Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Setelah ayat-ayat itu disahkan

UU pendidikan nasional disahkan. penjelasan pasal 28 ayat 2, ramai diperbincangkan dan mengundang kritik. berbagai reaksi bermunculan. penafsirannya merisaukan sejumlah sekolah swasta.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA awal pekan ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional yang telah disahkan menjadi undang-undang dalam sidang pleno DPR, Senin pekan lalu, masih terus ramai diperbincangkan. Khususnya penjelasan pasal 28 ayat 2 UU itu, yang berbunyi: "Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan aama peserta didik yang bersangkutan". Alkisah, pada 25 Februari yang lalu, seluruh materi RUU itu sudah disetujui oleh Pansus, Menteri P dan K Fuad Hassan menerima surat dari A.M.W. Pranarka. Secara pribadi, Ketua Lembaga Pengkajian Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa itu meminta perhatian Fuad pada penjelasan pasal 28 ayat 2 itu. Pranarka berpendapat, kalau ketentuan mengenai murid itu dicantumkan, "UU itu nantinya justru membuka dan mengandung peluang untuk kerancuan dan percekcokan nasional." Memang penafsiran penjelasan pasal itulah yang merisaukan sejumlah sekolah swasta yang memiliki ciri khusus, seperti sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan Kristen atau Katolik. Dengan penjelasan pasal 28 ayat 2 itu, ada kekhawatiran bahwa sekolah Kristen atau Katolik nantinya harus menyediakan guru agama Islam, Budha, atau Hindu, bagi para muridnya. Padahal, untuk daerah Jakarta? Tangerang, dan Bekasi saja Majelis Pendidikan Katolik (MPK) memiliki 360 sekolah dari TK sampai SMTA, dengan 125.000 siswa, 65% di antaranya merupakan siswa non-Katolik. Ketentuan itu juga akan mengubah apa yang selama ini telah ada: mereka cuma memberikan pelajaran agama Kristen atau Katolik -- sekalipun untuk murid Islam -- setelah orangtua murid menandatangani pernyataan tak berkeberatan anaknya diberi pelajaran agama itu. Sekolah lain seperti Muhammadiyah juga memang hanya menyediakan guru agama Islam. Maka Pranarka. yang kebetulan beragama Katolik, dalam suratnya pada Fuad Hassan tadi mengusulkan agar kata "... dan agama peserta didik yang bersangkutan" di dalam penjelasan pasal 28 itu dihapuskan saja. Sehingga penjelasan itu tinggal: "tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan". Ternyata, dalam sidang pleno DPR Senin pekan lalu, RUU itu disahkan menjadi undang-undang dan penjelasan itu tetap utuh seperti semula. Fraksi PDI melalui Ketua Fraksinya, Fatimah Achmad, pada waktu menyampaikan pendapat akhir beberapa saat sebelum RUU itu disahkan -- menyatakan bahwa fraksinya menerima RUU itu disahkan dengan catatan: kalimat penjelasan pasal 28 ayat 2 itu dihilangkan. Nico Daryanto, Sekjen PDI, melihat isi kalimat penjelasan itu tak sesuai dengan GBHN yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimasukkan di dalam kurikulum mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi negeri. Jadi, di situ tak termasuk sekolah swasta. "GBHN kan lebih tinggi dari undang-undang," kata Nico. Namun, juru bicara F-PP di dalam Pansus, Ismail Hasan Metareum, berpendapat bahwa penjelasan pasal 28 itu menyangkut seluruh sekolah, bukan cuma yang negeri. Sebab, penjelasan itu sinkron dengan pasal 39 ayat 2 UU-SPN yang mewajibkan kurikulum semua sekolah, dalam jenis, jalur, dan jenjang pendidikan apa pun, harus memuat pendidikan Pancasila, agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada penjelasan pasal 39 ayat 2 itu disebutkan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar-umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Penjelasan pasal 39 ini, menurut Ismail lasan, lebih dulu diputuskan Pansus dibanding penjelasan pasal 28 ayat 2 itu. "Dan itu berasal dari usulan pemerintah sendiri," katanya. Setelah ini baru diputuskan penjelasan pasal 28 ayat 2 yang menghebohkan. "Ide penjelasan itu memang datang dari kami," kata juru bicara F-PP itu. Tapi, dalam merumuskannya, Ismail Hasan melakukan konsultasi dengan Departemen Agama, sesuai dengan penugasan yang diberikan Pansus ketika itu. Bagaimana dengan sekolah berciri khusus? Ismail menunjuk penjelasan pasal 38 tentang kurikulum. Di situ disebutkan, suatu sekolah dapat menambah mata pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan serta ciri khas sekolah yang bersangkutan, di dalam kurikulumnya. "Tapi di situ juga ditambahkan bahwa semua tambahan itu tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional. Salah satu adalah mata pelajaran agama sesuai dengan agama anak didik. Jadi, keistimewaan sekolah berciri khas itu ialah boleh menambah mata pelajaran tertentu di kurikulumnya," katanya. Betulkah begitu? "Apa semua sekolah harus menyediakan semua guru agama? Tidak benar," kata Menteri P dan K Fuad Hassan kepada wartawan, Senin pekan ini. "Sekolah Kanisius, misalnya, masak harus menyediakan guru agama Islam dan Hindu Bali? Ya nggak. Anak saya dulu kan sekolah di Theresia. Dia bersedia mengikuti pelajaran agama Katolik, dia tanda tangan, saya tanda tangan, ya masuk." Itu ditafsirkan Fuad sebagai hal yang menghargai ciri khusus sekolah tadi, yang di dalam UU SPN ini tetap dijamin eksistensinya. Karena itu pula Fuad merasa heran mengapa setelah undang-undang disahkan, tiba-tiba reaksi bermunculan. Ribut-ribut ini bisa jadi masih akan berlanjut sampai peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan undang-undang ini nanti keluar. Penafsiran terhadap penjelasan pasal 28 ayat 2 ini memang bisa beragam. Prof. Padmo Wahyono, ahli hukum tata negara, pekan lalu menilai, penjelasan pasal 28 itu, karena hanya dicantumkan dalam penjelasan, bukan dalam diktum pasal, sifatnya tidak mengikat. "Demi penjaminan negara terhadap kebebasan warganya memeluk agama masing-masing, dan tak campur tangan, sebaiknya penjelasan itu tak usah dibaca, alias dianggap tak ada," katanya pada Kompas. Namun, Ismail Hasan berpendapat lain. "Buat apa kita berdiskusi berhari-hari, kalau hal itu tidak ada gunanya. Jelas, penjelasan pasal 28 ayat 2 itu mengikat," katanya.Amran Nasution, Yopie Hidayat, Sri Indrayati, Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum