Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Justru sebaliknya. Menurut pengamat politik Imam B. Prasodjo, Presiden memilih melawat ke luar negeri pada hari-hari ini karena ia sangat sadar kunjungannya akan bermanfaat dalam penyelesaian masalah di daerah yang bergolak. ”Dukungan internasional, itulah kata kuncinya,” kata Imam.
Dalam kunjungan ke luar negerinya yang perdana beberapa waktu lalu, Abdurrahman langsung meraih simpati negara-negara sahabat. Dengan melobi Cina, misalnya, pengadilan internasional bagi pelanggar hak asasi manusia di Timor bisa dihindarkan karena Cina dipastikan menggunakan hak vetonya di sidang Dewan Keamanan PBB. Sementara itu, pendekatan ke negara ASEAN dan Timur Tengah praktis mengucilkan Gerakan Aceh Merdeka. Nah, sukses semacam inilah yang ingin diulang. Di Belanda, dengan mendekati pemimpin organisasi Republik Maluku Selatan, Gus Dur berharap pertikaian Ambon yang berlarut bisa dipadamkan.
Di sisi lain, sosok Abdurrahman sebagai pemimpin sipil yang secara fisik rapuh namun berani ”menantang” dominasi militer itu makin mendatangkan guyuran simpati kepadanya. ”Ucapan Gus Dur tentang Wiranto memang untuk konsumsi luar negeri,” kata Imam. Sayangnya, langkah diplomasi yang piawai ini tidak diimbangi para pembantu presiden di dalam negeri. Akibatnya, yang membesar hanyalah bola api dari pernyataan kontroversial sang Presiden. Perundingan bilateral yang dilakukan jadi kurang bergaung, sekalipun sejatinya butir-butir kesepakatan yang lahir bisa sangat berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Misalnya saja, Belanda setuju untuk memberikan bantuan lewat skema Consultative Group for Indonesia (CGI). Yusi A. Pareanom dan koresponden Belanda
RUTE PERJALANAN GUSDUR
Arab Saudi (28-30 Januari)
Presiden berumrah dan bertemu dengan Raja Fahd. Selain berterima kasih atas bantuan pemerintah Arab Saudi terhadap rakyat Aceh, Presiden meminta volume perdagangan ditingkatkan. Permintaan yang sama diajukan kepada Syech Saleh Kamil, Ketua Asosiasi Bank-Bank Islam Dunia dan pemimpin Al-Barkah, grup usaha terbesar di negara itu. Dia juga menyatakan pengiriman TKW akan diteruskan. Sebab, selain hal itu sumber devisa yang besar, ia tidak ingin melukai hati rakyat Arab.
Swiss (30-31 Januari)
Mengunjungi Presiden Swiss Adol Ogi dengan permintaan khusus pelacakan harta Soeharto di negara itu. Namun, pernyataan ini hanya bermakna jika pemerintahnya punya kemauan politik—tampaknya tidak—untuk menyidik sang mantan presiden. (Abdurrahman sudah menyatakan memaafkan pendahulunya itu.) Selain berbicara di berbagai forum, Presiden bertemu dengan Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi Sadako Ogata, George Soros, para pengusaha besar Swiss, Presiden Jerman, Presiden Italia, Presiden Finlandia, dan Raja Norwegia.
Inggris (1 Februari)
PM Inggris menyatakan dukungan sepenuhnya atas langkahnya untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi di Timor Leste.
Prancis (2 Februari)
Meminta tambahan kuota tekstil ke Presiden Prancis Jacques Chirac. Sayang, permintaan ini ditolak karena, menurut Chirac, perubahan kuota ini harus dengan persetujuan Uni Eropa.
Italia
Berencana bertemu Sri Paus di Vatikan.
Chek
Mengunjungi kawan lamanya, Presiden Vaclav Havel, di Chek. Kunjungan berlanjut ke Belgia.
Korea Selatan
Menemui Presiden Kim Dae Jung yang ia akui sebagai salah satu gurunya. Ia juga berencana membicarakan proyek mobil nasional.
Thailand
Menghadiri sidang PBB dan bertemu Sekjen PBB Kofi Annan, lalu mengakhiri lawatannya dengan mengunjungi Brunei.
Belanda (3 Februari)
Bertemu warga Indonesia untuk membicarakan masalah aktual seperti kasus Maluku dan Mataram. Dalam dialog ini, dia menyatakan bahwa eks-PKI yang tinggal di Belanda tidak akan dipersulit untuk mengunjungi Indonesia dengan visa turis. Di Den Haag, 2.000 warga keturunan Maluku berunjuk rasa meminta Presiden menghentikan terjadinya kekerasan di Maluku. PM Belanda Wim Kok menyatakan negaranya siap membantu Indonesia melalui skema CGI, setelah mendapat persetujuan Uni Eropa dan IMF.
Jerman (4 Februari)
Bertemu dengan Kanselir Jerman dan para pengusaha besar serta berjanji menghilangkan biaya siluman yang selama ini jadi ganjalan.
India
Menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Jawaharlal Nehru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo