Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mencerdaskan masyarakat bukit kapur

Universitas jabal ghafur di sigli, kab. pidie, aceh dibangun dari dana masyarakat. kompleks kampus ada 17 bangunan dengan berbagai gaya & sedang dikerjakan bangunan lagi. timbul polemik soal pemiliknya.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bukit kapur tandus itu berdiri sebuah kampus megah dengan bangunan berbagai gaya. Ada bergaya Spanyol, Romawi, Aceh, dan yang akan dibangun berarsitektur Cina. Itulah kampus Universitas Jabal Ghafur (UJG) yang berlokasi di Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie, Aceh. Sabtu pekan lalu, dalam rangka dies natalis. Rektor UJG membuka Jabal Ghafur Cup -- pertandingan voli yang diikuti klub-klub di seluruh Aceh. Puncak dies itu direncanakan akhir Maret ini dengan mewisuda 104 sarjana, lulusan pertama UJG. Rektor UJG Nurdin Abdul Rachman mengatakan perguruan tinggi ini didirikan untuk mengejar keterbelakangan masyarakat Pidie. Dibandingkan daerah tetangganya, Pidie memang lain. Di kawasan itu, dulu pasukan DI/TII punya pengaruh besar. Belakangan, di sini pula muncul kelompok sempalan yang menamakan dirinya Bantaqiyah. Alkisah, tahun 1979, tatkala Nurdin belajar di Malaysia, ia dipanggil pulang ke Pidie dan diangkat sebagai bupati. Salah satu program jangka pendeknya adalah mencerdaskan masyarakat Pidie. "Kebodohanlah yang menyebabkan rakyat Pidie gampang terhasut dan mudah kena pengaruh buruk," katanya kepada TEMPO. Nurdin melihat, sarana pendidikan dasar dan menengah tak ada persoalan. Yang menjadi masalah adalah mutunya. Sebab itu, langkah pertama yang diayunkannya adalah mendirikan Sekolah Tinggi Kejuruan Ilmu Pendidikan (STKIP), 1980. Pada mulanya, kata Nurdin, banyak tantangan yang dihadapinya. Bupati Pidie itu tak putus asa. Ia melakukan lobi ke berbagai tokoh, terutama tokoh-tokoh masyarakat Aceh di perantauan. Dan ternyata gagasannya itu mendapatkan dukungan penuh dari Bustanil Arifin, Abdul Gafur, A.R. Ramly, dan sejumlah pengusaha. Mereka menyediakan diri menjadi donatur. Sambutan masyarakat pun luar biasa. Menurut Teuku Abdullah, salah seorang anggota DPRD Pidie, setiap desa di Kabupaten Pidie menyumbang masing-masing Rp 100 ribu untuk pembangunan perguruan tinggi itu. Sampai saat ini, malah setiap desa sudah dua kali menyumbang. Di kabupaten itu ada 948 desa. Buka itu saja. Pada tahap awal pembangunan, rakyat berbondong-bondong memberikan bantuan dalam wujud jumputan beras. Menurut Abdullah, sumbangan dari masyarakat ini lebih dari Rp 200 juta. Belum lagi bantuan dari berbagai perusahaan yang ada di Pidie, di antaranya PT Arun. Seirama dengan pesatnya pembangunan kampus itu, STKIP berubah namanya menjadi Universitas Jabal Ghafur pada 1982 dengan memiliki empat fakultas: pertanian, hukum, ilmu administrasi, serta keguruan dan ilmu pendidikan. Belakangan didirikan program diploma III jurusan komputer. Kini mahasiswanya lebih dari 3 ribu. Nama Jabal Ghafur dipilih karena bukit kapur itu punya sejarah masa lalu. Di tempat yang strategis itulah pasukan pemberontak DI/TII pernah bercokol. Dan di situ pulalah Presiden Soekarno memberikan amnesti nasional terhadap pemberontak DI/TII tahun 1959. Bukit bersejarah itu akhirnya diabadikan untuk nama universitas, yang artinya bukit pengampunan. Sejak berbentuk universitas pembangunan kampus terus menggebu. Selain sudah ada 17 bangunan dengan berbagai gaya, kini dikerjakan enam bangunan lagi. Satu di antaranya adalah gedung Pusat Museum Islam yang konon terbesar di Asia Tenggara. Juga satu bangunan berbentuk kelenteng tua yang dinamai Lee Guna -- gedung serbaguna. Bangunan terakhir ini, menurut Nurdin, dananya datang dari pengusaha Liem Sioe Liong sebesar Rp 150 juta. Sebelum Liem, yang sudah menyumbang dalam jumlah besar adalah Direktur Bogasari Ibrahim Risyad, Rp 300 juta. Sedangkan Bustanil Arifin sudah mengeluarkan paling tidak Rp 50 juta. Sampai sekarang bantuan keuangan masih terus mengalir dari kocek Bustanil Arifin, Ibrahim Risyad, dan pengusaha-pengusaha setempat termasuk rakyat biasa. Banyaknya donatur itu juga menguntungkan mahasiswa. SPP di perguruan tinggi itu jadi lebih murah dibandingkan SPP di perguruan swasta lain di Aceh. Per tahun Rp 150 ribu sampai Rp 185 ribu. Dan menurut rektornya, dengan biaya operasional per tahun Rp 400 juta, 25% dana SPP itu bisa ditabung. Tapi, masalah yang muncul kemudian adalah, siapakah pemilik universitas swasta ini. Tahun lalu? sebagai pendiri dan sekaligus Rektor UJG, Nurdin menunjuk pengusaha Ibrahim Risyad sebagai Ketua Yayasan Jabal Ghafur, pengelola universitas ini. Sebelum itu jabatan ketua yayasan dipegang Nurdin sendiri, selaku bupati. Ini yang sempat menimbulkan polemik, hingga kini. Nurdin, yang segera mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Pidie -- setelah dua kali menjabat -- dianggap mengalihkan kepemilikan universitas itu dari milik pemerintah daerah menjadi milik yayasan. Nurdin memang tidak sependapat kalau dikatakan UJG ini milik Pemda Tingkat II Pidie. Apalagi pada tahun 1987, sebagai bupati, kata Nurdin, ia telah meminta DPRD Pidie membuat peraturan daerah (perda) tentang perguruan ini. DPRD menolaknya. "Tapi, kami bersyukur rencana perda seperti itu ditolak, sehingga kami bisa lebih bebas dan leluasa bergerak," kata Nurdin kepada TEMPO. Teuku Abdullah menyangkal semua itu. Menurut Abdullah, waktu itu dewan meminta agar Nurdin melengkapi rencana perda itu, misalnya, berapa anggarannya, siapa-siapa pengelolanya. "Hingga kini Nurdin belum melengkapinya," katanya. Melihat sejarah pembangunannya dan berbagai sumbangan dari masyarakat yang tak bisa dipisahkan dari jabatan Nurdin sebagai Bupati Pidie, Abdullah tetap menganggap UJG milik Pemda Pidie. Apalagi tanah 300 hektar yang dipakai kampus itu merupakan tanah negara. Nurdin memang tidak mengklaim universitas ini milik yayasan. Ia hanya menyebut universitas ini milik masyarakat. Dan sebagai rektor ia kini sibuk memperkenalkan universitas ini ke tingkat nasional dengan mengadakan berbagai seminar. Termasuk dies natalis yang menurut rencana akan dihadiri sejumlah menteri.Agus Basri dan Irwan E. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum