Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro ihwal tidak adanya kewajiban bagi penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan untuk pulang ke Indonesia menuai polemik. Menurut dia, pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi lulusan LPDP. Bagamana respons para awardee LPDP?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maulidya Atikah, 26 tahun, mahasiswi studi magister Manajemen Lahan dan Air di Wageningan University & Research, Belanda, sejak Agustus 2024, adalah salah satu penerima awardee LPDP. Menurut dia, aturan yang mewajibkan para penerima beasiswa untuk pulang ke Indonesia layak untuk dikaji ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kondisi lapangan pekerjaan untuk jurusan-jurusan tertentu, terutama yang terkait perubahan iklim dan keberlanjutan, itu memang sebenarnya awardee kesulitan mencari pekerjaan yang cocok sesuai bidangnya,” kata Lidya ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 9 November 2024.
Setelah ada wacana dari Kemendiktisaintek untuk menghapus kewajiban pulang ke Indonesia, Lidya mengaku mempertimbangkan untuk mencari kerja di Belanda. Menurut dia, potensi untuk mendapatkan pendanaan penelitian di Belanda lebih terbuka lebar. Pendanaan ini, kata Lydia, bisa menunjang riset yang bertujuan mengatasi masalah pertanian di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Berbeda dengan Lidya, Hasya Nindita (27) mengaku cukup terkejut ketika mendengar pernyataan Satryo Brodjonegoro. Usai menyelesaikan studi magister di Goldsmiths University of London, Inggris, pada November 2023, Hasya kembali ke Indonesia.
Terlepas dari diwajibkan untuk pulang atau tidak, menurut dia, penyelenggara LPDP harus membuka kajian mereka kepada publik. “Masyarakat berhak tahu, mereka berhak melihat pertanggungjawaban itu,” kata Hasya ketika dihubungi secara terpisah.
Hasya berharap kebijakan LPDP dikaji dari berabgai aspek, tidak semata-mata soal ketersediaan lapangan pekerjaan. Menurut dia, yang tidak kalah penting adalah bagaimana dana pendidikan tersebut bisa dikelola seoptimal mungkin untuk pemerataan pendidikan.
Namun, sama seperti Lydia, lulusan program studi Race, Media, and Social Justice ini mengakui ada keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia. Hasya bercerita, dia sempat kesulitan mencari kerja.
“Sedangkan di satu sisi bagi aku dan teman-teman (alumni LPDP) kami ingin ada peningkatan pulang dari sekolah; seperti gaji, posisi, atau tempat kerja yang lebih baik dari sebelumnya,” ucap Hasya.
Direktur Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Dwi Larso, belum bisa memberi kepastian mengenai kebijakan penerima beasiswa LPDP yang dibolehkan untuk menetap di luar negeri setelah lulus. “Sementara kami lebih baik mendengar dan mengkaji berbagai masukan dan arahan,” kata dia kepada Tempo melalui aplikasi pesan singkat pada Rabu, 6 November 2024.
Satryo Soemantri Brodjonegoro menilai para penerima beasiswa yang memutuskan untuk menetap di luar negeri tidak merugikan negara. “Sekarang dilihat saja kalau di luar negeri dia berprestasi, membawa nama Indonesia dengan baik, kan enggak ada masalah,” kata Satryo kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 6 November 2024.
Satryo juga mengklaim, berdasarkan data yang dimiliki kementeriannya, hampir semua penerima beasiswa LPDP kembali ke Indonesia.
Wakil Ketua DPR Saan Mustopa meminta pemerintah tetap mewajibkan penerima beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) berkarier di Indonesia setelah menyelesaikan studi di luar negeri.
Sebab, ujar Saan, beasiswa LPDP yang bersumber dari keuangan negara harus digunakan untuk peningkatan sumber daya manusia di dalam negeri.
"Beasiswa LPDP itu dari uang rakyat, jadi rakyat harus mendapat manfaat dari belajar penerima beasiswa," kata Saan Mustopa saat ditemui di Akademi Bela Negara NasDem, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu, 9 November 2024.
Pilihan editor: Didesak Minta Maaf oleh Poltracking, Persepi: Bukan soal Benar atau Salah