Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Demo berakhir ricuh dengan aksi saling dorong dan pukul antara pedagang kaki lima (PKL) Teras Malioboro 2 Kota Yogyakarta dengan petugas pecah pada Sabtu petang, 13 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kericuhan dipicu karena para PKL yang hendak membawa dagangannya ke selasar pedestrian Malioboro yang tengah ramai pengunjung malam itu, dihadang puluhan petugas dengan menutup akses pagar pembatas area lapak pedagang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimulai dari aksi protes orasi, lalu berlanjut saling dorong hingga saling pukul antara PKL dan petugas yang dibawa Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta. Kericuhan mereda setelah dua pihak dilerai kepolisian.
Staf Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Muhammad Raka Ramadan selaku kuasa hukum Paguyuban PKL Malioboro Tri Dharma menuturkan protes pedagang itu akumulasi kekecewaan terkait rencana relokasi pada 2025. "Sebenarnya aksi protes ini bermula dari pertemuan pedagang dengan Pemerintah dan DPRD DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) pada Jumat 5 Juli lalu," kata Raka ditemui di lokasi saat aksi berlangsung.
Dalam pertemuan itu, kata Raka, sebenarnya sudah disepakati sebuah komitmen politik antara ketiga pihak baik pedagang, DPRD dan pemerintah. Inti komitmen itu soal penundaan relokasi pada 2025 ke Kampung Beskalan dan Ketandan yang sebenarnya masih dalam ruas Jalan Malioboro namun lokasinya lebih masuk lagi ke dalam. Lokasinya tidak seperti Teras Malioboro yang berada persis di pinggir Jalan Malioboro.
Raka menuturkan, dalam rencana relokasi itu, pedagang sama sekali belum dilibatkan. Wacana itu tiba-tiba berembus. Pedagang justru mendapatkan informasi itu dari media sosial sehingga pedagang cemas dan berupaya meminta penjelasan.
Akhirnya, forum pertemuan itu menyepakati, dalam waktu satu pekan atau hingga 12 Juli, sudah ada kejelasan dari Pemerintah dan DPRD DIY soal mekanisme pelibatan pedagang berembug soal relokasi itu. "Tapi hingga satu minggu kemudian (sampai 12 Juli), dari Pemerintah dan DPRD DIY tidak kunjung memberi jawaban signifikan," kata Raka.
Pedagang yang merasa saat ini sudah terpuruk penghasilannya berjualan di Teras Malioboro 2 yang dinilai sepi, semakin cemas jika harus direlokasi ke Beskalan dan Ketandan yang lokasinya lebih jauh dari Jalan Malioboro itu.
Raka mengatakan pemerintah dan DPRD yang cenderung bertindak pasif membuat pedagang memilih menggelar aksi dengan caranya sendiri.
Pada Jumat 12 Juli, para pedagang membawa dagangannya ke selasar pedestrian yang jelas dilarang sejak 2022. Dagangan mereka langsung laris diserbu wisatawan yang berjalan-jalan di Malioboro.
Melihat respons positif wisatawan, aksi berjualan di selasar pedestrian coba diulangi lagi pada Sabtu, 13 Juli. Namun kali ini aksi protes pedagang ini dihadang petugas yang dibawa Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta. Petugas langsung menutup pagar Teras Malioboro 2 mulai pukul 18.00 sehinhga pedagang tak bisa keluar.
Mereka pun menggelar demonstrasi memprotes penutupan pagar itu sembari menyerukan yel yel 'PKL Bersatu, Kembali ke Selasar'. "Kalian ke mana saat pertemuan kemarin? Kami hanya ingin bertemu Pemda DIY, bukan UPT," teriak pedagang saat dihadang pihak UPT PKCB Kota Yogyakarta.
LBH Yogyakarta menilai pemerintah daerah seharusnya bersikap bijak dengan datang menemui pedagang. Mencari tahu apa yang jadi persoalan hingga nekat berjualan di selasar. "Namun pedagang justru diperlakukan represif dan dibenturkan dengan aparat kemanan yang berjaga," kata Raka. "Ini peristiwa yang sangat kami sayangkan karena di Malioboro yang katanya potret wisata Yogya namun pemerintah daerah gagal memanajemen konflik."
Raka mengatakan harapan pedagang hanya adanya rembug bersama dan negosiasi secara partisipatif dan transparan soal rencana relokasi. "Kami yakin kejadian (ricuh) ini tidak akan terjadi jika ruang dialog itu dipenuhi oleh pemerintah," kata dia.
Selama proses dialog soal rencana relokasi, kata Raka, pedagang berharap tidak ada langkah atau tahapan apapun terkait relokasi.
Kepala Kepolisian Resort Kota Yogyakarta Komisaris Besar Aditya Surya Dharma yang turun mengamankan keributan itu mengatakan, baik pedagang dan petugas UPT, masing masing mengklaim terkena pukulan terlebih dulu sehingga memicu kericuhan di halaman Teras Malioboro 2.
"Penyebab ricuh pedagang ingin kembali berjualan di selasar pedestrian, tapi pemerintah daerah melarang sehingga terjadi gesekan," kata Aditya.
Saling dorong dan pukul itu mereda setelah personel kepolisian turun tangan dan melerai dua pihak.
Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta Ekwanto yang menemui pedagang menyatakan penutupan pagar Teras Malioboro 2 untuk mencegah pedagang kembali berjualan di selasar pedestrian yang merupakan tempat pejalan kaki.
"Kami (melakukan penutupan pagar Teras Malipboro) karena melihat teman-teman mulai membawa dagangan ke luar (untuk berjualan di selasar pedestrian)," kata Ekwanto.
Ekwanto menuturkan, sesuai fungsi yang telah diatur, pedestrian Malioboro tidak boleh dipergunakan lagi untuk berjualan. Hal ini sudah dilarang sejak awal 2022. "Sesuai tugas pokok fungsi kami, kami menegakkan peraturan itu," kata dia.
Dari catatan Tempo, sejak 2022, Pemerintah DIY sudah menggaungkan proyek Jogja Planning Gallery (JPG), semacam museum modern yang menjadi etalase landmark budaya Yogyakarta. Kebutuhan lahan JPG seluas 25.400 meter persegi itu disiapkan menggunakan lahan mulai area Teras Malioboro 2 hingga DPRD DIY.
Pengosongan puluhan bangunan kios.yang menempel di area selatan DPRD DIY dan persiapan Detil Engineering Design (DED) proyek itu sendiri sudah digencarkan sejak 2023 lalu.
Pilihan Editor: 7 Kampus Swasta di Yogyakarta dengan Akreditasi A