Wacana Islam Liberal
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global
Penulis : Charles Kurzman (editor)
Penerjemah : Bahrul Ulum, Heri Junaidi
Penerbit : Paramadina, Juni 2001
Ketika Islam turun, ia sungguh bercahaya. Tetapi toh sejak awal turunnya, Islam sudah menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan dalam percaturan politik. Ini berlaku di semua wilayah, dari yang terbesar hingga terkecil. Apalagi sejak media massa menyuarakan dan memberitakan fenomena Islam secara intensif. Namun wajah Islam di mata media massa Barat selama ini terlihat tidak menyejukkan. Sebagian besar dari mereka antipati terhadap Islam dan menganggapnya sebagai ancaman yang menakutkan. Pemberitaan yang dibikin pun cenderung peyoratif dan subyektif. Mungkin ini disebabkan oleh dendam Perang Salib.
Dalam tradisi akademik pun, Barat tidak jauh berbeda dengan pemberitaan media massanya. Fokus kajian Islam terpusat pada pemahaman yang radikal dan negatif tentangnya. Itu bisa dilihat dari sebutan sebagian orientalis yang menakutkan, antara lain militant Islam, radical Islam, sacred rage.
Kenapa itu bisa terjadi? Apa yang menyebabkannya? Dan apakah semua tradisi Islam yang ada memang demikian? Buku Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global ini berusaha menjelaskan hal itu, di samping juga memaparkan fenomena lainnya.
Menurut Kurzman dalam pengantar buku ini, tradisi yang membentuk wacana berpikir dan tindakan orang Islam, pascawafatnya Rasulullah, tertumpu pada dua kelompok. Mereka adalah Islam adat dan Islam revivalis yang senantiasa bertentangan. Islam adat mempraktekkan agama berdasarkan kebiasaan kedaerahan serta mencampuradukkannya. Untuk mengantisipasi hal itu, Islam revivalis tampil ke garda depan. Mereka ingin mengembalikan praktek kehidupan seperti pada saat Nabi. Semua yang berbau tradisi dan penyimpangan dari kemurnian Al-Quran serta sunah Nabi harus diberangus.
Pertentangan antara kedua model Islam itu sulit menemukan jalan keluar. Maka ada sebuah tradisi yang jarang diperbincangkan berusaha menawarkan alternatif penafsiran. Mereka tidak menolak tradisi secara mentah-mentah dan tidak juga mempraktekkan kehidupan Nabi secara bulat-bulat. Tradisi yang sering disebut Islam liberal ini berusaha menghadirkan masa lalu untuk kepentingan modernitas. Islam berhak juga menikmati kemajuan modernitas, tapi mempunyai benteng yang kukuh. Jika Islam dipahami secara benar, sebenarnya ia sejalan dan pemberi inspirasi bagi liberalisme dan modernisme Barat.
Sesungguhnya istilah liberal yang terkandung di dalamnya masih mengandung perdebatan. Apakah ia mengadopsi Barat, pemuja Barat, atau memiliki akar sendiri? Dalam pengantar buku ini, Kurzman menjelaskan bahwa Islam liberal sebetulnya bukan ungkapan yang kontradiktif. Sebab, Islam liberal menekankan pentingnya konsep liberalisme sebagai alat bantu analisis dan bukan sebagai ideologi. Maka klaim kebenaran penafsiran Islam perlu dihapus. Islam liberal yang ditulis para tokoh dalam buku ini terfokus pada dimensi keislamannya. Hal itu bisa terlihat pada rujukan yang mereka gunakan yang bersumber pada tafsir Al-Quran, kehidupan Nabi, maupun para sahabat.
Jadi, Islam liberal bukanlah pemuja Barat, karena yang diinginkan adalah sebuah revitalisasi dan revolusi yang maju dalam menafsirkan Islam. Sejak tahun 1970-an Islam liberal memperoleh popularitas baru, karena hal itu ternyata tidak separah anggapan orang. Islam liberal menawarkan alternatif untuk mengaktualkan ajaran Islam secara elegan dan menghargai keragaman. Meningkatnya taraf pendidikan di dunia Islam juga menyebabkan berkurangnya ketergantungan pada ulama yang monolitik dalam menafsirkan agama. Serta kemunculan sebuah infrastruktur untuk Islam liberal, seperti Institut Penelitian Islam di Pakistan, Gerakan Kebebasan di Iran, serta organisasi multidenominasi di Malaysia, Filipina cukup mendukung optimisme masa depan Islam liberal.
Sedangkan isu-isu yang diangkat oleh Islam liberal rata-rata memang kurang dirangkul oleh pemikir gerakan lainnya. Islam liberal menafsirkan ulang dan mencari kontekstualitas ayat-ayat Al-Quran yang disertai bantuan metodologi Barat. Secara global, Islam liberal mengangkat tema: menentang teokrasi, demokrasi, hak perempuan, hak nonmuslim, kebebasan berpikir, serta ide kemajuan.
Buku ini terdiri dari enam bagian panjang dan diawali pengantar mendalam oleh Charles Kurzman tentang Islam liberal dan konteks keislamannya. Para penulisnya yang sebanyak 32 orang sudah diakui ketokohannya, track record perjuangannya, dan sumbangan pemikirannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Artikel yang terkumpul pun mewakili zaman kontemporer, mulai ditulis tahun 1925 hingga 1996.
Pembahasan tentang penentangan terhadap teokrasi dan demokrasi masuk pada bagian pertama dan kedua buku ini. Ali Abd al-Raziq menyampaikan bahwa Allah dan Nabi tidak pernah menegaskan sistem pemerintahan Islam yang baku untuk semua kaumnya. Maka tidak boleh dan tidak ada landasan yang pasti untuk mendirikan negara Islam.
Bila itu dilakukan, sama saja mencari legitimasi agama untuk menekan kaum yang menentangnya. Maka demokrasi harus ditegakkan di negara mana pun, karena Rasulullah sendiri sudah memberikan teladan yang bagus dalam prinsip syura yang senantiasa dijalankannya. Hak nonmuslim yang harus dihormati dan dilindungi masuk agenda yang penting dalam Islam liberal karena hal ini sudah dicontohkan dengan baik dan sistematis oleh Nabi ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah, demikian tulis Ali Bulac. Kolaborasi perjuangan kaum muslim dan nonmuslim dalam menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan patut dijadikan teladan di negara lain.
Kebebasan berpikir sesungguhnya adalah inti dari prinsip Islam liberal sendiri. Sebab, dengan adanya kebebasan, timbul keanekaragaman penafsiran dan terlahir berbagai gagasan kemajuan. Karena itu, modernitas tidaklah harus dijauhi, tapi hendaknya dirangkul demi kemajuan itu sendiri.
Bagian ini ditulis antara lain oleh Abdullahi Ahmed an-Na'im, Ali Syari'ati, Abdul Karim Soroush, Cak Nur, Fazlur Rahman. Buku ini menemukan relevansinya dengan keadaan umat Islam sekarang ini. Pertama, dengan banyaknya penyimpangan di masa lalu dan terpuruknya sebagian kehidupan umat Islam, mereka sudah sepantasnya merangkul tradisi Islam liberal yang toleran dan sejuk. Umat Islam sebagai penduduk ter-banyak negeri ini sudah selayaknya memberikan teladan dalam mengatur kehidupan. Kedua, bahwa setelah kurang berhasilnya Islam politik dalam mengatur pemerintahan, umat Islam tidak perlu patah arang. Sebab, banyak prinsip dasar dan tradisi di luar politik praktis membuktikan bahwa Islam menghargai kemanusiaan dan relevan dengan kemajuan zaman.
Karena terlalu banyaknya artikel yang dihimpun, terasa ada pemaksaan pembagian bab dalam buku ini. Ada tulisan yang mestinya masuk bagian ke-5 harus dimasukkan bagian ke-2. Namun buku ini patut menjadi wawasan yang mencerahkan guna menyemarakkan wacana keilmuan kita bersama.
Ahmad Fuad Fanani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini