PENDUDUK Toli-Toli yang berjumlah sekitar 100.000 turut cemas
menantikan nasib para korban pesawat Twin Otter milik MNA yang
jatuh di Gunung Tinombala. Ini memang wajar. Sebab seorang dari
penumpang yang malang itu -- Husni Alatas -- adalah putera
mereka.
Mereka menunggu dengan was-was, berdempet-dempetan di sekeliling
lapangan Haji Hayun yang sudah hampir sepuluh hari lamanya
digunakan sebagai lapangan helikopter SAR. Asal terdengar deru
pesawat mereka berlari-lari meninggalkan rumah dan menanti
dengan penuh harap di pinggir lapangan yang dijaga ketat oleh
tentara, polisi dan hansip. Guru-guru di sebuah sekolah yang
terletak di seberang lapangan itu, tinggal menganga saja melihat
murid-murid menyimpan buku pelajaran dan menyerbu lapangan.
Empat orang wartawan dari Jakarta dan seorang dari kota Palu
yang datang mengikuti peristiwa itu dari kota kecil Toli-Toli,
menginap di dua buah penginapan sederhana. Sebagaimana penduduk
kota kecil itu juga, para wartawan ini tak perlu berdiri
seharian menunggu korban ataupun berita yang dibawa helikopter
dari Ongka Malino yang terletak 20 menit jarak terbang ke
sebelah selatan .
Makan siang nampaknya merupakan waktu yang "tidak aman". Sebab
pada jam-jam inilah helikopter paling sering mendarat. Beberapa
kali para wartawan harus meninggalkan piring yang masih tersisa
separuh. Atau meninggalkan air cuci yang baru sempat dicelup
tangan. Deru pesawat lebih nyaman dari hidangan makan-siang.
Hendro Subroto, juru-kamera TVRI yang datang ke Gunung Tinombala
nampaknya lebih banyak bekerja sebagai anggota SAR tak resmi.
Dia satu-satunya orang bukan anggota pencari, yang berhasil
mencecahkan kakinya di helipad yang terletak kira-kira 200 meter
di atas tempat kecelakaan. Malahan sempat pula dia meladeni
panggilan-panggilan lewat radio yang disampaikan dari Ongka
Malino, yang terletak sekitar 20 km di bawah, kalau ditarik
garis lurus dari lereng Tinombala yang selalu berkabut itu.
Berikut ini adalah catatan pengalamannya yang dia sampaikan
kepada wartawan TEMPO Martin Aleida, dalam perjalanan pulang
dari Palu menuju Jakarta:
"SAR II, SAR Il. SAR I di sini", saya memanggil dari radio yang
terletak di pinggir helipad (landasan heli darurat).
"SAR I, SAR I, Emil di sini", suara itu mengagetkan saya.
Menteri Perhubungan yang bicara dari sana, kata saya dalam hati.
Hari itu tanggal 12 April, dua hari setelah Koptu Dominikus dan
Kopda Sunardi berhasil turun ke tempat kecelakaan.
"Bagaimana, apa korban bisa diturunkan sekarang?", tanya Emil
Salim dari Ongka Malino.
"Bisa".
"Kalau bisa apa yang kamu perlukan?"
"Saya perlu tambang dan 6 orang pasukan".
"Berapa panjang tambangnya?"
"Dua kali tubuh atau satu gulung".
"Yang luka-luka kapan bisa diturunkan?"
"Besok pagi sebelum jam 8 sudah bisa turun, kalau cuaca baik".
"Apakah ada kemungkinan untuk menurunkan yang meninggal?" desak
Emil lagi dari ujung sebelah sana.
Saya tak bisa menjawab. Saya letakkan gagang telepon radio itu.
Saya harus bicarakan dulu dengan komandan pasukan, letnan Jopie
Lakahena. Saya sampaikan pertanyaan itu kepada Lakahena. Perwira
ini mengatakan bahwa tim yang dipimpinnya siap menerima perintah
untuk menurunkan ataupun memakamkan jenazah di tempat
kecelakaan. Keputusan itu saya sampaikan kepada Menteti Emil
Salim. Dan percakapan itu ditutup dengan kata-kata: "Sampai
ketemu di udara jam 6 pagi besok".
Di landasan heli darurat itu pekerjaan saya ialah membukakan
pintu untuk mereka yang mau turun. Tiap ada anggota pasukan yang
mau turun dan berusaha membuka pintu sendiri, maka saya
berteriak: "Jangan buka sendiri". Satu kali ketika sebuah heli
BO 105 mendarat di landasan yang terbuat dari runtuhan pepohonan
itu saya melihat tangan yang berusaha membuka pintu keluar.
"Jangan buka sendiri!" teriak saya. Tetapi pintu itu sudah
dibuka dari dalam. Dan ternyata yang nongol dari mulut pintu itu
adalah Kardono, direktur jenderal perhubungan udara, penerbang
senior yang berpangkat marsekal muda. Saya jadi malu.
KARDONO cuma sebentar di helipad itu. Dia memberi kami rokok
sebagai tanda simpati dan memeluk kami dengan erat-erat. Ketika
Kardono pulang, seorang berkata dari belakang: "Kalau tak di
sini tak bakalan pernah saya dipeluk Kardono".
Di samping sebagai pembuka pintu saya juga menolong
anggota-anggota tim pencari yang ingin turun ke tempat
kecelakaan. Landasan darurat itu dihubungkan dengan tempat
kecelakaan melalui tali sepanjang 300 meter yang diikatkan ke
batang-batang pohon dan dibuat zig-zag. Setelah setengah jam
saya melaksanakan pekerjaan itu, tiba-tiba dari arah bawah
muncullah seorang korban berjalan sendiri menuju landasan heli
darurat. Kira-kira duapuluh menit kemudian seorang lagi. Nama
mereka Amti Hermanto, 37 tahun, dan Ham Sek Lae, 39 tahun.
Mereka berdua masih bisa membawa barang jinjingan. Saya
mengulurkan tangan. "Selamat. Kalian Selamat", saya menyambut.
Mereka saya minta beristirahat tak jauh dari landasan darurat.
Muka mereka pucat pasi.
Ketika mereka sudah berada di dalam pesawat dan baling-baling
sudah menderu, hati saya jadi ciut seketika. Saya khawatir
melihat pesawat itu. Karera untuk pertama kali inilah dia harus
meninggalkan landasan darurat dengan membawa dua penumpang. Dia
take-off di ketinggian 6200 kaki, di helipad yang sempit. Saya
takut kalau rotor blade (baling-baling) dan tail rotor
(baling-baling belakang) menyangkut di pohon. Sebab di bagian
luar dari landasan itu, masih mencuat puncak pohon. "Kalau saja
sekeping dahan tersambar, bisa celaka dan pekerjaan SR jadi
tambah ruwet", kata saya dalam hati.
Heli yang nampak seperti biji nangka raksasa itu sudah naih dan
Kapten (Angkatan Laut) Antonius Suwarno, 33 tahun, ternyata
berhasil menerbangkan pesawatnya dengan sempurna. Saya menarik
nafas lega. Saya menatap Ongka Malino, daerah transmigran yang
terhampar di bawah, ke mana dua korban itu akan diturunkan.
Saya menginap semalam di sebuah kemah yang terletak kira-kira 50
meter di bawah helipad. Malam itu saya melongok lagi ke bawah.
Saya melihat lampu para transmigran seperti titik-titik api di
tengah malam yang gelita. "Desa itu begitu dekat nampaknya.
Inilah yang membuat sebagian penumpang pesawat tergoda untuk
meninggalkan tempat kecelakaan", saya merenung.
Jam 05.30 besoknya saya dan 4 orang anggota tim turun ke
reruntuhan. Mengikuti rentangan tali ke bawah, dalam seperempat
jam kami sudah sampai ke tempat kecelakaan. Saya menengadah ke
atas. Matahari tertutup pepohonan. Lantas saya sampai pada
tempat yang terang benderang, karena pepohonannya dibabat oleh
pesawat yang naas itu. Dari bekas babatan itu Ongka Malino
tampak jelas sekali. Ladang para transmigran nampak hijau muda
terpetak-petak.
Saya menatap ke atas. Di lereng yang terjalnya 70 derajat itu
saya lihat Twin Otter rebah, miring ke kiri. Sayap kiri
tersangkut di pohon. Di atas badan pesawat yang patah, terhampar
plastik merah dan life vest berwarna kuning kemudian saya
ketahui dipasang oleh dr Dwiwahyono. Selain bantuannya yang
besar dalam menolong para korban untuk bisa bertahan hidup,
pekerjaan memasang plastik merah yang nampaknya sederhana itu,
merupakan pekerjaan yang penting bagi usaha pencarian.
Tanda-tanda yang dia pasang itu tentu telah mempermudah
pekerjaan SAR.
Saya berjalan lebih mendekat ke pesawat. Dr Dwi menyembulkan
kepalanya dari jendela kokpit sebelah kanan. Kemudian dia duduk
di atas pesawat dan berbicara dengan dr Robby. Saya melihat juga
Rosny Husni Alatas yang mengenakan slack merah dan baju putih.
Dia adalah korban pertama yang dikeluarkan dari reruntuhan
pesawat itu. Kemudian dia dibawa menuju helipad dengan digendong
oleh seorang anggota Linud. Dr Dwi sendiri yang kabarnya
menderita patah tulang punggung minta dibawa yang paling akhir.
Ketika turun dari reruntuhan, sembari memegangi tali saya fikir
tanpa 4 orang anggota pasukan yang telah berhasil membuat
helipad, bantuan untuk para korban yang selamat memang akan
mengalami kesulitan. Mereka bekerja sampai jam 1 malam. Saya
teringat pada kata-kata dr Dwi: "Suara gergaji, dan kampak
mereka sangat menghibur kami. Karena suara itu adalah tanda
keselamatan yang akan datang kepada kami".
Tak berapa lama saya sudah berada di perut heli yang akan
menurunkan saya ke Ongka Malino.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini