Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter Dirty Vote dirilis setahun yang lalu saat tiga hari menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 melalui kanal resmi YouTube Dirty Vote. Film tersebut disutradarai oleh Dandhy Laksono dan dibintangi oleh tiga Ahli Hukum Tata Negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiganya memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum pada Pemilu 2024 saat ini. Mereka juga menjelaskan potensi-potensi kecurangan berdasarkan kacamata hukum di Indonesia. Dokumenter yang berisi tiga pandangan dari para ahli tersebut berdurasi 1 jam 55 menit 22 detik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isi Film Dirty Vote
1. PJ Gubernur menangkan Prabowo-Gibran
Salah satu isi dalam film tersebut adalah adanya dugaan kecurangan melalui penunjukan 20 penjabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tekanan untuk kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Akademisi Hukum Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari membeberkan kejanggalan penunjukan sejumlah PJ kepala daerah sejak 2021 lalu. Dijelaskan ada 20 PJ Gubernur yang dipilih oleh presiden dan 182 PJ Walikota/ Bupati yang dinilai Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Ombudsman sebagai mala praktik administrasi. Adapun para penyelenggara negara tersebut menguasai sekitar 140 juta daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 di berbagai wilayah di Indonesia.
Pemilihan Gubernur oleh Presiden juga berpotensi adanya kecurangan dan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah. Salah satunya satunya adalah soal ketidaknetralan penyelenggara negara dalam pelaksanaan kampanye Pilpres 2024. Belum lagi sejumlah organisasi desa yang menyatakan dukungannya kepada salah satu paslon pada Pilpres 2024. Organisasi desa yang diisi hampir 81 juta suara ini berpotensi menyalahgunakan jabatannya dalam data pemilihan, penggunaan dana desa, data penerima bansos, hingga wewenang alokasi bansos.
2. Politisasi bansos
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti kemudian memaparkan tentang anggaran bansos yang terus meningkat setiap kali menjelang Pemilu. Mulai dari 2014, 2019, hingga 2024 ini. Dia juga menyampaikan bahwa ada dugaan politisasi bansos yang dilakukan oleh sejumlah menteri guna menggaet suara masyarakat untuk paslon tertentu.
"Mengapa Bansos dijadikan alat berpolitik? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang namanya politik gentong babi atau pork barrel politics," kata Bivitri.
Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Saat itu, para budak harus berebut mengambil daging babi yang diawetkan dalam gentong. Para budak lantas memperebutkan babi di gentong tersebut. "Akhirnya muncul istilah bahwa ada orang-orang yang akan berebut jatah untuk kenyamanan dirinya," tutur Bivitri.
3. Ketidaknetralan aparat negara
Selain penyalahgunaan bansos, ada juga berbagai kecurangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan Pemilu yang diungkap oleh film Dirty Vote ini. Di antaranya adalah penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, ketidaknetralan Presiden dan sejumlah menteri, hingga berbagai pelanggaran aturan Pemilu yang tidak ditindak oleh Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.
Tak berhenti sampai disitu, dibongkar juga bukti-bukti sejumlah partai politik yang tidak memenuhi syarat verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun “diloloskan” dengan berbagai permainan gelap dari sejumlah oknum.
4. Kejanggalan Putusan MK
Menuju akhir film, dokumenter yang berisi kliping sejumlah artikel dan video berita ini menjelaskan rentetan peristiwa menjelang putusan MK terkait batas usia dan persyaratan pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu. Hal inilah yang dinilai menjadi karpet merah untuk Gibran maju dalam Pilpres 2024.
Bivitri juga mengungkapkan bahwa seluruh rencana kecurangan Pemilu ini tidak dibuat dalam semalam oleh satu orang. Sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengakali Pemilu ini, kata dia, sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. Mereka adalah kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama.
“Sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu,” ucap Bivitri.
Raden Putri dan Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.