MENGAPA seperti begitu sulit memilih seorang ephorus HKBP? Dalam Anggaran Rumah Tangga HKBP disebutkan, salah satu tugas ephorus adalah gabe parmahan tu angka Huria dohot angka partohonan. Artinya, menjadi gembala bagi seluruh jemaatnya dan segenap pejabat gereja. Itu antara lain bisa ditafsirkan menjaga keimanan umat HKBP agar tetap berada dalam rel yang benar, tidak menyimpang ke mana-mana. Misalnya, menjaga umat agar tak dipengaruhi sinkretisme yang tak sesuai dengan konfesi (pengakuan iman) HKBP yang ditetapkan tahun 1951. Sebutlah pengaruh agama asli orang Batak yang disebut Parmalim, yang percaya bahwa roh nenek moyang bisa memberkati yang masih hidup. Bisa disimpulkan, menurut ketentuan itu, bobot seorang ephorus (dari bahasa Latin yang maknanya pengawas atau pemimpin) lebih pada segi rohaniahnya. Karena itu, menjadi syarat mutlak bahwa seorang ephorus harus pendeta. Itulah sebabnya pelantikan seorang ephorus tak hanya dilakukan secara formal organisatoris, tapi juga dalam sebuah upacara kebaktian di gereja, yang dipimpin seorang pendeta tertua. Sama sekali ditabukan pelantikan itu dilakukan di gedung yang bukan gereja -- entah bila keadaan darurat tak memungkinkannya. Jadi, pelantikan ephorus itu saja sudah sakral sifatnya. Kalau demikian, logikanya, seorang ephorus tentulah seorang yang lebih memperhatikan masalah keagamaan daripada soal organisasi. Seorang yang secara suka rela bersedia mundur bila justru ia menjadi sumber konflik, misalnya. Tapi sebentar. Organisasi HKBP bukan lagi organisasi seperti 131 tahun yang lalu, ketika pertama kali berdiri di Silindung, Tapanuli Utara, dengan satu gereja dan beberapa pengikut. HKBP kini punya 2,5 juta umat, 2.600 jemaat (gereja), dan 600-an pendeta, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Inilah memang gereja terbesar dalam Kristen Protestan di Indonesia. Jumlah umat dan gereja sebanyak itu dibagi dalam 19 distrik dan 273 resor. Satu resor disyaratkan minimal punya dua gereja. Tak aneh jika HKBP juga dilengkapi perangkat birokrasi mirip organisasi ''negara''. Maka, jika dulu fungsi manajer seorang ephorus belum begitu tampak karena umat masih kecil, wajar saja bila perannya sebagai rohaniwanlah yang menonjol. Kini, mau tak mau seorang ephorus juga seorang pemimpin sebuah organisasi yang punya banyak aparat, punya harta, dan banyak menghadapai masalah organisasi, misalnya korupsi. Maka kini seorang ephorus HKBP dibantu seorang sekretaris jenderal. Lalu ada lembaga kontrol, mirip DPR-MPR dalam negara, yang dikenal sebagai parhalado atau majelis pusat. Ada juga sejumlah departemen, lembaga, dan yayasan. Di kantor pusat saja, di Tarutung, ibu kota Tapanuli Utara, ada 200-an pegawai. Lalu ada yang disebut praeses, kira-kira seperti gubernur dalam pemerintahan negara. ''Bupati''-nya adalah pendeta ketua resor. Tentu saja, dengan organisasi seperti itu, para fungsionaris bukanlah pejabat sambilan. Artinya, mereka harus bekerja penuh, dan karena itu perlu imbalan gaji. Menurut sebuah sumber, gaji seorang praeses sekitar Rp 400 ribu sebulan. Itu gaji pokok. Pendapatan seluruhnya dari HKBP mestinya lebih dari itu, dan praeses konon juga mendapat fasilitas tertentu. Dan semua fungsionaris konon mendapat pensiun. Maklum, sumber dana HKBP terbilang miliaran setiap tahun. Dari Distrik Medan-Aceh saja, disetorkan dana Rp 300 juta. Bahkan Distrik Jawa-Kalimantan mampu menyetor Rp 500 juta setahun ke kantor pusat. Asal dana ini dari yang disebut durung-durung (kolekte) dari warga jemaat setiap kebaktian Minggu. Ini belum termasuk pemasukan dari sekolah-sekolah HKBP mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Semua itu menjadi tanggung jawab seorang ephorus untuk menjaganya. Dan sudah barang tentu imbalan buat ephorus di atas imbalan buat praeses. Tak diperoleh keterangan yang pasti jumlahnya, hanya saja salah satu fasilitas buat seorang ephorus adalah rumah dinas. Jadi, adakah karena peranan sentral seorang ephorus maka untuk mengisi jabatan itu demikian sulit? Mungkin jawabannya adalah ''ya''. Seseorang yang mendapat tanggung jawab memelihara hal-hal yang bersifat kerohanian umat, sekaligus mendapat tugas menjaga harta miliaran milik gereja, mestinya bukan sembarang orang. Lalu seperti bisa dimaklumi bila sebagian umat percaya pada seorang pendeta di sana, dan yang lain percaya pada pendeta di sini. Dan perbedaan pandangan akan semakin kisruh bila ada unsur luar masuk. Mestinya Pendeta Nommensen, ephorus pertama, tak mengira gerejanya akan menjadi sekompleks sekarang, dan menentukan ephorus bukan hal yang mudah. Bersihar Lubis, Sarluhut Napitupulu, Munawar Khalil (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini