan demokratis," kata Rizal kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO.
Keliek M. Nugroho, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini