Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Semilyar gading Tanzania

Husein jusuf, bekas duta besar RI untuk Tanzania, gagal menyelundupkan 184 lonjor gading utuh, gading berukir & kulit binatang langka, keluar dari Tanzania. ia mengaku salah. ali alatas marah besar.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS duta besar di Daar-es-Salaam, Husein Jusuf, 58 tahun, boleh jadi juga tergiur oleh jumlah hadiah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah sebanyak Rp1 milyar. Tapi karena kupon SDSB tidak dijual di Tanzania, diambilnya jalan pintas: ia angkut 184 lonjor gading gajah berbagai ukuran untuk diam-diam dikapalkan ke Indonesia. Nilainya toh sama. Hitung saja: bila berat sebatang gading rata-rata 30 kg, sementara harganya minimal US$ 100 per kg, maka 184 lonjor gading tersebut minimal bernilai Rp 1 milyar. Lebih dari cukup untuk menikmati hari-hari pensiun. Husein Jusuf memang baru saja mengakhiri masa jabatannya, Selasa 10 Januari lalu, setelah tiga tahun bertugas. Tapi penyelundupan barang langka oleh diplomat karier itu gagal. Petugas bea cukai Tanzania mencurigai peti kemas Husein yang isinya dikategorikan milik pribadi alias personal effects itu. Setelah diperiksa, ternyata isinya 184 lonjor gading utuh, gading berukir, dan kulit binatang langka. Barang-barang itu pun disita, sementara Husein sendiri -- yang sudah mengaku bersalah melanggar hukum -- tidak ditahan, karena ia memiliki kekebalan diplomatik "Kami hanya minta agar ia segera pergi dari Tanzania," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tanzania, Aidan Mtoi, kepada kantor berita Reuters. Pemerintah Tanzania rupanya menganggap hal itu sebagai masalah pribadi. Dan sampai minggu lalu, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memang belum menerima protes dari pihak Tanzania. Ulah gegabah dan memalukan itu 10 hari kemudian baru didengar Ali Alatas. Menlu itu marah besar. "Ia akan ditindak tegas, karena tindakan itu tidak dapat ditoleransi," katanya. "Diplomat mestinya tahu ada larangan membawa keluar gading gajah secara gelap. Kalau satu-dua saja dan dibeli secara resmi, mungkin boleh. Tapi katanya dia ini mengeluarkan gading gajah yang dibeli secara gelap dari orang-orang yang menembaknya secara gelap pula. Lagi pula, dalam jumlah yang besar," katanya kepada TEMPO. "Diplomat kita hendaknya jangan menerjang peraturan yang berlaku, meskipun punya kekebalan diplomatik," tambahnya. Justru karena memiliki kekebalan diplomatik itulah barangkali Husein Jusuf hendak menyalahgunakan fasilitas diplomatic bag. Sejak 1961, para diplomat asing memang mendapat fasilitas memasukkan atau mengeluarkan barang ke atau dari negeri tempat mereka bertugas, tanpa dikenai bea masuk. "Namun, agaknya diplomat Indonesia itu benar-benar sedang tidak mujur ...," celetuk Raynald Alfons Mrope, kuasa usaha Tanzania di Den Haag, kepada TEMPO. Pemerintah Tanzania memang melarang ekspor gading gajah dan kulit binatang, lebih-lebih yang langka. Kalaupun mau ekspor, harus mendapat izin khusus dari Kementerian Sumber-Sumber Alam. "Itu pun hanya untuk keperluan ilmiah," ujar Raynald Alfons Mrope lagi. Larangan itu bisa dimaklumi. Sebab, selama 10 tahun terakhir, perburuan gajah Afrika secara liar itu telah mengurangi 50% jumlah populasinya, yang diperkirakan 77.000 ekor. Itu tak berarti orang tak bisa memperoleh barang kerajinan tangan dari gading berukir, sebab di Tanzania banyak pusat kerajinan gading berukir yang resmi. Menurut Raynald, harganya mahal. Yang ukuran kecil saja bisa mencapai US$ 40 atau lebih. Tapi menurut seorang Indonesia yang pernah tinggal di Tanzania, tidak sedikit pemburu gajah -- orang sana sendiri -- yang beroperasi secara gelap. Mereka lantas menjual gading kepada orang asing secara diam-diam pula, biasanya di malam hari. Mungkin Husein Jusuf juga didatangi orang-orang seperti itu. Harganya mahal. Pada 1979 saja harga selonjor US$ 600, sementara sekarang harga per kilo US$ 100. Sabtu petang kemarin Husein Jusuf tiba di Jakarta. Dan Senin paginya, ia melapor kepada bosnya, diterima oleh Ali Alatas selama 45 menit. Tapi belum jelas tindakan apa yang akan ditimpakan kepada bapak dua anak ini. Seperti halnya ketika ia tiba di Bandara Soekarno-Hatta, sampai Senin kemarin ia berhasil lolos dari incaran pers. Di Jakarta, ia tinggal di salah satu rumahnya di Jalan Gereja, Cilandak. Rumah seluas 120 meter persegi di pojok jalan itu sederhana. Di malam hari, rumah itu tampak muram kurang penerangan. Mungkin rumah yang kini didiami anak perempuannya itu dimiliki sebelum ia jadi duta besar. Sementara rumahnya yang lain, di Kemang, dihuni oleh anak lelakinya yang sudah berumah tangga. Senin pagi kemarin, sejak pukul 08.00, Husein Jusuf suami-istri sudah keluar rumah, dan belum pulang sampai sore hari. Penyelundupan lewat fasilitas diplomatik seperti itu pernah juga terjadi di sini. Misalnya, yang pernah dipergoki oleh petugas Bea dan Cukai Tanjungpriok pada 1986. Pelakunya seorang bekas marinir, dibantu seorang karyawan yang hampir seperempat abad bekerja di Departemen Luar Negeri. Mereka menyelundupkan mobil-mobil mewah siap pakai dan tidak dirakit di sini alias completely built up. Misalnya Mercy 260 E, kelas 3.000 cc dan produksi terbaru, yang sejak 1976 haram dikendarai orang Indonesia, kecuali korps diplomatik dan badan internasional. Ternyata, keduanya diperalat oleh penyelundup sebenarnya -- yang raib entah ke mana. Sebab, sulit dipercaya bahwa mereka memiliki modal cukup untuk menjalankan "bisnis" bernilai ratusan juta rupiah. Belakangan diketahui, surat-surat persetujuan impor dari Departemen Luar Negeri dan Sekretariat Kabinet yang dipergunakannya pun palsu. Anehnya, dalam persidangan in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, majelis hakim sama sekali tidak menyebut nama seorang terdakwa pun. Baik hakim maupun jaksa hanya menyebut "orang yang tidak dikenal". Tapi, sidang formal itu perlu, untuk memutuskan bahwa barang bukti disita oleh negara, sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika demikian halnya, mungkinkah pula ada orang lain di balik sang diplomat? Entahlah.Budiman S. Hartoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus