RICUH di HKBP tak menghalangi Dr. S.A.E. Nababan terbang ke Jerman. Malah ia menganggap ini merupakan ''hiburan di tengah perjuangan, dan kehormatan bagi HKBP.'' Di Universitas Munster, Jerman, Selasa pekan lalu Nababan, 60 tahun, menerima gelar doktor kehormatan dalam ilmu teologi. Ephorus HKBP yang masa jabatannya habis di November tahun lalu itu, seperti diketahui, menjadi tokoh di pihak yang keberatan terhadap campur tangan pemerintah dalam ricuh HKBP kini. Berikut petikan wawancara tertulis TEMPO. Mengapa konflik ini muncul? Sesuatu yang bertumbuh adalah suatu proses, dan dalam proses itu akan terjadi benturan-benturan. Dan itu karena pembaruan Anda? Apa yang disebut ''gerakan pembaruan'' pertama-tama adalah pelaksanaan mandat Gereja sebagaimana digariskan dalam Konfesi (Pengakuan Iman HKBP, Red), Aturan dan Peraturan HKBP, dan keputusan-keputusan Sinode Godang. Pada dasarnya jemaat menyambut gerakan ini, tapi ada sekelompok pelayan yang belum siap menerimanya. Tentang pembaruan itu sendiri? Saya melihat pentingnya iman jemaat tumbuh dewasa agar warga jemaat mampu menghadapi roh-roh zaman dalam era industrialisasi yang akan datang. Bila tidak, orang akan tercecer atau hanyut oleh perubahan sosial. Iman yang terus bertumbuh akan mendorong manusia berusaha sendiri keluar dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan menghilangkan'' kefanatikan agama'' yang destruktif. Sebab lain konflik itu? Konflik lain adalah konflik ''biasa'', yang sebenarnya dapat diatasi bila HKBP memiliki peraturan yang cukup. Dulu Gereja dapat hidup dengan sedikit peraturan tertulis di samping segudang peraturan lisan tradisi. Keadaan ini tidak dapat lagi dipertahankan dalam masyarakat yang makin teratur. Tampaknya ada faktor perebutan jabatan ephorus.... Jabatan ephorus bukanlah jabatan yang perlu diperebutkan. Terutama di zaman sekarang, karena ''kekuasaan'' ephorus itu harus lebih dibagi-bagi kepada para praeses, yang sebenarnya adalah ''ephorus'' dalam distrik masing-masing. Zaman ini adalah zaman partisipatif. Setiap penggumpalan ''kekuasaan'' hanya di tangan seseorang akan membatasi partisipasi warga jemaat untuk ikut berperan dalam bersekutu, bersaksi, dan melayani. Apakah konflik itu juga karena HKBP Gereja yang eksklusif etnis Batak? Hakikat HKBP sebagai Gereja bukanlah Gereja etnis, dan bukan Gereja teritorial. Anggaran Dasar HKBP pasal 7 mewajibkan HKBP mengusahakan kesatuan Gereja. Jadi persoalannya bukanlah soal organisasi, melainkan tanggung jawab teologis. Kalau begitu bagaimana cara menyelesaikan konflik itu? Konflik yang ada sekarang akan dapat diselesaikan HKBP dengan perantaraan sidang sinode agung yang tidak dicampuri pihak ketiga mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini