Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari, pada 1963, terjadi "perang" hebat di rumah pelukis Popo Iskandar. Sederhana saja soalnya. Popo membiarkan kucing tetangga memenuhi rumahnya, sehingga populasinya mencapai puluhan ekor. Sebaliknya, sang istri, Djuariah, jengkel setengah mati. Betapa tidak, selain menimbulkan suara gaduh karena berebut makanan, hewan bermata nyalang itu meninggalkan kotoran seenaknya hampir di setiap pojok rumah. Puncaknya, Djuariah pun mengusir gerombolan kucing itu. Tapi, esoknya, kucing-kucing itu datang kembali. Rupanya, ada yang jatuh hati pada mereka. "Tidak mungkin saya mengusir kucing dari rumah, karena kucing sumber inspirasi saya," ujar Popo Iskandar.
Cerita ini diungkapkan Popo ketika ia menggelar pameran retrospektif untuk menyambut 55 tahun karirnya sebagai pelukis di Galeri Nasional, Jakarta, Februari 1999. Kucing memang "merek dagang" Popo Iskandar. Kucing menjadi tema (subject matter) yang dominan dalam perjalanan karir Popo sejak ia pertama kali melukis kucing pada 1963, yang kemudian diikuti tema ayam jago (1973) dan macan (1980). "Kucing adalah makhluk yang mampu menampilkan bermacam-macam mood: marah, lucu, dan sekaligus memendam misteri," katanya.
Hubungan Popo dengan kucing yang cenderung obsesif oleh beberapa orang dinilai membuat Popo menjadi begitu "ahli" melukis sosok kucing. Sebaliknya, Popo punya argumen. "Justru menggarap tema tunggal secara terus-menerus merupakan tantangan luar biasa berat bagi saya untuk menemukan suatu hal yang baru dari sosok kucing," kata anggota Akademi Jakarta itu.
Bagi Popo, gagasan tiga subyek lukisannya itu hampir tidak pernah habis. Sebab, bukan saja wujud kucing, macan, dan ayam jago memang secara visual menarik, ia juga terlibat secara emosional. Ketiga tema itu menawarkan kemungkinan eksplorasi karakter dan elemen rupa yang luas. Suatu ketika, Popo melukiskan kucing dalam garis ekspresif, tapi pada saat lain ia melukiskan kucing cukup dengan sejumlah goresan garis tegas yang hanya menyisakan kepala dan mata yang mencitrakan sosok kucing. Tak aneh kalau pengamat seni rupa Jim Supangkat menggolongkannya sebagai pelukis modernis yang mencari esensi rupa (formalisme). "Popo melakukan eksperimen melukis kucing dan macan tutul dengan berbagai cara untuk menemukan hakikat susunan rupa," ujar Jim.
Perjalanan hidup Popo adalah cerita panjang seseorang yang menggeluti seni rupa secara total, dari aspek intelektual, pendidikan, hingga praktek seni rupa. Ia lahir di Garut, Jawa Barat, pada 17 Desember 1927. Ayah sebelas anak ini mulai mengenal seni lukis pada 1943 dari Angkama Setjadipradja. Ia kemudian belajar di Keimin Bunka Sidhoso, pusat kebudayaan yang dikontrol oleh pemerintah pendudukan Jepang, pada 1945, lewat bimbingan pelukis Barli Sasmitawinata dan Hendra Gunawan. Bersama Hendra Gunawan, Abas Alibasyah, dan Tjetje Hidayat, Popo menelusuri sudut Kota Bandung untuk membuat sketsa dan lukisan secara langsung dengan mengangkat tema kehidupan sehari-hari dan lanskap.
Ketika revolusi meletup, Popo tak ikut hijrah ke Yogyakarta sebagaimana pelukis lainnya. Ia memilih pulang kampung ke Garut dan bergabung dengan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Tugasnya membuat dokumentasi visual (sketsa) dan poster propaganda. Saat itu, ia sempat membuat 100 poster dan 200 sketsa. Karya sketsanya merupakan karya dokumenter yang autentik tentang suasana revolusi. Ada gambar tentara sedang berlatih berbaris, pengungsi, atau kubu gerilya. Ketika itu, ia nyaris terbunuh gara-gara dicurigai mata-mata Belanda ketika sedang asyik membuat sketsa di atas kertas gambar peta Indonesia di sebuah pasar di Tasikmalaya.
Seusai revolusi, Popo sempat menjadi mahasiswa arsitektur di Institut Teknologi Bandung, tapi kemudian pindah ke jurusan seni rupa gara-gara tangannya tak mampu membuat garis lurus akibat gegar otak ditabrak tentara. Di jurusan seni rupa, ia belajar pada Ries Mulder, yang mengenalkannya pada modernisme. Ia sempat menggeluti kubisme, tapi tak larut dalam modernisme Bandung, dan kemudian menekuni gaya figuratif ekspresif. Itu juga sebabnya Popo tak terlibat dalam ketegangan kubu Bandung dengan kubu Yogya.
Setamat dari ITB, pada 1958, ia menjadi dosen di almamaternya dan di IKIP Bandung sembari tetap melukis. Sejak saat itu pula ia aktif menulis kritik seni rupa dan kritik sastra Sunda, hingga 1987. Puncak keemasan Popo berlangsung pada 1979, saat menikmati "bom" karya lukisnya, yang menjadikannya salah seorang pelukis yang makmur. Tapi penyakit gula dan jantung menggerogoti ketahanannya hingga ia wafat dalam usia 73 tahun pada 29 Januari lalu di Bandung.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo