Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kaki Gunung Wellington, sebuah kota bernama Hobart memperkenalkan sastra Indonesia. Di Pulau Tasmania, negara bagian di selatan, Direktur Yayasan Lontar dan penerjemah John H. McGlynn membawa 25 buku sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris sembari menggelar presentasi "Why Translation Matters" ("Mengapa Penerjemahan Itu Penting").
"Sejak dulu penerjemahan adalah alat komunikasi yang penting untuk menyebarkan gagasan," kata McGlynn pada Juli lalu di hadapan ratusan peserta Indonesia Council Open Conference, konferensi dua tahunan yang dihadiri kalangan akademikus Australia peneliti Indonesia.
McGlynn, yang menetap di Jakarta sejak 1970-an, mendirikan Yayasan Lontar bersama Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Subagio Sastrowardoyo 25 tahun silam sebagai lembaga nirlaba yang bertujuan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris. Sejak itu, Yayasan Lontar sudah menerbitkan puluhan novel, kumpulan puisi, antologi cerpen, naskah drama, dan jurnal sastra berkala Menagerie.
McGlynn menyatakan, tanpa penerjemahan, mustahil terjadi pemahaman dan pelajaran sastra antarnegara. Dia berhadapan dengan ratusan Indonesianis terkemuka, seperti David T. Hill, Pamela Allen, Barbara Hatley, Greg Fealy, dan Adrian Vickers, serta mereka yang sedikit lebih muda, seperti Stephen Miller, dan puluhan kandidat PhD yang tengah melakukan penelitian tentang Indonesia.
Inilah salah satu tujuan Yayasan Lontar memboyong setumpuk buku sastra itu ke tiga kota di Australia-yang dinamakan Modern Indonesian Library. "Ini masih kelompok pertama dari berbagai karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Nantinya akan disusul dengan karya-karya berikutnya hingga berjumlah lebih dari 100 buku," ucap McGlynn. Perjalanan promosi buku sastra ke tiga kota di Australia ini bertujuan mengangkat sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, katakanlah sebagai pemanasan Road to Frankfurt Book Fair 2015-di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan. Sejak tahun lalu Yayasan Lontar sudah dihubungi panitia Frankfurt Book Fair agar menjadi salah satu motor untuk program besar itu. Tapi, seperti diutarakan McGlynn, "Tak mungkin upaya penerjemahan ratusan buku ini bisa berjalan tanpa dukungan pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan untuk acara itu."
Karena itulah McGlynn berinisiatif menjalankan semacam pemanasan perkenalan Modern Indonesian Library ke Australia, sebagai negara tetangga pertama yang sangat tertarik mengenal kebudayaan Indonesia. Untuk program ini, Pamela Allen, dosen dan peneliti studi Indonesia Universitas Tasmania, mengkoordinasikan dukungan finansial dan fasilitas dari Australia-Indonesia Institute, University of Tasmania, dan Murdoch University. "Sebagai seorang akademikus sastra sekaligus penerjemah, saya beranggapan sastra menyatakan kebenaran seperti halnya sejarah dan sains," kata Pamela Allen dalam presentasinya. "Karena itu, penerjemahan adalah proses vital agar karya sastra bisa menembus batas negara."
Ke-25 buku yang dibawa ke Australia dan dikemas menjadi satu seri itu terdiri atas novel klasik Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, yang diterjemahkan George Fowler; Belenggu oleh Armijn Pane, yang diterjemahkan John McGlynn menjadi Shackles; Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, yang diterjemahkan Claire Holt dan John McGlynn menjadi Twilight in Jakarta; serta Para Priyayi ciptaan Umar Kayam, yang diterjemahkan Vladislav Zhukov menjadi Javanese Gentry. Juga rangkaian fiksi dan antologi puisi sastrawan yang lebih muda, seperti Dorothea Rosa Herliany dan Lily Yulianti Farid.
"Ke-25 buku yang sudah terbit lebih dulu ini tidak menunjukkan bahwa mereka lebih penting daripada karya berikutnya yang sedang dan akan diterjemahkan," kata McGlynn menjawab pertanyaan Vedi Hadiz, dosen dan peneliti Murdoch University, Perth, yang mempertanyakan mengapa nama Chairil Anwar belum tercantum dalam daftar itu. McGlynn mengatakan tentu saja nama-nama seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin atau yang lebih muda, seperti Joko Pinurbo, sudah masuk daftar, "Tapi semua masih dalam proses. Ada soal izin, ada soal teknis, ada soal minim dana dan minim penerjemah. Dua puluh lima karya sastra yang dibawa sekarang adalah yang sudah selesai diterjemahkan. Sebagian malah sudah lama diterjemahkan, seperti Belenggu karya Armijn Pane." Soal lain yang akan makan waktu adalah karya sastrawan yang sudah mendunia, seperti Pramoedya Ananta Toer, yang sudah diterbitkan oleh penerbit besar internasional. Untuk dimasukkan ke koleksi Modern Indonesian Library agar bisa ditampilkan di Frankfurt Book Fair 2015 kelak harus melalui izin kerja sama yang panjang. "Sementara itu, kita sudah harus melakukan perjalanan ini karena program Frankfurt Book Fair akan berlangsung dua tahun lagi," ujar McGlynn.
Tantangan terbesar seorang penerbit buku penerjemahan, katanya, kompleksitas izin menerbitkan karya sastrawan yang sudah wafat. Undang-undang di Indonesia mengharuskan perolehan izin dari seluruh ahli waris. "Jadi, kalau ahli warisnya ada delapan orang, izin harus diperoleh semua orang," katanya.
McGlynn berterus terang bahwa daftar panjang karya sastra sesuai dengan zamannya sudah dibuat. Namun karena penerjemahan membutuhkan biaya yang sangat besar-antara lain buat membayar penerjemah dan ongkos penerbitan-perkenalan karya-karya Modern Indonesian Library dilakukan bertahap. "Saat ini kami belum memiliki dana untuk merekrut penerjemah dengan imbalan profesional yang standar," ucapnya. McGlynn mengaku Yayasan Lontar sangat berutang budi kepada para penerjemah yang bekerja hanya karena mereka jatuh cinta, meski dengan imbalatan sangat minim.
McGlynn berharap, dengan dorongan Frankfurt Book Fair, penerjemahan karya sastra ke bahasa Inggris akan dilakukan dengan profesional-jumlah karya sastra yang harus ditampilkan di Frankfurt Book Fair minimal harus 100 buah. Selain untuk ditampilkan di acara Frankfurt Book Fair sebagai tamu kehormatan, karya-karya sastra Indonesia perlu diterjemahkan ke bahasa Jerman. Karena itulah, "Selain kami harus mencari donatur, seharusnya pemerintah Indonesia sudah bergerak dari sekarang mempersiapkan buku-buku yang akan dibawa ke sana," kata McGlynn sambil menunjuk negara lain, seperti Cina, yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair tahun lalu, langsung didukung pemerintahnya dan mengadakan persiapan penerjemahan tiga tahun sebelum acara Frankfurt Book Fair.
Sementara menanti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bergerak, tim Yayasan Lontar bekerja sama dengan berbagai universitas dan institusi di Australia ingin melakukan langkah awal. Sebab, menurut Pamela Allen, yang juga penerjemah novel Saman karya Ayu Utami yang diterbitkan Equinox itu, "Penerjemahan sastra bukan hanya kunci utama untuk menguak kekayaan sastra Indonesia, melainkan juga buat mengungkap sejarah dan realitas politik negara ini."
Yang tampaknya tak disadari pemerintah-yang entah kapan akan menyelenggarakan persiapan sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair-adalah penerjemahan karya sastra ialah pekerjaan yang makan waktu, ongkos, dan tenaga. Jika pemerintah bersikap serius ingin menjadi tamu kehormatan dua tahun lagi, seharusnya sekarang sudah terdengar gerabak-gerubuk kerjanya.
Menerjemahkan sebuah karya memerlukan penerjemah yang baik. Artinya pekerjaan itu bukan soal kemampuan memindahkan kata demi kata belaka. Tantangan penerjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris adalah karena ini sekaligus pekerjaan, "Menerjemahkan kebudayaan," ucap Harry Aveling, dosen dan peneliti kebudayaan dan linguistik Monash University, Melbourne, yang dikenal sebagai generasi awal penerjemah sastra Indonesia dan Malaysia.
"Bahasa Indonesia, misalnya, tak membedakan gender untuk orang ketiga tunggal; hanya ada kata 'dia'. Bahasa Indonesia juga tak mengenal bentuk past tense dan future tense. Tapi kompleksitas bahasa Indonesia ditentukan dari awalan, akhiran, sisipan, dan berbagai istilah unik," kata Aveling, yang sudah menerjemahkan sekitar 50 karya Indonesia ke bahasa Inggris, dari karya Rendra, Iwan Simatupang, hingga Dorothea Rosa Herliany.
Ucapan Harry Aveling senada dengan Pamela Allen, yang mengatakan tantangan terbesar penerjemahan adalah bagaimana membuat teks yang berbau "domestik" atau faktor yang mengindikasikan sosio-kultural Indonesia-misalnya kata "becak", "saweran", "kiai", dan "abangan"-menjadi sesuatu yang bisa dipahami oleh pembaca asing, terutama yang sama sekali tak pernah menyentuh atau mengenal Indonesia.
Ini bisa disaksikan bagaimana sambutan pengunjung The Tasmanian Writers' Centre, pusat kesenian Hobart yang berlokasi tak jauh dari Sungai Derwent, terhadap pembacaan cerita pendek Lily Yulianti Farid berjudul "The Kitchen". Cerita pendek ini adalah bagian dari antologi cerpen Family Room yang diterjemahkan John McGlynn yang berkisah tentang sebuah keluarga yang menggunakan dapur dan masakan sebagai bagian dari ekspresi problem keluarga, sosial, dan politik. Sebelum membacakan cerita pendeknya, Lily menjelaskan plot cerita dan konteks yang akan ia bacakan. Tokoh Kalyla, sang protagonis, adalah narator cerita ini yang berkisah dengan jenaka bagaimana ibunya dan Ruth, pengasuhnya, adalah dua perempuan yang menjadi panutannya. Dapur bukan hanya tempat mereka mengolah masakan, melainkan juga mengolah rasa dan emosi.
"You're becoming an expert at making rubber bread," Mother commented, describing in simple term Ruth's reaction to her sadness and anger.
Lily membacakan dengan nada gerutu seorang ibu. Pengunjung yang memenuhi ruangan kecil di The Tasmanian Writers' Centre tertawa terkekeh-kekeh. "The Kitchen" bukan hanya cerita jenaka, melainkan juga kisah kepedihan. Seperti yang dikatakan kritikus sastra Melani Budianta dalam pengantar antologi Lily, "Ini adalah lembaran sedih dalam sejarah Indonesia di mana sesama warga Ambon terlibat konflik pada akhir 1990-an."
"The bread and doughnut that Ruth produced in the kitchen while watching the horrible scenes of destruction in Ambon became the most pliable dough she had ever produced."
Pengunjung Hobart kini terdiam. Mereka tegang mendengarkan kalimat-kalimat yang dibacakan selanjutnya karena kini Lily tak hanya berkisah soal "dapur". Dia juga bercerita tentang seorang ibu tunggal yang harus menghadapi budaya korupsi, budaya pergunjingan yang destruktif setelah pecahnya sebuah ikatan perkawinan, dan lebih lagi persoalan kecamuk konflik di timur Indonesia, yang selalu menjadi perhatian utama Lily, yang dikenal sebagai penggagas Makassar International Writers Festival.
Seusai pembacaan, tepuk tangan menggemuruh. Chris Gallagher, Direktur The Tasmanian Writers' Centre, mengaku terpesona. "Meski sama sekali tak mengenal Indonesia, saya bisa menangkap betapa universalnya cerita ini," katanya kepada Tempo. Gallagher menyatakan, karena mendengar cerita-cerita yang dibacakan malam itu, dia jadi tertarik membaca karya sastra Indonesia lebih dalam dan ingin berkunjung ke Indonesia suatu hari.
"Inilah yang saya maksud bahwa penerjemahan sastra Indonesia akan berhasil menyampaikan pengetahuan, meski pada tahap perkenalan, tentang keadaan sosial dan politik Indonesia kepada pembaca asing," ucap Pamela Allen. Bagi dia, tanpa penerjemahan, kekayaan dan keindahan karya ini hanya akan terkurung di negaranya sendiri dan tak bisa dinikmati masyarakat dunia lebih luas.
Acara memperkenalkan sastra Indonesia di Hobart bisa dikatakan seperti sebuah acara intim yang asyik di sebuah kota pelabuhan dengan penduduk yang ramah dan menyenangkan.
SEMENTARA Hobart di Pulau Tasmania yang memang jauh dari Indonesia secara geografis itu belum terlalu mengenal Indonesia secara dekat, kota-kota seperti Melbourne (apalagi Sydney dan Canberra) serta Perth adalah tempat masyarakat Indonesia dan para Indonesianis berkumpul. Dosen dan peneliti terkemuka David T. Hill dari Murdoch University mengkoordinasi program dua hari penuh dengan rapi untuk acara Modern Indonesian Library. Sebab, "Selama ini Indonesia cenderung berorientasi ke bagian timur Australia, yaitu Sydney, Canberra, dan Melbourne," katanya. "Kini sudah waktunya kita menciptakan pertalian yang intens dengan bagian barat Australia, terutama Perth."
Maka, selain digelarnya presentasi Modern Indonesian Library, tim Yayasan Lontar dipertemukan dengan para peneliti dan kandidat PhD Asia di Asia Research Centre. Hill juga mengadakan acara buka puasa sekaligus pembacaan karya-karya sastra Indonesia, yang dipresentasikan tim David Moody dan Drama Department Murdoch University.
Menurut McGlynn, pertama-tama yang dinilai seorang penerjemah adalah mutu sastra. "It has to be a good story," ujarnya. Setelah faktor estetika, penerbit asing akan mencari sesuatu yang "unik".
Selain soal mutu sastra, tanpa jatuh pada eksotisme, ada hal yang berbau "lokal" khas dari Indonesia yang akan menarik perhatian penerbit asing. Dalam hal ini, Yayasan Lontar sebagai lembaga penerjemah bertahan pada mutu sastra sebagai pilihan utama dan faktor lain, seperti tema politik atau sosial-budaya, kemudian menjadi pendukung.
McGlynn juga menceritakan berbagai tantangan distribusi karya terjemahan, yang menurut dia merupakan ciri khas industri penerbitan di mana-mana. "Penerbit di mana pun, termasuk di Indonesia, lebih terbuka pada bentuk fiksi, khususnya novel. Mereka kurang bersemangat mengedarkan kumpulan puisi. Dari penyair terkenal saja tidak terlalu laku, apalagi karya penyair yang belum pernah mereka dengar."
Bagaimanapun, Yayasan Lontar dan kelak tim kurasi untuk Frankfurt Book Fair 2015 tetap akan menyusun daftar karya sastra tanpa mengindahkan sisi komersial. Yang penting, seperti yang diutarakan McGlynn, "Kita melangkah saja dulu sekarang. Penerjemahan sudah harus dimulai. Jika kita melakukannya pada menit terakhir, karya-karya itu akan diterjemahkan secara sembarangan dan tidak adil untuk para sastrawan Indonesia."
Leila S. Chudori (Hobart, Melbourne, Perth)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo