Nurcholish Madjid, 62 tahun, memperoleh julukan lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Lahir dari keluarga Nahdlatul Ulama di Jombang, Nurcholish kemudian mengikuti pendidikan modern di Pesantren Gontor di Ponorogo, kuliah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta, dan menggondol gelar doktor bidang filsafat Islam dari Universitas Chicago di AS, kampus tempat ia berguru kepada Fazlur Rahman, seorang cendekiawan muslim neo-modernis.
Menjadi dosen IAIN Jakarta dan berkutat di bidang riset empiris sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pemikiran Nurcholish mengartikulasikan tiga ranah keilmuan: akar keislaman klasik, wawasan kemodernan, sekaligus persentuhannya dengan persoalan keindonesiaan.
Simpul pemikiran Nurcholish adalah monoteisme radikal dan kemodernan. Variannya antara lain gagasan tentang sekularisasi, inklusivisme, dan universalisme Islam. Gagasan sekularisasi yang didengungkan Nurcholish dikritik oleh sebagian orang karena ia dianggap identik dengan sekularisme, paham yang memisahkan urusan dunia dari agama. Padahal rasionalisasi versi Nurcholish adalah "menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengakhiratkannya".
Gagasan inklusivisme dan universalisme Islam tecermin dalam pendapat Nurcholish bahwa "Islam tidak identik dengan ideologi", atau yang lebih populer terumuskan dalam jargon "Islam yes, partai Islam no". Sedangkan gagasan kemodernan terartikulasikan lewat jargon "modernisasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi". Pemikirannya, yang berciri mengambil sesuatu yang baru dan lebih baik sembari mempertahankan tradisi lama yang luhur, memosisikan Nurcholish dalam deretan pemikir Islam neo-modernis.
Namun, Nurcholish, yang masih bisa menerima bentuk negara Islam ala Piagam Madinah, dianggap out of fashion oleh kalangan Islam liberal generasi Ulil. Pasalnya, generasi Ulil memandang bentuk negara sekuler lebih unggul dari negara ala kaum fundamentalis. "Negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus," kata Ulil dalam sebuah diskusi.
Mohammed Arkoun, 73 tahun, cendekiawan bereputasi internasional dari Aljazair. Dalam peta muslim cendekiawan dunia, Arkoun adalah "lokomotif" pemikiran Islam dengan pendekatan filsafat posmodern. Terlepas dari pengertian yang masih centang-perenang di kalangan sebagian orang, posmodernisme di mata Arkoun memuat substansi berupa kritik terhadap modernisme—proyek peradaban yang ditandai dengan revolusi industri di Inggris di bawah ayunan filsafat rasionalisme (paham serba nalar) ekstrem dan revolusi Prancis.
Tinggal di Prancis sejak kuliah di Fakultas Bahasa dan Sastra Arab Universitas Sorbonne hingga memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra, Arkoun banyak menimba pemikiran para filsuf Prancis, antara lain Michael Foucault dan Jacques Derrida. Teori posmodern diadopsi oleh Arkoun dari aspek positifnya untuk membedah Islam. Istilah dekonstruksi (pembongkaran), misalnya, yang dirujuk dari Derrida, di mata Arkoun adalah upaya memahami sebuah struktur, misalnya rumah, dengan cara membongkar bagian-bagiannya untuk memahami fungsinya. "Dekonstruksi bukan destruksi (perusakan)," kata Arkoun. Tapi pemikir yang pluralis ini lebih menyukai istilah the emerging reason (kebangkitan nalar) untuk pendekatan yang ia pakai. Istilah itu tampaknya mengingatkan orang pada era nalar zaman keemasan Islam.
Perhatian Arkoun terutama menyangkut persoalan pemikiran Islam, etika, kemanusiaan, demokrasi, serta masalah kaitan antara Islam dan kemodernan. Pikiran-pikirannya yang sangat kritis sering terdengar tidak lazim di telinga masyarakat awam. Kecaman? "Ada yang menuding saya zindiq (sesat)," kata Arkoun. Tapi, di kalangan akademisi, pintu untuk Arkoun terbuka lebar. Ia sering berceramah di luar negeri. Lebih dari 25 buku dalam bahasa Arab dan Prancis telah ia tulis. Beberapa bukunya telah diindonesiakan, antara lain Rethinking Islam.
Salah satu pemikirannya yang tampaknya menjadi rujukan kalangan Islam liberal di Indonesia adalah tentang negara Islam. Cendekiawan yang berpenampilan dandy itu berpendapat bahwa negara Islam adalah sebuah utopia. "Sesuatu yang kita inginkan, tetapi mustahil diwujudkan," kata Arkoun dalam wawancara dengan Majalah TEMPO suatu waktu. Pendapatnya didasarkan pada fakta bahwa hingga kini tidak ada kesepakatan di kalangan Islam tentang definisi negara Islam, dan model negara Islam pun belum ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini