Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Upeti Terbuka buat Kota Baru

Puluhan bupati menyetor miliaran rupiah ke Departemen Dalam Negeri untuk ongkos pembahasan Rancangan Undang Undang Pemekaran Wilayah. Lazim karena duit negara lagi seret, atau pungli?

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT Noor Daeng Rahmatu lagi menggebu-gebu. Pembentukan Kabupaten Parigi Moutong, yang selama ini keras diupayakannya, telah di ambang pintu. "Kami ini sudah dua generasi mengurusnya," katanya. Bapaknya, Daeng Rahmatu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong, sudah sejak tahun 1960-an getol menyuarakan tuntutan ini. Tapi gagasan itu selalu mentok di Jakarta. Perjuangan panjang itu tampaknya kini segera berbuah. Lumbung padi Sulawesi Tengah seluas 600 kilometer persegi dengan 300 ribu penduduk ini akan segera lepas dari Kabupaten Donggala, yang selama ini menaunginya. Jika akhirnya gol, Parigi akan menjadi bagian dari peta baru Republik. Rencananya, sepuluh Rancangan Undang Undang Pemekaran Wilayah akan dibahas sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan ini. Jika disetujui, termasuk Parigi, di negeri ini akan berdiri 22 kota dan kabupaten baru. Se-bagian merupakan wilayah anyar, sebagian lainnya ditingkatkan statusnya, misalnya dari kota administratif menjadi kota madya penuh. Buntut-buntutnya, keputusan politik ini akan diikuti perangkat pamong baru, mulai lurah, camat, sampai bupati dan wali kota. Bagus, memang. Daerah bisa berkembang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Syukur-syukur hasil buminya bisa diolah sehingga memberikan masukan yang sekaligus meringankan beban pusat. Tapi ada kabar tak sedap yang bertiup sejak dua pekan lalu. Dalam sebuah rapat di Departemen Dalam Negeri di Jakarta, Agustus tahun lalu, para petingginya menyalakan sinyal kuning: dana dari pusat tak bisa turun karena anggaran negara memang lagi seret. Dan buntutnya terasa tak enak. Jika daerah tak menyetor sejumlah duit untuk urusan penggodokan wilayah baru ini, pemekaran wilayah cuma akan jadi angan-angan. Rencana busuk ini lalu beredar di Senayan. Bisik-bisik di kalangan anggota dewan menyebut-nyebut adanya "pungutan liar" di balik rencana pemekaran wilayah ini. Untuk melicinkan jalan, tiap bupati dan panitia daerah dikenai pungutan oleh pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri. Nilainya bervariasi, mulai Rp 100 juta sampai 400 juta. Hitung punya hitung, duit empat miliar rupiah lebih sudah terkumpul. Fulus ini untuk ongkos pembahasan draf undang-undang, dari biaya fotokopi sampai untuk "menyemir" para pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan anggota parlemen yang terhormat. Kucuran dana kabarnya sudah tersalur ke gedung rakyat. "Meskipun baru recehan," kata seorang panitia kerja yang enggan disebut namanya. Minggu pagi, 17 Februari kemarin, setelah tiga hari rapat dan bermalam di Hotel Horison, Ancol, Jakarta, kamar sumber TEMPO ini diketuk seorang staf dewan. Ia disodori amplop berisi duit Rp 1,25 juta. "'Uang transpor' dari Depdagri," katanya. Tagihan kamar di hotel berbintang empat itu (tarifnya Rp 550 ribu semalam), berikut makan minum, tentu juga tak usah dipusingkan. Semua telah dilunasi dari dana kutipan Pak Bupati. Toh, "bau duit" itu tak menyurutkan rasa antusias Noor Daeng Rahmatu. Sekretaris Presidium Pembentukan Kabupaten Parigi Moutong ini malah lantang berkata, "Berapa pun dana yang diminta pusat, akan kami sanggupi." Bupati Donggala, Nabi Bidja, bahkan lebih gagah. Ia menyangkal kabar yang menyebut dirinya telah menyetor semiliar rupiah ke Jakarta. "Tapi, kalau itu jadi penghalang, kami siap menyetornya. Dana sebesar itu buat kami tidak jadi masalah," katanya. Ada juga yang protes. Bupati Bima Zainul Arifin bahkan sampai mencak-mencak. "Ini jelas pungli, pungutan liar. Enak saja minta-minta duit. Kalau ada apa-apa di belakang hari, bagaimana pertanggungjawabannya?" ujarnya, jengkel. Zainul dimintai duit karena di wilayahnya akan berdiri sebuah wilayah pemerintahan baru. Itulah Kota Bima (sebelumnya kota administratif), kota persinggahan wisatawan sebelum menuju Pulau Komodo. Saat ditanya soal setoran, Bupati Zainul tak membantah. Seorang stafnya, November tahun lalu, telah menyetor separuh dari dana Rp 100 juta yang diminta. Tapi Zainul tak tahu-menahu, apalagi mengizinkan. Sebab, saat dana semiran keluar, ia tengah mengikuti kursus Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Jakarta. Karena dasar hukumnya tak jelas, Zainul tengah meminta surat permintaan resmi dari Jakarta. Kalau tidak, "Tak sesen pun akan kami keluarkan." Bukan cuma sekali itu Zainul dipungli. Ketika rencana ini masih digodok di Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, ia mengaku sudah dimintai Rp 30 juta oleh Direktur Bina Manajemen Pemerintahan Daerah Depdagri, Syahrir A.B. Tapi permintaan itu tegas ia tolak karena Syahrir menolak membuat surat resmi. Apalagi pembentukan Kota Bima dipaksakan. Dari jumlah minimal tiga kecamatan yang dipersyaratkan, Bima sebenarnya baru punya dua. Kecamatan ketiga baru tergopoh-gopoh diadakan Desember kemarin. Potensi daerah juga tak cukup mendukung. Separuh dari 111 ribu penduduknya adalah petani tradisional, yang rata-rata cuma memiliki tanah lima are. Daerah ini bahkan tak punya produk unggulan. Tarikan dana menjulur sampai ke Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Bupati Aris Makaminan sudah pula ketiban sampur. Ini untuk keperluan pembentukan Kepulauan Talaud?pulau kecil di ujung utara di Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina?sebagai kabupaten terpisah. Dana yang disetor September lalu, sebesar Rp 100 juta, diambil dari anggaran pemerintah daerah. Dana ditransfer ke rekening nomor 119.0001154473 atas nama Tim/PP/Daerah Otonom Ditjen Otda di Bank Mandiri cabang Gambir, Jakarta. "Kalau tidak menyetor, katanya akan ada hambatan," kata Aris, setengah khawatir. Sejumlah anggota Komisi II DPR langsung terkesiap. "Saya mendengar keluhan itu dari beberapa daerah," kata Rodjil Gufron, anggota panitia kerja draf ini dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Begitu pula dengan Berny Tamara, anggota panitia dari Golkar. "Saya memang sedang mengklarifikasinya ke Bupati," kata politisi dari daerah pemilihan Sangihe Talaud ini. Tapi ia membantah amplop Rp 1,25 juta yang dibagikan di Hotel Horison adalah "uang transpor". "Itu resmi, bukan dari daerah," katanya. Untuk setiap pembahasan undang-undang, tiap anggota dewan sebenarnya telah diberi honor Rp 750 ribu, yang diambil dari bujet dinas. Ihwal pungutan itu dibenarkan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Sudarsono Hardjosoekarto. Idealnya, katanya, memang dana sejenis ini mesti datang dari anggaran negara?kalau memang ada duitnya. Tapi, suratnya yang minta biaya pembahasan pemekaran ini pada 24 September lalu ditolak Dirjen Anggaran Anshari Ritonga. Alasannya masuk akal, kondisi keuangan negara lagi ngos-ngosan.Karena itulah tiga hari kemudian Sudarsono lalu mengundang rapat para bupati. Mereka konon sanggup menanggung renteng segala biaya. Agar kesepakatan kuat, lalu ditulis surat pernyataan. Isinya berupa kesediaan untuk urunan, masing-masing Rp 100 juta. Saat itu hadir 22 perwakilan bupati dan DPRD. Rekening di Bank Mandiri lalu dibuka. Total jenderal sudah terkumpul dana sekitar Rp 2,2 miliar. "Tak benar kalau ada yang bilang menyetor sampai Rp 400 juta. Tunjukkan buktinya," kata Direktur Bina Manajemen Pemerintahan Daerah, Syahrir A.B. Dari dana itulah ongkos rapat di Hotel Horison dibayar. Praktek ini sudah lazim dalam setiap pembahasan undang-undang. Termasuk "ongkos transpor" itu? Kali ini Syahrir bilang tak tahu. Dibilang sebagai upeti, Dirjen Sudarsono keras membantah. "Apanya yang mau dimuluskan? Wong kalau syarat administrasi dan politiknya terpenuhi, ya beres," katanya. Ia juga menyanggah bahwa sebagian setoran itu mengucur masuk ke kantong anggota dewan. Sudarsono balik menuding isu ini sengaja ditiupkan pihak-pihak yang tak setuju dengan pemekaran kota. Ia menunjuk Bupati Bima, Zainul Arifin. "Satu-satunya kabupaten yang belum memenuhi kesepakatan adalah Bima. Catat itu," katanya, sewot. Ia menuding Zainul takut jika pemekaran ini terjadi. "Kekuasannya mengkeret." Susahnya, pungutan jenis ini belum diatur halal-haramnya. Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah, tak setuju dengan aksi ramai-ramai bikin kota baru ini. Jika tak diriset secara mendalam, salah-salah langkah ini bisa berakibat makin bolongnya kas daerah. "Mau ada seratus-dua ratus kabupaten, jumlah dana alokasi umum yang didrop Jakarta untuk tiap provinsi itu tetap," tuturnya. Ia mensinyalir usulan ini cuma menguntungkan segelintir orang. Mereka itulah yang membidik sejumlah pos jabatan yang otomatis terbuka setelah kota baru terbentuk. Dirjen Anshari malahan lebih berhati-hati. Dalam suratnya kepada pejabat Depdagri, ia mengingatkan perlunya ditinjau ulang dampak pemekaran daerah otonom ini terhadap kemampuan keuangan, baik untuk kabupaten/kota yang baru maupun yang lama. Inti pesannya jelas: jangan sampai langkah gegabah ini malah mengarah pada pemiskinan daerah. Karaniya D., Adi Prasetya, Dwi Wiyana (Jakarta), Jalil Hakim (Bali), Darlis Muhamad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus