Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sari, Emil Di Sini

Juru kamera TVRI,Hendro Subroto,merupakan satu2nya orang bukan anggota pencari, yang dapat menjejakkan kaki di tempat kecelakaan. Di situ, ia banyak membantu tugas anggota penyelamat. (nas)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Toli-Toli yang berjumlah sekitar 100.000 turut cemas menantikan nasib para korban pesawat Twin Otter milik MNA yang jatuh di Gunung Tinombala. Ini memang wajar. Sebab seorang dari penumpang yang malang itu -- Husni Alatas -- adalah putera mereka. Mereka menunggu dengan was-was, berdempet-dempetan di sekeliling lapangan Haji Hayun yang sudah hampir sepuluh hari lamanya digunakan sebagai lapangan helikopter SAR. Asal terdengar deru pesawat mereka berlari-lari meninggalkan rumah dan menanti dengan penuh harap di pinggir lapangan yang dijaga ketat oleh tentara, polisi dan hansip. Guru-guru di sebuah sekolah yang terletak di seberang lapangan itu, tinggal menganga saja melihat murid-murid menyimpan buku pelajaran dan menyerbu lapangan. Empat orang wartawan dari Jakarta dan seorang dari kota Palu yang datang mengikuti peristiwa itu dari kota kecil Toli-Toli, menginap di dua buah penginapan sederhana. Sebagaimana penduduk kota kecil itu juga, para wartawan ini tak perlu berdiri seharian menunggu korban ataupun berita yang dibawa helikopter dari Ongka Malino yang terletak 20 menit jarak terbang ke sebelah selatan . Makan siang nampaknya merupakan waktu yang "tidak aman". Sebab pada jam-jam inilah helikopter paling sering mendarat. Beberapa kali para wartawan harus meninggalkan piring yang masih tersisa separuh. Atau meninggalkan air cuci yang baru sempat dicelup tangan. Deru pesawat lebih nyaman dari hidangan makan-siang. Hendro Subroto, juru-kamera TVRI yang datang ke Gunung Tinombala nampaknya lebih banyak bekerja sebagai anggota SAR tak resmi. Dia satu-satunya orang bukan anggota pencari, yang berhasil mencecahkan kakinya di helipad yang terletak kira-kira 200 meter di atas tempat kecelakaan. Malahan sempat pula dia meladeni panggilan-panggilan lewat radio yang disampaikan dari Ongka Malino, yang terletak sekitar 20 km di bawah, kalau ditarik garis lurus dari lereng Tinombala yang selalu berkabut itu. Berikut ini adalah catatan pengalamannya yang dia sampaikan kepada wartawan TEMPO Martin Aleida, dalam perjalanan pulang dari Palu menuju Jakarta: "SAR II, SAR Il. SAR I di sini", saya memanggil dari radio yang terletak di pinggir helipad (landasan heli darurat). "SAR I, SAR I, Emil di sini", suara itu mengagetkan saya. Menteri Perhubungan yang bicara dari sana, kata saya dalam hati. Hari itu tanggal 12 April, dua hari setelah Koptu Dominikus dan Kopda Sunardi berhasil turun ke tempat kecelakaan. "Bagaimana, apa korban bisa diturunkan sekarang?", tanya Emil Salim dari Ongka Malino. "Bisa". "Kalau bisa apa yang kamu perlukan?" "Saya perlu tambang dan 6 orang pasukan". "Berapa panjang tambangnya?" "Dua kali tubuh atau satu gulung". "Yang luka-luka kapan bisa diturunkan?" "Besok pagi sebelum jam 8 sudah bisa turun, kalau cuaca baik". "Apakah ada kemungkinan untuk menurunkan yang meninggal?" desak Emil lagi dari ujung sebelah sana. Saya tak bisa menjawab. Saya letakkan gagang telepon radio itu. Saya harus bicarakan dulu dengan komandan pasukan, letnan Jopie Lakahena. Saya sampaikan pertanyaan itu kepada Lakahena. Perwira ini mengatakan bahwa tim yang dipimpinnya siap menerima perintah untuk menurunkan ataupun memakamkan jenazah di tempat kecelakaan. Keputusan itu saya sampaikan kepada Menteti Emil Salim. Dan percakapan itu ditutup dengan kata-kata: "Sampai ketemu di udara jam 6 pagi besok". Di landasan heli darurat itu pekerjaan saya ialah membukakan pintu untuk mereka yang mau turun. Tiap ada anggota pasukan yang mau turun dan berusaha membuka pintu sendiri, maka saya berteriak: "Jangan buka sendiri". Satu kali ketika sebuah heli BO 105 mendarat di landasan yang terbuat dari runtuhan pepohonan itu saya melihat tangan yang berusaha membuka pintu keluar. "Jangan buka sendiri!" teriak saya. Tetapi pintu itu sudah dibuka dari dalam. Dan ternyata yang nongol dari mulut pintu itu adalah Kardono, direktur jenderal perhubungan udara, penerbang senior yang berpangkat marsekal muda. Saya jadi malu. KARDONO cuma sebentar di helipad itu. Dia memberi kami rokok sebagai tanda simpati dan memeluk kami dengan erat-erat. Ketika Kardono pulang, seorang berkata dari belakang: "Kalau tak di sini tak bakalan pernah saya dipeluk Kardono". Di samping sebagai pembuka pintu saya juga menolong anggota-anggota tim pencari yang ingin turun ke tempat kecelakaan. Landasan darurat itu dihubungkan dengan tempat kecelakaan melalui tali sepanjang 300 meter yang diikatkan ke batang-batang pohon dan dibuat zig-zag. Setelah setengah jam saya melaksanakan pekerjaan itu, tiba-tiba dari arah bawah muncullah seorang korban berjalan sendiri menuju landasan heli darurat. Kira-kira duapuluh menit kemudian seorang lagi. Nama mereka Amti Hermanto, 37 tahun, dan Ham Sek Lae, 39 tahun. Mereka berdua masih bisa membawa barang jinjingan. Saya mengulurkan tangan. "Selamat. Kalian Selamat", saya menyambut. Mereka saya minta beristirahat tak jauh dari landasan darurat. Muka mereka pucat pasi. Ketika mereka sudah berada di dalam pesawat dan baling-baling sudah menderu, hati saya jadi ciut seketika. Saya khawatir melihat pesawat itu. Karera untuk pertama kali inilah dia harus meninggalkan landasan darurat dengan membawa dua penumpang. Dia take-off di ketinggian 6200 kaki, di helipad yang sempit. Saya takut kalau rotor blade (baling-baling) dan tail rotor (baling-baling belakang) menyangkut di pohon. Sebab di bagian luar dari landasan itu, masih mencuat puncak pohon. "Kalau saja sekeping dahan tersambar, bisa celaka dan pekerjaan SR jadi tambah ruwet", kata saya dalam hati. Heli yang nampak seperti biji nangka raksasa itu sudah naih dan Kapten (Angkatan Laut) Antonius Suwarno, 33 tahun, ternyata berhasil menerbangkan pesawatnya dengan sempurna. Saya menarik nafas lega. Saya menatap Ongka Malino, daerah transmigran yang terhampar di bawah, ke mana dua korban itu akan diturunkan. Saya menginap semalam di sebuah kemah yang terletak kira-kira 50 meter di bawah helipad. Malam itu saya melongok lagi ke bawah. Saya melihat lampu para transmigran seperti titik-titik api di tengah malam yang gelita. "Desa itu begitu dekat nampaknya. Inilah yang membuat sebagian penumpang pesawat tergoda untuk meninggalkan tempat kecelakaan", saya merenung. Jam 05.30 besoknya saya dan 4 orang anggota tim turun ke reruntuhan. Mengikuti rentangan tali ke bawah, dalam seperempat jam kami sudah sampai ke tempat kecelakaan. Saya menengadah ke atas. Matahari tertutup pepohonan. Lantas saya sampai pada tempat yang terang benderang, karena pepohonannya dibabat oleh pesawat yang naas itu. Dari bekas babatan itu Ongka Malino tampak jelas sekali. Ladang para transmigran nampak hijau muda terpetak-petak. Saya menatap ke atas. Di lereng yang terjalnya 70 derajat itu saya lihat Twin Otter rebah, miring ke kiri. Sayap kiri tersangkut di pohon. Di atas badan pesawat yang patah, terhampar plastik merah dan life vest berwarna kuning kemudian saya ketahui dipasang oleh dr Dwiwahyono. Selain bantuannya yang besar dalam menolong para korban untuk bisa bertahan hidup, pekerjaan memasang plastik merah yang nampaknya sederhana itu, merupakan pekerjaan yang penting bagi usaha pencarian. Tanda-tanda yang dia pasang itu tentu telah mempermudah pekerjaan SAR. Saya berjalan lebih mendekat ke pesawat. Dr Dwi menyembulkan kepalanya dari jendela kokpit sebelah kanan. Kemudian dia duduk di atas pesawat dan berbicara dengan dr Robby. Saya melihat juga Rosny Husni Alatas yang mengenakan slack merah dan baju putih. Dia adalah korban pertama yang dikeluarkan dari reruntuhan pesawat itu. Kemudian dia dibawa menuju helipad dengan digendong oleh seorang anggota Linud. Dr Dwi sendiri yang kabarnya menderita patah tulang punggung minta dibawa yang paling akhir. Ketika turun dari reruntuhan, sembari memegangi tali saya fikir tanpa 4 orang anggota pasukan yang telah berhasil membuat helipad, bantuan untuk para korban yang selamat memang akan mengalami kesulitan. Mereka bekerja sampai jam 1 malam. Saya teringat pada kata-kata dr Dwi: "Suara gergaji, dan kampak mereka sangat menghibur kami. Karena suara itu adalah tanda keselamatan yang akan datang kepada kami". Tak berapa lama saya sudah berada di perut heli yang akan menurunkan saya ke Ongka Malino.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus