Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seribu Suara Tahun 1984

Memperingati 39 tahun merdeka, pool pendapat dengan tema nasionalisme. Masalah membelui produk dalam negeri. Masalah pembauran istilah PRI dan non PRI. (nas)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERDEKA! Setelah 39 tahun mengecap kebebasan, salam nasional yang dulu dipekikkan dengan garang itu kini makin jarang terdengar. Kalaupun ada, suaranya pun tak terlalu lantang. Zaman gegap gempita sorak-sorai kini memang telah berakhir. Ada yang berpendapat, kendurnya teriakan "Merdeka" dan sunyi sepinya sorak-sorai sekarang ini sebagai pertanda telah terkikisnya rasa patriotisrpe dan nasionalisme. Seberapa jauh hal ii benar? Untuk itu kali ini poll TEMPO, yang untuk keempat kalinya diadakan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, sengaja memilih nasionalisme sebagai salah satu tema. Kadar nasionalisme tentu saja tidak bisa diukur dengan kerajinan memakai pakaian seragam atau mengikuti penataran. Ia tidak juga harus ditentukan dari cepat dan kerasnya seseorang meneriakkan dukungan atau semboyan. Cara lain yang tidak langsung adalah dengan menanyakan alasan seseorang dalam membeli barang hasil produksi dalam negeri. Tentu saja ini bisa dipertentangkan. Di zaman ketika pertimbangan praktis dan ekonomis sering lebih menonjol seperti saat ini, membeli produksi dalam negeri karena didasari rasa bangga mungkin malahan dianggap sikap yang "ketinggalan aman" atau "sok nasionalistis." Hasil pengumpulan pendapat umum TEMPO menunjukkan, hampir 22% dari responden yang ditanya ternyata membeli produksi dalam negeri karena rasa kebanggaan itu. Yang menarik, sebagian besar di antara mereka adalah lulusan SLTA dan universitas. Dengan kata lain, cukup banyak kalangan yang berpendidikan yang "emosional", dalam arti tidak meqggunakan pertimbangan praktis ekonomis. Apakah ini bisa diartikan kadar rasa nasionalisme masih cukup tebal di masyarakat kita? Masalah pembauran juga dipilih sebagai salah satu topik dalam poll tahun ini. Setelah 39 kali memperingati ulang tahun kemerdekaan, salah satu isu yang tetap hangat adalah masalah sekitar tiga juta warga negara keturunan Cina. Benarkah anggapan bahwa mereka mendominasi ekonomi Indonesia? Cara mana yang terbaik untuk mempercepat pembauran ? Beberapa bulan lalu ada anjuran aar istilah pri dan nonpri diganti dengan asli dan tidak asli, sesuai dengan istilah dalam UUD 1945. Seberapa jauh anjuran ini telah memasyarakat? Untuk menetahuinya, kami cantumkan hal itu dalam daftar pertanyaan yang diajukan pada responden. Tujuan poll TEMPO memang itu: untuk menjajaki pendapat khalayak, memonitor gejolak hati masyarakat, lewat suatu pengumpulan pendapat umum. Suara dari bawah itu mungkin tidak tertangkap bila dimonitor saluran resmi. Kali ini 1.000 kuesioner disebarkan ke beberapa daerah, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya. Yang kembali 965 lembar. Sekitar 35% respondennya wanita. Hampir seperempat responden adalah pelajar dan mahasiswa (23,7%), seimbang dengan pegawai negeri dan anggota ABRI (23,6%), serta karyawan swasta (21%). Yang menarik, tercatat 8,4% responden yang mengaku sebagai penganggur. Usia responden: 48% berumur 21-30 tahun, dan 29% antara 31 tahun dan 40 tahun. Sebagian besar berpendidikan SLTA (33%), lulusan akademi (16%), dan universitas (27%). Kepada mereka diajukan daftar berisi 12 pertanyaan. Sebagian di antaranya pernah diajukan dalam poll sebelumnya, hingga bisa diukur ada tidaknya perubahan pendapat umum. ANCAMAN Ternyata, memang ada perubahan. Pada poll 1980, ada pertanyaan: Bahaya apa dari dalam negeri yang paling mengancam bangsa kita? Jawaban yang masuk waktu itu: korupsi dan penyalahgunaan wewenang 43,8%, bangkitnya kembali PKI 21,6%. Pertanyaan yang sama diajukan tahun ini. Responden yang menganggap sisa PKI sebagai ancaman terbesar naik menjadi 29,7%. Sedangkan yang memilih korupsi sebagai ancaman terbesar 24,5 %, dan penyalahgunaan wewenang 19,5%. Tahun ini keduanya memang tak dipisahkan, tapi, andaikan digabung, jumlahnya (44%) hampir sama dengan poll 1980 (43,8%). Mungkin sekali bertambahnya responden yang menganggap sisa PKI sebagai ancaman terbesar, karena belakangan ini banyak pidato pejabat tinggi pemerintah mengenai perlunya ditingkatkannya kewaspadaan terhadap bahaya laten sisa G-30-S/PKI. Perlu diketahui, sebagian besar responden yang masuk kelompok ini berpendidikan cukup: SLTA (35,7%) dan akademi/universitas (36%). Usia mereka sebagian besar 21-30 tahun (45,3%) dan 31-40 tahun (31%). Yang menarik, Jawa Tengah - daerah yang dulu terkenal sebagai basis PKI - ternyata yang paling kecil menganggap sisa PKI sebagai ancaman terbesar (6,3%). Daerah lain Jakarta (26,8%), Ja-Bar (9,8%), Ja-Tim (13,2%). Tahun ini 12,5% dari responden menyebut "lebarnya jurang kaya-miskin" sebagai ancaman terbesar. Pelawak Kasino termasuk salah satu di antaranya. "Timbulnyagap yang besar akan menimbulkan cemburu sosial, maka digalakkannya pola hidup sederhana itu perlu. Adanya jarak antara kaya dan miskin juga akan mempermudah masuknya paham komunis," katanya. Perubahan pendapat juga terjadi pada pandangan masyarakat terhadap negara yang paling mengancam. Pertanyaan TEMPO dan Jawaban responden: Negara mana yang paling mengancam Indonesia dalam waktu mendatang? (Pilih dua Jawaban). Uni Soviet533% RRC48,7% Vietnam25,5% Australia17,2% Amerika Serikat14,4% Papua Nugini11,4 % Jepang7,8% Bandingkan dengan poll TEMPO 1980, yang pertanyaannya sama, tapi ktu itu responden hanya diminta memilih satu jawaban. Hasilnya: RRC (27,9%), Uni Soviet (22,9%), Vietnam (20,9%), AS (11,4%), Jepang (8,2%), dan Australia (3,3%). Jelas tampak bahwa negara yang dianggap pahng mengancam kini Uni Soviet, sedangkan RRC turun menjadi nomor dua. Entah ada hubungannya atau tidak dengan pernyataan Pangab Jenderal L.B. Moerdani beberaa bulan lalu bahwa Vietnam dianggap bukan ancaman bagi Indonesia, ternyata responden yang menganggap Vietnam sebagai ancaman terbesar turun cukup mencolok. Sebaliknya, kini makin banyak yang menganggap Australia dan PNG sebagai ancaman. Tampaknya ini akibat hubungan kita yang memburuk dengan kedua negara itu dalam beberapa bulan terakhir ini. Ketua Tim P-7 Roeslan Abdulgani menganggap Jepang negara yang palng mengancam. "Saya melihatnya berdasarkan pengalaman dan analisa. Pengalaman kita dulu melihat sejarah Jepang, mengharuskan kita untuk waspada. Saya mempercayai politisi Jepang. Tapi manusia itu sering menjadi tawanan dari keadaan yang mengurungnya. Bila industri Jepang, yang sekarang sudah begitu maju sementara mereka tidak memiliki bahan mentah, kian maju lagi, apa tidak mungkin militerisme Jepang tidak akan bangkit lagi?" ujarnya. Pendapat yang agak "aneh" dikemukakan Mus Mualim. Pemusik ini menganggap Singapura sebagai negara yang paling mengancam kita. Ia tidak sendirian. Dari 965 responden, ada delapan orang lagi yang berpendirian sama dengan Mus. "Singapura itu negara kecil, tidak mempunyai tambang minyak, tapi membangun kilang minyak. Ia tak punya pabrik senjata, tapi membangun pabrik suku cadang senjata. Ia tak perlu membuat barang-barang tersebut, tapi cukup dengan membangun sarana yang akan melipatgandakan nilai barang tersebut. Apa artinya itu bagi ekonomi bangsa kita. Apa itu bukan ancaman?," katanya berapi-api. PRODUKSI DALAM NEGERI. Dalam membeli barang hasil produksi dalam negeri, alasan apa yang paling berpengaruh bagi Anda? Karena harganya lebih murah 27,6% Karena kualitasnya cukup baik 22,2% Karena bangga memakai produksi dalam negen 21,9% Karena cukup banyak tersedia di pasar12,5% Karena mengikuti anjuran pemerintah10,2% Dalam deretan responden yang mengaku bangga memakai produksi dalam negeri termasuk Sitoresmi Prabuningrat. "Pakaian yang saya pakai ini produksi dalam negeri lho," ujar bekas istri W.S.Rendra yang kini menjadi artis dan wiraswastawati itu. Ternyata, cukup banyak kaum muda yang bangga memakai produksi dalam negeri. "Kalau bukan kita yang membeli, lantas siapa?," kata Didiet, 18, pelajar SMA Muhammadiyah, Jakarta Pusat. "Saya fanatik memakai barang produksi Indonesia," kata Isbandiati, 22, mahasiswi Universitas Jayabaya, Jakarta. Kampanye pemerintah untuk menggalakkan produksi dalam negeri ternyata paling mencapai sasaran di kalangan aparatnya. Terbukti bahwa 36,7% dari mereka yang mengaku membeli produksi dalam negeri karena mengikuti anjuran pemerintah adalah pegawai negeri dan anggota ABRI. Sekjen DPP Golkar Sarwono Kusumaatmadja tidak setuju bila kita diharuskan memakai produksi dalam negeri. "Kita konsumen 'kan juga punya hak. Mengapa kita harus menjadi budak produsen? Karena itu, kualitas barang harus diperhatikan, karena bisa-bisa kita menjadi korban dari produksi dalam negeri," katanya. Barang produksi dalam negeri apa yang kualitasnya setingkat dengan produksi luar negeri? (Maksimal tiga jawaban). Pakaian jadi77,9% Tekstil57,4% Bahan bangunan36,4% Sepatu34% Kosmetik32,7% Mengenai barang elektronik, seperti televisi, radio, dan kaset, tampaknya masyarakat masih lebih menyukai produksi luar negeri. Terbukti, cuma 10,2% responden yang menganggap mutu barang-barang itu sama dengan produksi luar negeri. Begitu juga kendaraan bermotor (8,3%). TENAGA KERJA. Pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia ke Timur Tengah menimbulkan gelombang pro dan kontra yang ramai beberapa bulan lalu, setelah tersiar berita bahwa sebagian di antara mereka diperlakukan buruk. Untuk itu, dalam poll TEMPO kali ini diajukan pertanyaan: Apa pendapat Anda mengenai pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri? Bermanfaat karena bisa mengurangi pengangguran di dalam negeri 55,2% Bermanfaat karena menambah devisa 13,6% Merugikan karena menimbulkan ekses 12,1 % Merugikan karena mengurangi martabat bangsa 11,2% Dari jawaban tersebut terlihat, berita tentang terjadinya ekses terhadap TKW kita ternyata tldak begltu mempengaruhi responden. Sejumlah responden memberi catatan, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri hendaknya yang terlatih, bukan sekadar pembantu rumah tangga. PEMBAURAN. Salah satu hal yan selalu dipersoalkan dalam masalah pembauran adalah masalah istilah. Menurut pendapat Anda, istilah mana yang sebaiknya digunakan? Pri dan nonpri26,4% Tidak perlu ada pembedaan istilah24,8% Warga negara asli dan keturunan17,5% Terserah pemerintah11,5% Golongan ekonomi kuat dan lemah10,8% Asli dan tidak asli8, 1% Tanggapan responden terhadap masalah ini ternyata ramai. Ketua umum Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) K. Sindhunata tegas menentang adanya pembedaan istilah. "Secara sosial politis hal itu tak selayaknya dipersoalkan, apalagi untuk pembicaraan sehari-hari. Kecuali untuk hal tertentu, misalnya untuk penelitian atau pengkajian ilmiah. Kita mesti ingat akan perjuangan kita yang bersifat nasional, kalau tidak akan menimbulkan kctegangan," ujarnya. Artis serba bisa Titi Qadarsih, 39, sepakat. "Kalau masih ada pembedaan istilah, berarti belum menuju pembauran. Kalau yang keturunan asing itu mengakui bahwa tanah airnya Indonesia, mereka pun bangsa Indonesia," katanya. Buat Prof. Soenario, bekas menlu (1953-1955), istilah yang paling tepat adalah "asli" dan "keturunan asing". "Dalam UUD 1945 istilah pribumi tidak ada. Lihat saja pasal 6 dan 26. Yang ada istilah 'orang Indonesia asli' dan 'keturunan asing'. Yang lebih penting, istilah pribumi itu berasal dan sama artinya dengan kata inlander dalam bahasa Belanda. Kata itu mempunyai konotasi buruk yang menghina," katanya. Pendapat Soenario disetujui Roeslan Abdulgani. "Pada zaman perjuangan kemerdekaan, tidak semua keturunan asing pro kemerdekaan," katanya. Diakuinya, keadaan sekarang sudah berubah. "Tapi apakah perubahan itu sudah cukup fundamental, sehingga perbedaan istilah itu sudah bisa dihapuskan Saya lihat, tidak mudah menghapuskan rintangan-rintangan yang sudah ada sejak zaman kolonial," ujarnya. Bekas rektor Universitas Erlangga, Eri Sudewo, setuju istilah pri dan nonpri tetap dipakai, sekalipun istilah itu tidak tercantum dalam UUD. "Istilah pri dan nonpri tidak akan bisa dihapuskan, karena istilah itu sudah ada sejak zaman penjajahan. Buktinya, sudah lama masalah ini dibicarakan, sampai sekarang hasilnya tidak ada," ucapnya. Mus Mualim juga mendukung istilah pri dan nonpri. "Saya bangga disebut sebagai pribumi, meskipun istilah itu berasal dari kata inlander yang bersifat menghina. Tapi seperti kata Bung Karno 'Ya, inilah inlander. Inlander yang mampu melepaskan dirmya dari belenggu penjajahan. Kita ini memang pribumi, penduduk asli yang mewarisi negeri ini dari leluhur kita," tuturnya. Pertanyaan berikutnya: Cara mana yang terbaik untuk mempercepat pembauran? Pernikahan antargolongan 38,2% Rajin ikut kegiatan sosial 32,7% Perubahan nama menjadi nama Indonesia10,8% Memeluk agama Islam 8,4% Mendirikan perusahaan bersama 7% Menurut Lius Pongoh, 23, pernikahan antargolongan merupakan cara terbaik untuk mempercepat pembauran. "Karena dengan itu berarti segera timbul suatu generasi hasil pembauran itu sendiri," katanya. Dr. Saleh Aldjufri, direktur Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam Sunan Ampel, Surabaya, menganggap cara yang terbaik adalah memeluk agama Islam. "Islam adalah agama yang universal. Dari mana pun seseorang datang, dan suku atau bangsa mana pun, dengan mengucapkan assalamu'alaikum, perbedaan ras dan lain-lainnya akan selesai, karena agama Islam mengajarkan supaya memberi salam kepada sesamanya," kata tokoh yan telah menislamkan sekitar 350 WNI keturunan Cina ini. Sedangkan Lukman Harun menunjuk "Lihat orang Arab yang telah menjadi warga negara. Kehadiran mereka tidak terasa, padahal mereka pun nonpri. Itu karena mereka memeluk agama Islam". Erna Witoelar, sekretaris eksekutif Wahana Lingkungan Hidup, beranggapan bahwa dengan rajin mengikuti kegiatan sosial pembauran bisa dipercepat. "Socializing, itu yang penting. Artinya, hadir secara fisik dan bekerja sama, bukan hanya menyumbang," katanya. Anggapan bahwa keturunan Arab yang paling membaur di antara keturunan asing dibenarkan oleh jawaban angket yang menunjukkan pe,ltsentase hampir cukup untuk keturunan ini (46,5%). Pertanyaan berikutnya: Benarkah.anggapan selama ini bahwa warga negara keturunan Cina mendominasi ekonomi Indonesia? Benar63,8% Perlu ada penelitian ilmiah22,8% Tidak benar5,8% Tidak tahu6,6% Anggota DPR dari F-PP Ridwan Saidi termasuk yang tidak yakin bahwa keturunan Cina mendominasi ekonomi kita. "Sektor apa? Pada salah satu sektor, misalnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat, mungkin demikian. Bagaimanapun juga hingga saat ini belwn ada penelitian yang membuktikan bahwa Cina mendominasi ekonomi kita," katanya. UUD 1945 menetapkan bahwa presiden RI haruslah seorang Indonesia asli. Tidak ada keharusan tersebut untuk jabatanjabatan tinggi lainnya. Pertanyaan TEMPO: Menurut pendapat Anda, apakah jabatanjabatan ini harus diduduki orang Indonesia asli? Presiden harus 97,5% Wakil presiden harus 91,7% Panglima ABRI harus 93,4% Kepala Staf TNI AD/AU/AL/Polri harus 89,6% Menteri harus 80,7% Gubernur harus 85,4% Berbagai alasan disebutkan para responden. K. Sindhunata berpendapat, jabatan-jabatan tersebut tidak harus dipegang orang Indonesia asli. "Asal usul tidak mutlak menjamin posisi apa pun. Asalkan memiliki syarat kualitatif, yakni nasionalisme, loyalitas berdasarkan pengabdian, dan teknis kemampuan cukup memadai, maka seseorang dianggap pantas menjabat posisi tersebut. Adalah irasional, belum apa-apa sudah bilan tidak cocok berdasarkan keturunan. Itu 'kan primitif," katanya. Dr. Toety Herati Norhadi, direktur Dewan Kesenian Jakarta, erpendapat sebaliknya. "Selama proses pembauran di Indonesia belum baik, saya kira berbagai jabatan itu harus dipegang orang Indonesia asli," katanya. Prof. Soenario berpendapat sama, dengan alasan lain. Semua jabatan yang sifatnya politis, menurut dia, harus dipegang orang Indonesia asli. "Kalau secara politis kita sudah dikuasai orang keturunan asing, mau apa kita?," tanyanya. Mengenai ketentuan "orang Indonesia asli" ini, Sarwoo Kusumaatmadja mengemukakan pendapat yang menarik. Menurut di, harus ditegaskan dulu pengertian asli itu. "Menurut saya, pengertian asli itu: orang Indonesia yang memperoleh kewarganegaraannya tanpa lewat proses naturalisasi atau prses penggaungan. Jadi, bukan pengertian ras, tapi pengertian legal," katanya. "Jadi, keturunan Cina bisa saja menjadi presiden asal ia dilahirkan di Indonesia dan ia memang orang Indonesia. Kalau dari lahirnya ia orang Indonesia, haknya ya sama," katanya. Prinsip yang sama jugditetapkan pada kedudukan wakil presiden. "Sedankan jabatan lain lebihbaik diserahkan saja pada proses politik, karena tak semua hal itu baik untuk diatur," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus