Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali itu sebabnya sang komandan marinir, seorang kapten, lantas mengambil siasat yang tidak biasa. Ketika massa mulai melempar batu ke arah pertokoan, Pak Kapten maju ke depan. "Kalau mau melempar, dari sini saja, dari depan," katanya sambil menunjuk ke bidang jalan di hadapannya. Belum lagi keterkejutan massa atas usul "aneh" ini hilang, perwira berusia 30-an itu berujar lagi. "Kalau dari belakang, nanti malah kena temanmu di depan. Jadi, dari depan sini saja," katanya.
Massa pun menurut. Mereka yang melempar batu, berjejer di depan. "Cring-cring," kaca-kaca pertokoan berpecahan dan massa bersorak girang. Suasana ini ditonton dan dibiarkan saja oleh satuan marinir yang berjajar membuat pagar betis sampai sekitar setengah jam. Lantas, sang Kapten maju lagi. "Sekarang kan sudah capek, sudah magrib. Ayo pulang sama-sama," imbaunya berulang-ulang.
Aneh bin ajaib, massa pun berangsur pulang mengikuti anjuran itu. Kekhawatiran akan terjadi penjarahan dan pembakaran ternyata tidak menjadi kenyataan. Bagi Pak Kapten, missi pengamanan telah sukses dijalankan. Memang, kaca-kaca pecah, tapi tak ada bentrokan, tak ada korban.
Pengamanan tanpa benturan dan tanpa korban ini agaknya tak cuma berhasil dilakukan marinir di Senen, tapi juga di tempat-tempat lain oleh sekitar 3.000 personel berbaret ungu ini. Sebab, mereka memang dibekali misi yang sama, seperti dikatakan Sersan Dua Djoko ketika menjawab pertanyaan Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, "Dalam pengamanan, kami menggunakan falsafah air. Artinya, seperti menyiram kayu yang terbakar. Apinya padam tapi kayunya tidak rusak," katanya.
Menjalankan falsafah air ini ternyata bisa juga dengan air betulan. Setidaknya, itu terlihat ketika seorang prajurit marinir menarik selang air dari sebuah gedung sekolah di kawasan Senen. Ia pun memanggil para pengunjuk rasa yang kocar-kacir terkena gas air mata petugas pengendali huru-hara. Mata mereka yang merah dan pedih terkena gas lalu disemburnya dengan air dari selang. "Ini cara paling mudah menyembuhkan mata kalian," katanya. Maka, antrian pun tersusun menunggu giliran acara "cuci mata" yang unik dan menyejukkan emosi mereka yang sempat tinggi itu.
Barangkali karena kiat-kiat sejuk ini, satuan marinir mendapat tempat istimewa di kalangan banyak pihak. Sampai-sampai, begitu mereka hadir, mahasiswa sering berteriak, "Hidup marinir!" Bahkan, para mahasiswa yang menduduki gedung MPR, akhir Mei lalu, menyatakan hanya bersedia mengevakuasi diri mereka dari bangunan wakil rakyat yang didudukinya itu bila dikawal marinir. "Bersama marinir, kami merasa lebih aman dan terlindungi," kata Adrian, salah seorang wakil mahasiswa yang bernegosiasi dengan aparat.
Upaya melindungi ini bukannya tanpa risiko. Sersan Dua Ichwan Syah tertembak kakinya ketika berupaya melerai aparat keamanan yang sedang berbenturan dengan mahasiswa di depan Markas Polda Jaya, Sabtu pagi, 14 November lalu. "Saat itu terjadi keributan dan marinir tersebut berusaha menengahi," kata Mayor TNI Ibrahim Sadon. "Namun, pada saat bersamaan, seorang anggota kepolisian mengeluarkan tembakan yang secara tidak sengaja ricochet mengenai kakinya, " lanjut Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir itu. Ricochet adalah istilah teknis membeloknya arah peluru akibat membentur hambatan keras.
Insiden penembakan ini sempat menimbulkan ketegangan. Pasalnya, "keakraban" para marinir dengan massa pengunjuk rasa kadangkala disalahartikan oleh kesatuan lainnya. Akibatnya, beberapa benturan sempat terjadi. Tapi, untungnya, berhasil diredam dan diselesaikan di tingkat pimpinan.
Pimpinan tertinggi Korps Marinir kebetulan memang bertemperamen sejuk. "Saya tekankan kepada anak buah, bahwa yang kita hadapi itu adalah keluarga yang sedang meradang, yang mungkin sedang tersentuh rasa keadilannya sehingga mereka marah," kata Mayor Jenderal Suharto. Oleh karena itu, "Kalau kita umpamakan mereka itu api, kita ini yang harus menjadi airnya. Di samping kita memadamkan api, kita juga harus mendinginkan suasana," lanjut Komandan Jenderal Korps Marinir ini.
Ikhtiar mendinginkan suasana ini diterjemahkan di lapangan dengan memerintahkan para prajurit membawa senjata mereka di punggung. "Kalau menghadapi musuh, senjata di depan. Kalau menghadapi keluarga, senjata di belakang," kata Mayjen Suharto.
Ikhtiar yang ternyata tidak sia-sia.
Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo