UNTUK sementara, bau busuk sampah Jakarta tertanggulangi. Setelah ditutup lima hari—dan menjadikan Jakarta sebagai kota gunungan sampah—tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Bantargebang, Bekasi, akhirnya dibuka kembali oleh Pemerintah Daerah Kota Bekasi pada 15 Desember menjelang tengah malam. Sepekan sebelumnya, persoalan TPA Bantargebang sudah mencuat ketika Pemda Kota Bekasi dan DPRD Kota Bekasi berniat menutup penampungan sampah—yang sebagian besar milik penduduk Jakarta itu—karena menurut mereka warga sekitar memprotes bau busuknya.
Setelah dua pemda saling mengancam, Bantargebang akhirnya ditutup sepihak oleh Pemda Kota Bekasi dibarengi pembakaran beberapa kendaraan pengangkut sampah dan gubuk pemulung liar oleh warga. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meradang. Menurut hitungannya, Pemda DKI Jakarta sudah memberikan cukup kompensasi kepada Pemda Bekasi, antara lain membangun 40 kilometer jalan beraspal dan memberi dana miliaran rupiah per tahun. Pemda Kota Bekasi rupanya meminta 50 persen dari 108 hektare lahan TPA itu dikembalikan kepada mereka, tapi ditolak Sutiyoso. Gubernur DKI itu pun mengancam akan membawa masalah ini ke pengadilan jika Bantargebang tak segera dibuka. Tapi gertakan itu rupanya tak mempan, bahkan setelah Sutiyoso mendatangi sendiri pejabat Pemda Kota Bekasi.
Ketika penutupan itu terjadi, Kota Jakarta bagai neraka karena sampah menumpuk dan mengeluarkan bau busuk di berbagai penjuru kota. Jumlah buangan dari kota berpenduduk lebih dari 10 juta orang ini memang tidak sedikit. Kalau dirata-rata, selama 5 hari penutupan, sekitar 125 ribu meter kubik sampah tak terangkut dari kota metropolitan ini. Bahkan 21 truk yang telanjur masuk Bantargebang pada hari penutupan dikembalikan lengkap dengan sampahnya oleh penduduk Bantargebang ke Jakarta.
Tak ada lokasi lain yang bersedia menampung buangan berbau busuk itu. Rencana membuang ke kawasan Bojong, di Kelapanunggal, Bogor, ditentang keras oleh warga dan penghuni real estate di kawasan itu. Bukan hanya Pemda DKI Jakarta yang direpotkan dengan sampah itu. Pemda Kota Bekasi juga kena imbas karena mereka tak bisa membuang ke Bantargebang. Sampah mereka ditolak di TPA Burangkeng milik Pemda Kabupaten Bekasi. Sementara itu, sekitar 2.000 pemulung kehilangan pekerjaan akibat penutupan tersebut.
Setelah kunjungan anggota DPR dari Komisi VIII ke Bantargebang, Sabtu dua pekan lalu, Wali Kota Bekasi Nonon Sonthanie akhirnya menulis surat kepada Gubernur DKI Jakarta yang isinya mengizinkan kembali pembuangan sampah di Bantargebang hingga 31 Januari 2002. Jam pembuangannnya sekarang dibatasi dari pukul 18.00 hingga 06.00, tak seenaknya seperti dulu. Alasan surat izin itu, kata Nonon kepada TEMPO, Jakarta tak mungkin menyiapkan lahan pengganti hanya dalam 2-3 bulan, tapi minimal 1 tahun. Selama itu pula Bantargebang akan tetap dibuka. Tapi sikap aparat Bekasi tegas. ”Kalau tak ada konsep yang jelas, kami akan menutupnya kembali,” kata ketua tim evaluasi TPA DPRD Kota Bekasi, Hasnul Kholid.
Dalam pertemuan warga dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim di Bantar-gebang, perwakilan dari 16 lembaga swadaya masyarakat meminta Pemda DKI Jakarta mematuhi perjanjian untuk membuat sanitary landfill—yakni proses menghilangkan bau dan menguruk sampah dengan lapisan tanah. Limbah gas metana dari Bantargebang sempat menghebohkan pada 1999. Beberapa warga menderita mual-mual karena bau sampah yang menusuk. Sayangnya, Pemda Jakarta tak acuh dengan peristiwa itu, hingga terulang tahun ini, dan baru kelabakan ketika pembuangan sampah mereka ditutup.
I G.G.M. Adi, Johan Budi, Mustafa Ismail, dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini