PEMBERHENTIAN 1216 orang buruh perusahaan Robin Ednasa di pulau
Batam 1 1/2 tahun lalu berbuntut panjang. Malah awal September
lalu, kantor berita Antara melontarkan masalah itu. Humas
Departemen Tenaga Kerja buru-buru mengeluarkan edaran pers
beberapa hari kemudian.
Berita itu -- menurut Humas Depnakertranskop -- "tidak sesuai
dengan peristiwa dan proses penyelesain yang sebenarnya, serta
terlalu dibesar-besarkan". Menurut J. Darwis yang menandatangani
edaran pers itu, yang sebenarnya terjadi hanyalah kekurangan
pesangon 1 hari kerja dan pembayaran upah selama dicutikan
sewaktu tahun baru Imlek lalu. Diukur dengan uang, jumlahnya Rp
10 juta. Kabarnya sebelum sengketa itu mampir ke meja P4 Pusat
pejabat kantor perwakilan Depnakertranskop di Batam sudah turun
tangan memperantarai kedua fihak yang bersengketa. Tapi meskipun
putusan Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan (4) Pusat
tanggal 16 Juni 1976 sudah diantarkan sendiri oleh orang P4
Pusat ke kantor induk Edna Co. di Singapura, perusahaan itulah
yang keras tak mau menaati keputusan itu.
Thomas Lee
Tapi menurut pengarnatan pembantu TEMPO di Tanjung Pinang,
jumlah uang yang dipertikaikan bukan cuma Rp 10 juga. "Kalau
itu masalahnya, persoalannya bisa selesai di Batam", ujar A.
Suprayitna, salah satu utusan buruh yang diberi mandat
memperjuangkan nasib mereka. Maksud Suprayitna, SK P4 Pusat No.
126/01/XII/76 itu praktis tak berbeda dengan konsep Suryono,
kepala perwakilan Depnakertranskop Batam ketika sengketa
perburuhan itu pertama muncul. Malah kalau saja usul Suryono itu
diterima oleh Suprayitna dan kawan-kawannya, Robin Ednasa tak
akan banyak cingcong. Sebab surat Suryono untuk pimpinan Ednasa
& Co di Sekupang, 13 Juli 1975 yang berisi saran-saran pejabat
Tenaga Kerja itu justru disetujui oleh Thomas Lee,
superintendent Ednasa. Menurut Suprayitna, jumlah uang yang
ditawarkan itu jumlahnya Rp 8,1 juta untuk 12 hari selama
perayaan Tahun Baru Imlek, ditambah Rp 3 juta lebih untuk
pengganti biaya perawatan dan perumahan. Lalu sekitar Rp 3 juta
lebih untuk pesangon 1 hari kerja. Jadi total sekitar Rp 15
juta. Namun fihak buruh menolak tawaran penyelesaian gagasan
Suryono.
Mengapa? "Sebab yang kami tuntut bukan itu saja", sahut wakil
buruh itu. Masih ada beberapa hal lain yang justru lebih
merupakan tuntutan utama para buruh seperti pembayaran uang
kelebihan jam kerja 1 jam tiap hari. Sebab semenjak anak
perusahaan Edna Company milik Robin Lo itu beroperasi di sana,
para buruh disuruh kerja 8 jam sehari. Padahal menurut peraturan
perburuhan hanya boleh 7 jam. Kelebihan jam kerja itu -- yang
semestinya diperhitungkan sebagai kerja lembur -- tidak pernah
dibayar oleh Robin Ednasa. Meskipun perusahaan bermodal
Singapura itu sudah beroperasi di Batam sejak Nopember 1972,
kaum buruh hanya menuntut agar jam kerja lembur itu dibayar
selama 2 tahun saja.
Robina House
Nah, tuntutan itulah yang membuat Robin pusing. Kalau tuntutan
itu dipenuhi jumlah uangnya bisa melebihi Rp 100 juta.
Bayangkan saja kalau buruh yang paling senior di sana
mengantongi kelebihan 600 jam kerja. "Sebenarnya tuntutan inilah
yang diharapkan kawan-kawan", kata Prayitna. Tapi justru itu
soal yang tak bisa ditemukan persesuaian kata antara perusahaan
dengan para buruh, yang mengajukan tuntutan itu dalam surat
mereka 6 Agustus lalu. Walaupun P4 Pusat mengakui adanya
tuntutan itu, namun setelah setahun ditimbang-timbang dalam SK 6
Juni 1976 P4 Pusat "tidak membenarkan tuntutan uang lembur
maupun uang pengganti uang makan" itu.
Alasannya, konon karena anggapan Suryono -- yang di Batam sering
dianggap "Menteri Kecil" karena dia langsung bertanggungjawab
kepada Menteri Subroto -- bahwa "keadaan perusahaan Robin Ednasa
yang telah dihentikan operasinya menimbulkan kesulitan keuangan
hingga masalah uang pesangon tersebut tidak wajar untuk
dipersoalkan". Pendapat Suryono itu ternyata dibenarkan oleh P4
Pusat, meskipun orang pun maklum tak dibayarnya kelebihan jam
kerja itu bukan merupakan kesulitan, tapi suatu kesengajaan
sejak perusahaan itu mulai beroperasi. Sebab Robin Ednasa baru
kepepet beberapa waktu belakangan. Dan di lain fihak kasus
serupa berupa tuntutan pembayaran kelebihan jam kerja oleh
sejumlan buruh perusahaan Mac Dermont di Batam ternyata dipenuhi
oleh P4 Pusat. Lantas kenapa buat ke-1216 buruh Ednasa di mana
900 orang merupakan buruh harian, keputusan P4 Pusat terasa
berat?
Keputusan P4 Pusat itu -- yang bersidang tanpa dihadiri wakil
buruh Robin Ednasa -- itu terasa sangat minimal. Sebab
keseluruhan tuntutan buruh yang ditaksir berjumlah Rp 334 juta
lebin hanya disetujui-kurang dari 5% oleh P4 Pusat. Namun nasib
malang lagi menimpa para bekas buruh itu. Meskipun kabarnya P4
Pusat itu sudah berusaha langsung menghubungi Robin Lo di
tingkat 22 Robina House, Singapura, uang yang Rp 10 juta itu pun
sampai kini belum beres. Prayitna sendiri sudah berangkat ke
Singapura pula, mencari Robin Lo. Namun pengusaha muda yang
dekat dengan kalangan Pertamina di masa Ibnu Sutowo itu tak
berhasil dijumpainya di sana Malah di Singapura itu orang-orang
Robin menganjurkannya menghubungi fihak Pertamina di Batam.
Lewat Christoffer yang mewakili Robin Ednasa di Batam, Prayitna
konon mendapat jawaban dari Robin Lo bahwa perusahaannya tak
bersedia membayar uang Rp 10 juta itu karena Pertamina masih
berhutang pada mereka. Maksudnya agar Prayitna menagih uang
tersebut pada Pertamina. "Jadi saya tak tahu lagi siapa yang
mesti membayar uang itu pada kami", kata Prayitna pada pembantu
TEMPO di Tanjung Pinang. Padahal setelah SK P4 Pusat itu keluar.
buruh Robin Ednasa itu berharap akan sempat mencicipi hasil
perjuangan mereka yang hampir setahun lamanya itu. Meskipun
kalau dibagi rata setiap buruh hanya menerima sekitar Rp 10
ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini