RUPANYA tak gampang memulangkan para pengungsi Vietnam dari Pulau Galang. Contohnya adalah ketika diadakan acara pemotretan 18 November lalu. Semula, mereka sudah berkumpul. Tapi, karena ada bisik-bisik bahwa yang dipotret akan dipulangkan ke Vietnam, mereka pun lantas bubar, kembali ke barak. Walhasil, para petugas pun gagal menghardik mereka untuk dipotret. Sebagian besar pengungsi yang masih tersisa di Pulau Galang tampaknya masih memendam harapan bisa dikirim ke negeri ketiga, Australia, Amerika Serikat, atau Kanada. Padahal, proses skrining syarat yang menentukan bisa tidaknya mereka ke negara ketiga sudah ditutup 31 Agustus lalu. Dibandingkan dengan sesama negara yang mengelola kamp pengungsi (first asylum countries), Indonesia paling cepat menyelesaikan skrining. Filipina dan Thailand, misalnya, mungkin baru akhir tahun ini menutup proses skrining yang diberlakukan sejak 17 Maret 1989 itu. Sebelumnya, pengungsi yang datangnya bergelombang itu cuma ditampung di kamp, diurus oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), lalu tinggal menunggu jatah penempatan di negara ketiga. Ternyata, pengungsi yang berdatangan membeludak. Sampai- sampai, tiga tahun silam, jumlah yang ditampung di Galang mencapai 20.000 orang. Padahal, fasilitas yang ada cuma cukup untuk 2.000 orang. Dalam kondisi pengungsi berdesak-desakan begitu, muncullah berbagai macam ekses: perkelahian, mabuk- mabukan, seks bebas, hingga pelacuran gelap. Sementara itu, negara penampung seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Prancis mulai kewalahan. Mereka mengulur-ulur tempo penerimaan pengungsi. Rupanya, menurut alasan negara penerima, para manusia perahu yang datang belakangan itu tak punya cukup alasan meninggalkan negaranya. ''Banyak yang cuma bermotif ekonomi,'' kata Wim Rusdi, Ketua Pelaksana Harian P3V Pusat, badan yang mengelola pengungsi Vietnam. Maka, sebagai hasil Konferensi Jenewa mengenai pengungsi Indocina, mulailah berlaku proses skrining bertahap (lihat Susahnya ke Negara Ketiga). Yang lolos tinggal menunggu pengiriman ke negara ketiga, sedangkan yang gagal masuk daftar dipulangkan. Kamp seluas 170 hektare di Galang terbagi menjadi kamp Kamboja, Galang Site I, dan Galang Site II kini dihuni 11.000 pengungsi (termasuk 500 asal Kamboja). Yang berstatus lolos skrining dan mendapat status refugee ada 2.000 orang. Banyak di antaranya bekas anggota tentara Vietnam Selatan dan keluarganya. Dengan demikian, sisanya, sekitar 8.500 orang, mesti direpatriasi. Masalahnya, dari jumlah itu, cuma 2.000 orang yang bersedia dipulangkan. Mereka umumnya sudah putus harapan untuk bisa dikirim ke negara ketiga. Mereka mau pulang ke negaranya sebagai ''sukarelawan'' dan mendapat uang saku dari UNHCR selama setahun. ''Siapa tahu di negeri sendiri bisa bernasib baik,'' kata Bien Hoa, cewek berusia 20 tahun. Sementara itu, pengungsi yang tak lolos skrining masih menganggap pemerintah Vietnam yang sekarang ini bakal memusuhi mereka. Rupanya, mereka masih trauma, ketika mereka tak bisa mencari kerja ke mana-mana, dan selalu diindoktrinasi pemerintah komunis. ''Sampai kapan pun saya betah menunggu di sini. Siapa tahu kebijaksanaan soal pengungsi ini berubah,'' ujar Thanh Tra, bujangan Vietnam berusia 23 tahun. Menghadapi yang begini ini, pemerintah Indonesia menjadi serbasalah. ''Kalau kami menekan keras mereka, nanti dikira melanggar hak asasi manusia. Tapi, kalau memberi angin, kepentingan nasional kita yang terganggu,'' kata Wim Rusdi. Apalagi Kepulauan Riau bekalangan ini sedang digenjot pertumbuhannya untuk mengejar tetangganya, Singapura dan Johor. Megaproyek Barelang kawasan industri berikat dan jembatan layang yang menghubungkan Pulau Batam, Rempang, dan Galang bakal mulai digarap tahun depan. Letak kawasan industri itu nantinya persis di samping kamp Galang. Tentu rumit jadinya kalau pembangunan kawasan industri itu berjalan, sementara para pengungsi masih ditampung di sana. Maka, pagar kawat berduri dibangun mengelilingi barak-barak kumuh. Namun, janganlah membayangkan pagar itu sebagai benteng yang kukuh seperti kamp pengungsi lainnya. Pagar di Galang itu cuma kawat berduri renggang yang mudah diterobos. ''Pagar itu cuma sebagai batas bagi pengungsi untuk bisa berkeliaran,'' kata Mayor Rachman, komandan satpam kamp itu. Pengelola Galang (P3V) dan UNHCR, dibantu peleton kecil Brimob, kini sedang memproses pemindahan pengungsi. Nantinya, kamp pengungsi yang lolos dan yang gagal skrining akan terpisah. Fasilitas hidup di kamp juga mulai dikurangi. Pemutaran video, yang dulu sampai lima buah, dikurangi jadi dua buah sehari. Warung-warung kecil mulai dibongkar. Tukang sepatu, tukang emas, dan penjual-beli dolar pun secara bertahap disetop. Begitu pula salon kecantikan, kedai kopi, dan toko bahan pakaian. Sekolah menengah ditutup. Tinggal SD, dan itu pun hanya sampai kelas lima. Semua itu adalah langkah agar para pengungsi tak lagi berharap bisa tinggal berlama-lama di Galang. Sepintas memang tak ada gejolak di kalangan pengungsi. Lihat saja, sepanjang pagi itu mereka betah menunggu tibanya jatah minyak mereka. Mereka cuma duduk-duduk bergerombol sembari menenteng jeriken plastik. Itu-itu saja menu yang mereka masak di barak-barak mereka yang kumuh: mi rebus, lauk ikan sarden, kadang ditaburi kacang polong. Lalu pulaslah mereka tidur di dipan panjang atau ayunan, di sela-sela centang-perenang baju dan perkakas rumah yang rombeng. Entah sampai kapan. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini