Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serba-Serbi Dominasi Pemilih Milenial di Pemilu 2024 Akibat Pengaruh Sosial Media

KPU sebut Pemilu 2024 didominasi generasi milenial sebesar 60 persen.

18 Februari 2023 | 14.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - August Mellaz, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, menyatakan bahwa dalam Pemilu 2024, komposisi pemilih akan didominasi oleh kelompok usia muda. Jumlah kelompok ini diperkirakan mencapai 60 persen dari total pemilih yang sah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Berdasarkan data DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari pemerintah proporsi pemilih 2024 pada 14 Februari nanti mencapai usia 17-39 tahun itu 55 sampai 60 persen,"ucapnya saat menjadi narasumber acara KPU “Sumbang Suara Kaum Muda dalam Peran Menciptakan Pemilu 2024 Damai yang Bermartabat dan Deklarasi “Milenial Dukung Pemilu Damai, Indonesia Bangkit Berdaya”, Jumat, 17 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

August menyampaikan bahwa data pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 diperkirakan akan didominasi oleh kelompok usia muda, yang terdiri dari Gen Z dan Milenial.

August menekankan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memanfaatkan momentum ini dengan baik, mengingat kelompok pemilih yang tumbuh dan hidup di Indonesia secara genetika berbeda. Bahkan, menurut August, partai politik juga perlu menyesuaikan paradigma mereka terhadap pemilih dari kelompok usia muda ini.

"Mereka ramah dengan pemanfaatan teknologi informasi, mereka termasuk individu-individu bukan hanya ramah, tapi sumber informasi yang bisa didapatkan dengan cepat," ucapnya.

Pemilih Milenial Lebih Melek Politik dan Kebal terhadap Politik Identitas

August berpendapat bahwa KPU sebenarnya tidak terlalu khawatir bahwa para anak muda akan terjebak dalam politik identitas. Ia berpendapat bahwa anak muda memiliki mekanisme sendiri untuk menangkal hal itu.

"Karena pada dasarnya justru anak muda yang ada di Indonesia itu sudah dalam kehidupannya bersosial, berkomunitas, itu biasanya memang berinteraksi dengan punya preferensi yang berbeda-beda," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh, Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Prof Dr Gunarto pada Kamis 2 Februari 2023. Ia menilai generasi Y dan Z yang notabene akrab dengan sosial media akan semakin melek politik. Eksistensi media sosial menurutnya dapat menjadi referensi para gen Y dan Z terkait konten politik.

“Mereka adalah generasi yang akrab dengan media sosial dan menggunakan media tersebut sebagai salah satu referensi politik,” kata dia, dikutip dari laporan krjogja.com mitra Teras.id, Ahad 5 Februari 2023.

Generasi Y, yang juga dikenal sebagai generasi milenial, lahir pada rentang tahun 1977-1998 dan saat ini berusia antara 27 hingga 48 tahun. Mereka adalah salah satu generasi yang memiliki akses yang luas terhadap isu politik dan demokrasi.

Sementara itu, generasi Z, yang lahir antara tahun 1999-2012, sering disebut sebagai digital native. Mereka sangat mahir dan terampil dalam menggunakan teknologi digital dan multimedia. Hampir seluruh anggota generasi Z aktif menggunakan media sosial, dan seringkali terpapar dengan konten politik di platform tersebut.

Media Sosial Memungkinkan Implementasi Politik Digital

Menurut Gunarto, kehadiran media sosial telah memungkinkan adanya implementasi politik digital. Politik digital merupakan ruang bagi ikatan-ikatan politik di masyarakat yang hadir dalam bentuk konten teknologi, yang dapat digunakan baik untuk memperkuat atau mengurangi kadar demokrasi.

“Secara harfiah, politik digital menjadi arena besar yang memungkinkan adanya partisipasi, representasi, maupun artikulasi kepentingan kemudian bersinergi dan berkontestasi satu sama lain melalui konten digital sebagai agennya,” katanya.

Kehadiran media sosial secara tidak langsung telah membentuk karakteristik generasi Y dan Z, yang akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam isu sosial-politik. Media sosial memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai isu secara cepat dan luas, termasuk isu lingkungan, keberagaman, kesetaraan, dan pemerintahan yang bersih. Hal ini membuat generasi Y dan Z lebih terbuka dan dinilai memiliki pola pikir yang progresif dalam politik.

Partisipasi generasi Y dan Z dalam politik di ruang digital bahkan semakin terlihat ketika mereka berhasil mengusung gerakan #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019. Hal ini membuktikan bahwa kedua generasi tersebut memiliki potensi besar untuk mendominasi ruang politik pada masa yang akan datang.

Dalam Survei Nasional Anak Muda tahun 2021, diketahui bahwa anak muda dalam rentang usia 17-21 tahun telah memahami dan mampu memberikan pandangan mereka terkait isu sosial-politik, dan dapat memberikan suara mereka dalam ranah publik.

Mereka mampu memberikan pandangan mereka terkait isu-isu penting dalam ruang publik. Berdasarkan survei tersebut, anak muda menganggap permasalahan intoleransi sangat penting dan memerlukan penanganan yang mendesak.

Pemilih Milenial Perlu Memilah dan Memfilter Informasi agar Terhindar dari Hoaks

Meski kebal terhadap politik identitas, namun August khawatir dengan penyebaran hoaks politik identitas melalui media sosial dan pemanfaatan teknologi lainnya. "Kita punya kekhawatiran mungkin harus antisipasi politik identitas efek dari pemanfaatan teknologi, hoaks segala macem ya. Itu satu hal kita harus antisipasi," ucapnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, August menyarankan agar para pemilih muda memiliki cara untuk memilah dan memfilter informasi yang beredar di media sosial. Menurut August, lembaga survei yang kredibel menyebutkan bahwa anak muda memiliki cara sendiri untuk memilih informasi yang benar, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan menurut August.

"Pertama, apakah informasi itu sah atau tidak kalau diproduksi oleh lembaga yg otoritatif misalnya KPU, resmi,"  kata dia. 

Tak  hanya itu, para anak muda juga dinilai akan mengonfirmasi dengan selektif  media apa yang menyebarkan informasi itu. "Apakah informasi tersebut dikonsumsi oleh media mainstream. Tetap mereka punya komunitas-komunitas kecil misalnya di sekolah atau melalui medsos mereka itu layak nggak dikonsumsi," ucapnya

Yang terakhir, kata August, filtrasi informasi itu bisa dilakukan dari lapisan terkecil yakni keluarga, orang tua dengan berdiskusi saat makan malam bersama. "Itu selain apakah informasi itu sah karena dari lembaga resmi, dan menjadi tren karena dikonsumsi media resmi," kata dia.

Di sisi lain, Gunarto mengatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan saat ini adalah penguatan literasi politik. Dengan adanya media sosial kian tersebar konten yang berisi politik kebencian yang berpotensi berdampak negatif bagi generasi muda. Literasi politik memungkinkan generasi Y dan gen Z untuk memilah informasi yang baik perihal isu politik.

TIKA AYU | PUTRI SAFIRA PITALOKA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus