RADEN Sawito Kartowibowo, 45 tahun, tertuduh dalam perkara
gerakan Sawito" yang terkenal itu, bergaji Rp 5.000 sebulan.
Itu menurut keluarganya, yang tinggal di tempat kediamannya di
Jl. Tampomas, Bogor. Sawito pegawai golongan III-C Departemen
Pertanian yang sekarang sudah dibebastugaskan. Juga isterinya,
Nuning Nugrahaningsih, 34 tahun, sudah diberhentikan dari
tempatnya mengajar di Perguruan Kolik Regina Pacis, Bogor.
Wanita ini sekarang lebih sering tinggal di tempat keluarga di
Tebet Barat atau Mampang Prapatan, Jakarta.
Di Rumah Tahanan Militer, menunggu persidangan yang rencananya
dimulai pertengahan Agustus ini, Sawito tampak agak kurusan.
Sudah beberapa bulan ia dipindah dari ruang tahanan VIP ke ruang
biasa. "Tapi ketika masih di VIP dulu toh kasur, selimut, harus
bawa sendiri," kata seorang pemuda keluarga Nuning, yang minggu
lalu ditemui TEMPO di Bogor. Apakah Sawito tetap merasa dirinya
sebagai Ratu Adil?
Ya. Ia merasa berhak atas warisan tahta kerajaan Majapahit.
Bahkan merasa ditugasi "membuka jalan baru bagi Nusantara" -
juga seluruh jagad raya. Ia telah "dinobatkan" sebagai Ratu
Adil setelah sebelumnya melakukan lelono broto ke beberapa
gunung dan tempat-tempat keramat di Pulau Jawa menemui "penguasa
Kahyangan" dan arwah raja-raja Majapahit. Dan setelah itu juga
"bertamu ke Situ Panjalu istana Prabu Banjaransari alias Sang
Hyang Prabu Cakradewa, raja Galuh pertama yang konon cucu Prabu
Jayabaya dari Kediri di abad XII.
Bagi orang luar, kisah seperti itu memang musykil. Apalagi
upacara "penobatan sebagai Ratu Adil" di rumah Mr. Sudjono, 73
(bekas Dubes di Swedia) di Ciawi, 12 km dari Bogor. Upacara
pertama hari Minggu pagi 10 September 1972. Yang kedua Sabtu
malam 16 September 1972. Maka inilah hanya serangkaian cerita,
yang memang boleh membawa anda ke alam "lain".
Upacara itu seolah reuni raja-raja Jawa yang akan menyerahkan
mahkota dan tahta kerajaan Majapahit kepada Sawito, yang
dipercaya sebagai salah seorang keturunan mereka. Ada R.M.
Trisirah almarhum, mertua Sawito (66 tahun) sebagai Raden Wijaya
alias Prabu Brawijaya I - raja Majapahit pertama sedang
isterinya sebagai permaisuri.
Ada pula Albert van Gennep (76), orang Belanda, sebagai
Brawijaya II dan isterinya, Francien (51) sebagai Tribuwana
Tungga Dewi yang kemudian naik tahta sebagai Brawijaya III.
Adapun Brawijaya IV adalah Prof Suyono Hadinoto bekas dubes di
Argentina. Tapi juga hadir "arwah" Amangkurat - salah seorang
dari raja Mataram II yang dianggap menitis pada diri R. Said
Sukanto, bekas Kapolri. Lalu siapa Brawijaya V, raja terakhir
Majapahit? Tak lain Sudjono sendiri, tuan rumah. Itu seml
disetujui mereka sendiri. Prof. Suyono misalnya mengaku: puluhan
tahun yang lalu ia menerima "berita gaib" di Yogya bahwa
Erlangga, tapi sekaligus juga Hayam Wuruk alias Brawijaya IV,
menitis dalam tubuhnya. Sedang Sudjono selama tiga malam
bermimpi dinobatkan sebagai Brawijaya V di Mojowarno, ibukota
Majapahit. Ia merasa dirinya titisan Wikramawardhana
(1389-1429).
Untuk meyakinkan dirinya ia membuka-buka buku sejarah. Tapi
malah Sawito dan isterinya yang meyakinkannya Maka tenteramlah
ia. Beberapa jam sesudah "penobatan" ia bertambah yakin pula,
ketika mendapat "wangsit" bahwa yang menjadi raja adalah tiisan
Raden Bondan Kejawen alias Lembu Peteng, anak Brawijaya V.
Tahulah ia kemudian, mengapa dalam penobatan itu ia begitu
terharu: karena yang dinob atkan adalah anaknya sendiri,
walaupun "anak spirituil", yakni Sawito.
Adapun van Gennep, yang lahir 1901 di Yogya, sejak kecil konon
mampu melihat yang gaib-gaib. Ia seperguruan dengan Sukanto,
pimpinan Orhiba, dalam perkumpulan kebatinan Divine Life Society
di Jakarta. Ia pernah mendapat "wangsit" bahwa dalam salah satu
inkarnasi di masa lampau ia menjadi Brawijaya II. Tapi di zaman
Orla, "sang Prabu" sempat ditahan di Glodog dan Gang Tengah
selama sembilan bulan.
Untung ia percaya penahanan itu merupakan berulangnya karma.
Katanya, dulu kemenakan Brawijaya II yang bernama Tanca pernah
gagal merebut kekuasaan dengan mencoba membunuh sang Prabu. Ia
dicincang oleh Gajah Mada. Yng menarik: van Gennep percaya
bahwa Tanca kemudian menitis ke dalam tubuh Presiden Soekarno.
Tapi menurut versi Sawito, Tanca memang telah membunuh Brawijaya
II, karena isterinya yang cantik dianggu oleh sang Prabu.
Agak ruwet? Itulah cerita Sudjono sendiri. Ia menulis naskah
setebal 166 folio berjudul Mission Impossible - mengisahkan
lakon Sawito sejak pertama kali menerima "Wangsit" sampai
dinobatkan sebagai "Ratu Adil". Catatan Sudjono amat menarik.
Bahasanya lugu tapi lengkap, tidak kalah dengan hasil kerja
seorang reporter yang pandai berkisah.
Misalnya cerita tentang "penobatan" hari pertama, yang juga
berarti "penerimaan duta Yang Maha Kuasa". Dan sang duta adalah
van Gennep, yang dianggap menjadi sah statusnya lantaran ia
memiliki "tanda bukti yang meyakinkan". Apa? Sebilah keris
kecil, sepanjang 15 Cm, yang ditemukan van Gennep di Jalan Jawa
Jakarta tahun 1960.
Anehnya, meski diceritakan keduanya belum saling kenal, tapi
begiu berhadapan, van Gennep dan Sawito saling berpelukan.
Sawito yang kemudian percaya bahwa van Gennep adalah "alat
Illahi", menyatakan kedatangan sang duta telah diterimanya. "God
chata aim, God chata aim. Ma God chata ma aim," ucapnya,
diulang oleh van Gennep.
Sudjono menulis: "Setelah van Gennep melakukan beberapa macam
sembah, ia mendekati tempat berdiri Sawito. setapak demi setapak
sambil menatap satu sama lain dengan pancaran mata yang tajam.
Ketika berhadapan dengan jarak selangkah di depan Sawito, van
Gennep meletakkan tangan kanannya di atas pundak kiri Sawito.
sedangkan tangan kiri membuat isyarat-isyarat di sekitar kepala
Sawito yan dibalas oleh Sawito dengan memukulkan tangannya
beberapa kali ke atas pundak van Gennep. Dan akhirnya dengan
tangannya yang bebas masing-masing ditempelkan ke hati
masing-masing."
Kemudian Sawito mulai bersabda, tulis Sudjono, sementara van
Gennep tunduk menghamba. "Saya serahkan segala-galanya, raga,
jiwa dan roh kepada Guruji," kata van Gennep kepada Sawito.
Guruji adalah Guru Jagad alias Bathara Guru.
Sayangnya, Jolono, tokoh siluman yang dalam cerita lama
menyimpan mahkota Kerajaan Majapahit, tidak muncul waktu itu.
Menurut Sawito, itu barangkali lantaran R.M. Trisirah sebagai
Brawijaya I tidak hadir. Dan R.M. Trisirah yang dipercaya
menyimpan kotak mahkota, ketika itu memang masih di Sala. Lalu
disepakati untuk bertemu lagi minggu berikutnya, Sabtu malam 16
September 1972. Sudjono melukiskan pertemuan itu: Ratu Add dan
Prameswari berdampingan duduk di kursi paling depan menghadap
pintu masuk, dengan punggung menutupi TV. Di sebelah kanan
berderet menurut urutan keprabonan masing-masing, Brawijaya I
sampai V.
Kali ini pertemuan diadakan di halaman belakang, di bawah pohon
cemara. Tanpa lampu. Ke-11 orang itu "mempersatukan tenaga"
dengan saling berpegangan tangan. Tak lama kemudian, mereka
(kecuali Nyonya Sudjono) konon melihat kehadiran itu Jolono.
"Kepalanya kira-kira tiga kali sebesar manusia biasa, tetapi
mukanya tidak menyeramkan, bahkan dapat diterka adanya senyum
simpul di bibirnya. Saya taksir kepalanya berada lebih lima
meter di atas tanah, tetapi kakinya tidak nampak," tulis
Sudjono.
Tentang kotak kuno yang disimpan Trisirah, menurut Sudjono
ternyata hanya berisi beberapa helai kertas dengan tulisan yang
tak terbaca, dan beberapa benda kecil yang tak memberi petunjuk
apa pun. Meski begitu, mereka percaya Jolono muncul justru
lantaran kotak itu. Dan dengan begitu Sawito, yang rnulai saat
itu bertambah gelar dengan Hyang Manu. sekali lagi bersabda.
Apa yang diucapkannya yang berhasil direkam Sudjono - tampaknya
ak banyak menyimpang dari yang juga difikirkan anggota-anggota
grup kebatinan itu. Yaitu perlunya membuka lembaran sejarah baru
di Indonesia, yang menurut mereka keadaannya kini kurang
melnuaskan. Bahkan mereka juga merasa akan diberitahu oleh arwah
rajaraja Jawa: di mana harta karun Kerajaan terpendam. Itu
niscaya bisa melunasi hutang-hutang negara sekarang . . .
Namun yang agaknya mengkhawatirkan ketika mereka berdiskusi
tentan "bendera kerajaan Nusantara". Jum'at Wage 22 September
1972, mereka bertemu di bungalo milik Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo,
bekas Menteri Keuangan di Cikopo. Bagi van Gennep, warna merah
adalah lambang materi, putih lambang spirit. Jadi warna merah
seharusnya diikatkan pada tiang, tidak horisontal seperti
sekarang melainkan vertikal.
Sebaliknya Sawito. Baginya merah lambang keberanian, putih
kebenaran dan keadilan. Jadi warna putihlah yang mestinya
diikatkan pada tiang. Belum ada keputusan. Untunglah Sabtu pagi
jam 4 dinihari, Sudjono bermimpi mendapat wangsit. Ia menulis: "
. . . saya melihat bendera kita dalam bentuk yang sekarang ini
berkibar dengan megah di angkasa . . . Kemudian saya tekuk
tiangnya dari titik pangkal bendera di bawah putihnya, sehingga
merupakan sudut siku 90 derajat tanpa memutuskan tiangnya. Dan
selesailah proses perubahan bendera kita. Ternyata yang menempel
pada tiang adalah warna putih dan yang melambai-lambai dengan
megah dan tampak dari jauh adalah warna merah."
Tapi kalau anda percaya kebatinan, harap hati-hati masuk
pekarangan rumah Sawito. Sudjono mencatat, bahwa 21 September
1972 jam 2.30 dini, Sawito kedatangan barisan pengawal pribadi
bernama Nogo Surogo Mahpati, yang siap berjaga-jaga. "Kepada
saya Sawito memperlihatkan sketsa yang telah dibuatnya dari
wajah sang senopati: gagah perkasa, tampan, berkumis tipis
pendek, berewok tipis dan berjenggot sedikit. Tidak menakutkan
tetapi cukup berwibawa," tulis Sudjono.
Catatan Sudjono memang terperinci sebab ia juga ikut dalam
rombongan Sawito mengadakan perjalanan dari gunung ke gunung
sejak Mei hingga Desember 1972. Dialah pula yang membiayai
seluruh "ekspedisi" itu. Bahkan sempat memotret beberapa
peristiwa. Cerita dimulai ketika Sawito memperlihatkan buah
karyanya berupa dandanggulo dan sinom (bentuk-bentuk puisi Jawa)
kepada Sudjono.
Meskipun karangan Sawito kurang bermutu, nyatanya Sudjono
terpikat. Barangkali lantaran di situ Sawito menceritakan
pengalamannya mendapat "wangsit". Bahkan Sudjono seakan
menyamakan karangan Sawito dengan karya Ronggowarsito. Yang
jelas, Sawito memang menuliskan pengalamannya di situ. Tanggal
14 April 1972 ia mendapat "wangsit" diperintahkan mencabut
tumbal yang ribuan tahun lalu ditanamkan oleh Ajisaka alias Syeh
Subakir di Gunung Tidar, Magelang.
Untuk tugas itu ia harus membawa keris pusaka Damar Murub dan
kendi pratolo yang berparuh empat. Ternyata kemudian kedua benda
itu - konon tanpa setahunya - sudah lama disimpan oleh Trisirah
di Sala. Nah, di Tidar itu Sawito merasa bertemu dengan Syeh
Subakir itu. "Pada saat itu Subakir memperlihatkan wajahnya yang
tampaknya mirip U Nu, bekas Perdana Menteri Birma," kata Sawito
sebagaimana dikutip Sudjono. Maka perjanjian antara Subakir
dengan Semar (konon penjaga kamtibmas di seluruh Nusantara)
sejak itu batal, lantaran kedudukan Semar sudah digantikan
Sawito.
Di situ Sawito memerintahkan segenap siluman untuk melaksanakan
tugas keamanan dan kestabilan di Nusantara. "Perjanjian dengan
Subakir ialah supaya Nusantara itu dapat menjadi makmur dan
adil. Ternyata setelah ribuan tahun berlalu, kemakmuran ada
tetapi keadilan tidak ada," ujar Sawito. Tapi ketika Semar
menampakkan diri, wajahnya seperti orang Indonesia . . .
Sesudah itu Sawito dan rombongan menuju Borobudur. Tapi hanya
Sawito seorang yang naik ke candi, dari arah timur. Ia merasa
diperintah untuk menatap wajah sang Budha yang menurut
perasaannya sedang tersenyum kepadanya. Perjalanan dilanjutkan
ke Pemancingan, sebelah selatan Sungai Opak, sebelah utara
Prangtritis, Yogya.
Di sana mereka "bertemu" dengan Kiageng Arisboyo, pelarian
Majapahit ketika Islam mulai masuk Jawa. Rombongan peziarah itu
percaya bahwa sejak itu Arisboyo bertugas sebagai Kepala Pusat
Inter Komunikasi Seluruh Dunia Halus di Nusantara. "Badannya
kekar, langsing, pandangannya tajam. Pakaiannya serba hitam
seperti warok Ponorogo, berkumis besar dan tampak berwibawa,"
tulis Sudjono.
Setelah itu mereka ke Mesjid Demak. Di sana Sawito bersembahyang
lohor membelakangi tiang yang dipercayai sebagai dibuat oleh
Sunan Kalijaga. Kemudian sembahyang sunnah dua kali di tempat
imam, yang konon tempat Syeh Siti Jenar dikuburkan. Ketika
mereka ke makam Sunan Kalijogo di Kadilangu, tak seorang
diizinkan masuk oleh juru kuncinya - meskipun Trisirah menyebut
bahwa Sawito salah seorang keturunan wali terkenal itu.
Perjalanan berikutnya ke Rahtawu Kudus, di lereng Gunung Muria.
Penduduk Rahtawu ternyata beragama Budha, pantang mempergelarkan
wayang kulit - mereka percaya bahwa tokoh-tokoh pewayangan
adalah nenek-moyang mereka. Mereka merasa keturunan langsung
Pendawa Lima.
Di sana rombongan ingin "bertemu" dengan 3 tokoh pewayangan:
Palasara, Sakri dan Abiyasa. Di puncak Gunung Rahtawu (1.522
meter) mereka bersemedi mengelilingi sepokok pohon beringin tua.
Duduk bersila berdempetan. "Sambil membakar dupa dan
masing-masing membasahi dahi, hidung, kedua telinga luar dalam,
kedua telapak tangan dan tenggorokan dengan minyak wangi, kami
mengheningkan cipta dengan maksud menghubungi roh-roh
parahyangan yang bersemayam di sana."
Sawito "menagih janji": sekarang juga Indonesia supaya menjadi
negara yang tata-tentrem karta raharja - sambil menancapkan
keris Pulang Geni dan sehelai surat yang disebut Jamus
Kalimasada, yang konon ditemukan Trisirah 30 tahun lalu di
Rahtawu pula Ketika itulah, menurut Sawito. ia mendengar
jawaban: "Ananda, kamu akan memegang pucuk pimpinan negara yang
adil."
Mereka kemudian ke Gunung Saptorenggo, sebelah timur laut
Rahtawu. Dalam perjalanan Sawito "menerima wangsit." Buru-buru
ia mencatat. Isinya? Susunan kabinet: kepala negara, wakil
kepala negara dan lima pembantu kepala negara . . .
Di puncak gunung, jam 17.10, Sudjono menemukan benda kecil
berwarna kuning tua, yang ternyata "gambar muka seorang tua
dengan senyuman lebar yang menyegarkan hati." Jam 3.30, dalam
sebuah upacara semadi, terjadi keajaiban. Sudjono menulis: "Dari
antara kedua batang pohon itulah turun berturut-turut tiga
cahaya menyelorot lari angkasa dengan sudut kira-kira 60
derajat langsung menuju ke arah Sawito."
Esok paginya, di bawah tempat Sawito semalam duduk, mereka
menemukan sekeping batu tipis 6,5 x 4,5 x 1 Cm. "Setelah dicuci
tampak dengan jelas profil Sawito pada balik sebelah dan di
balik lainnya jelas tergores wajah Yesus Kristus dengan hidung
mancung yang lurus dan jenggot panjang yang lebat," tulis
Sudjono.
Sementara itu di sana Trisirah juga berhasil mendapat sebatang
kayu hutan yang jarang ditemui, yang rencananya kelak akan
sangat berguna bagi Sawito: untuk dibuat tongkat, sarung keris,
palu sidang dan tongkat komando. Selain itu Sawito juga berhasil
mendapat tiga biji buah lo (buahan hutan). Menurut Trisirah,
dengan begitu Sawito mendapat "tiga wahyu sekaligus" sebagai
pendeta, raja, dan tentara.
Yang paling menarik barangkali upacara di Hutan Ketonggo.
Tanggal 20 Juli 1972 sore, mereka sampai. Jam 23.00, seperti
yang mereka percayai. akan dilangsungkan upacara penyerahan
kekuasaan kerajaan dari Kamajaya kepada Sawito. "Semua orang
lainnya harus mundur sejauh mungkin dari tempat kehormatan utama
itu, sebagaimana mestinya dalam upacara besar kenegaraan," tulis
Sudjono.
Di sana sekali lagi Sawito mendapat batu tipis bergambar dirinya
dan Kristus. Baik di Muria maupun di Ketonggo, hampir semua
anggota rombongan konon merasa sedang menghadiri upacara
kenegaraan. Ada suara kapal terbang, jet, mobil.
"Sebelum jam 23.00 kami sepanjang malam itu menyaksikan atau
melihat berbagai macam cahaya seliwar-seliwer, hilir-mudik,
datang dan pergi ke mana-mana sekitar tempat kami berkemah. Ada
yang seperti lampu-lampu mobil yang berderet-deret melalui jalan
besar membawa tamu agung yang datang ke tempat itu," tulis
Sudjono. Bahkan menurut cerita Sawito, dalam serah-terima
kekuasaan Kerajaan Manik Kumala dari Hyang Kamajaya (raja
sementara) kepadanya, ia juga sempat mengadakan inspeksi barisan
kehormatan segala.
Kini giliran Nuning, isteri Sawito. Nuning juga "dinobatkan oleh
roh halus." Tanggal 22 Juli 1972 mereka berangkat ke Simo, 12
kilometer sebelah utara Magetan, di lereng timur Gunung Lawu.
Dengan pusaka keris Kyai Naga Piturun, dalam bersemedi Nuning
katanya berhasil mendapat titisan Sang Ratu Dyah Mekarsari,
wanita muda jelita anak Brawijaya I. Ia juga dikenal dengan nama
Puteri Simo.
Beberapa saat kemudian mereka bersiap-siap tidur di kemah. Tapi
Trisirah memberitahukan bahwa Sang Prabu Tambang Prana - ayah
angkat Dyah Mekarsari - mengundang mereka "menginap di istana."
Maka ketika tidur, mereka pun konon bermimpi jalanjalan di
istana yang megah. "Nuning bercerita bahwa ia masuk ke istana
bersama suaminya dan Sita melihat-lihat di dalamnya, jua ia
terbang menjelajah angkasa, mengunjungi beberapa teman di
beberapa tempat, antaranya di Bogor . . . " tulis Sudjono.
Dan sekarang sampailah Trisirah menobatkan dirinya sendiri
sebagai Brawijaya I. Tanggal 23 Juli 1972 rombongan menuju
Kelurahan Karang Gupito, di lereng timur Gunung Lawu, hanya
beberapa kilometer dari Simo. Menurut Trisirah, roh Raden Wijaya
alias Brawijaya I menetap di puncak Lawu sebagai Sunan Lawu.
kemudian menitis ke tubuh Panembahan Supadma di gunung Kendini,
Yogya. Tahun 1906 sang Prabu berkenan "pindah ke dalam tubuh
R.M. Hermans Wiryodiningrat alias R.M. Panji Trisirah.
Pendeknya, malam itu tiga roh sekaligus merasuk dalam tubuh
Trisirah: Brawijaya I, Sunan Lawu dan Panembahan Supadma.
Belum selesai. Perjalanan dilanjutkan ke Mahameru, di puncak
Gunung Semeru dekat Malang, Kamis Pahing 27 Juli 1972. Mereka
sampai di Desa Ranu Darungan dan berkemah dekat sebuah danau.
Reportase Sudjono menarik: "Suasana di sekitar danau tenang
tetapi sangat angker... Meskipun kami tiba jam dua siang
matahari saat itu terselubung mendung sehingga menimbulkan
suasana yang menekan. Suhu kami ukur: 25 derajat Celcius. Satu
setengah jam kemudian sudah turun menjadi 20 derajat, jam 18: 15
derajat dan jam 4 pagi 8 derajat. Kami berusaha mencari tempat
. . . ".
Pendek cerita. di puncak Mahamem itulah, mereka percaya, Hyang
Yama Sejati, Dcwa Mahameru, akan turun menemui Sawito di tepi
danau. Sawio "sang Guruji" dan "Penguasa Baru" jagad raya --
termasuk kawasan puncak Mahameru yang dianggap gunung tertinggi
di dunia akan menyampaikan "Perintah Harian" kepada Dewa
Mahameru yang sejak saat itu tunduk pada Ratu Adil.
Alkisah, tibalah saatnya rombongan ke Situ Panjalu. Ciamis
menghadap Sang Hyang Prabu Cakradewa, cucu Jayabaya, yang nama
pribadinya Saputro, persis nama kecil Trisirah (TEMPO 16 Oktober
1976). Mereka berangkat dari Ciawi 21 Desember l972. Ada 8
orang: Trisirah Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Sawito, Sudjono,
dengan isteri masing-masing.
Kali ini Trisirah mengenakan pakaian serba hijau konon kesukaan
Prabu Cakradewa. Singkat cerita, di sana mcrcka (kccuali Mr.
Iskaq, yang barangkali kurang percaya) berhasil "bertemu muka"
dengan pihak parahyangan. Roh halus itu, sebagaimana ditulis
Sudjono mengutip cerita Trisirah. "Bersepakat untuk bekerja sama
dalam menunaikan tugas yang kita hadapi dalam rangka perubahan
zaman ini. . . membantu segala perjuangan yang kita lakukan
untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dan negara."
Dan dalam tafakurnya Trisirah juga 'menerima" uang logam RI
tahun 1961 bernilai 50 sen, yang kemudian disampaikan kepada
Sawito. Itu lambang akan didapatkannya harta benda kerajaan.
"Sementara itu waktu sudah menjelang tengah malam. Satu per satu
kita masuk ke dalam tenda menurut protokol seperti semula.
Walaupun hawa dingin dan lembab ditambah tanah yang agak basah
di bawah terpal dan kasur kapuk rasanya menembus sampai ke atas,
namun kelima penghuni tenda itu segera tidur lelap . . . "
Barangkali saja, kalau memang segala wangsit dan pengalaman yang
musykil itu benar, Sawito dan tokoh-tokoh itu akan menjadi
orang-orang besar di dunia jin atawa makhluk halus . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini