Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Robin Angkat Kaki

Masalah sengketa buruh perusahaan robin ednasa belum tuntas. humas depnakertranskop menganggap berita yang disiarkan "antara" terlalu dibesar-besarkan. keputusan p4 pusat sangat minimal. (nas)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERHENTIAN 1216 orang buruh perusahaan Robin Ednasa di pulau Batam 1 1/2 tahun lalu berbuntut panjang. Malah awal September lalu, kantor berita Antara melontarkan masalah itu. Humas Departemen Tenaga Kerja buru-buru mengeluarkan edaran pers beberapa hari kemudian. Berita itu -- menurut Humas Depnakertranskop -- "tidak sesuai dengan peristiwa dan proses penyelesain yang sebenarnya, serta terlalu dibesar-besarkan". Menurut J. Darwis yang menandatangani edaran pers itu, yang sebenarnya terjadi hanyalah kekurangan pesangon 1 hari kerja dan pembayaran upah selama dicutikan sewaktu tahun baru Imlek lalu. Diukur dengan uang, jumlahnya Rp 10 juta. Kabarnya sebelum sengketa itu mampir ke meja P4 Pusat pejabat kantor perwakilan Depnakertranskop di Batam sudah turun tangan memperantarai kedua fihak yang bersengketa. Tapi meskipun putusan Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan (4) Pusat tanggal 16 Juni 1976 sudah diantarkan sendiri oleh orang P4 Pusat ke kantor induk Edna Co. di Singapura, perusahaan itulah yang keras tak mau menaati keputusan itu. Thomas Lee Tapi menurut pengarnatan pembantu TEMPO di Tanjung Pinang, jumlah uang yang dipertikaikan bukan cuma Rp 10 juga. "Kalau itu masalahnya, persoalannya bisa selesai di Batam", ujar A. Suprayitna, salah satu utusan buruh yang diberi mandat memperjuangkan nasib mereka. Maksud Suprayitna, SK P4 Pusat No. 126/01/XII/76 itu praktis tak berbeda dengan konsep Suryono, kepala perwakilan Depnakertranskop Batam ketika sengketa perburuhan itu pertama muncul. Malah kalau saja usul Suryono itu diterima oleh Suprayitna dan kawan-kawannya, Robin Ednasa tak akan banyak cingcong. Sebab surat Suryono untuk pimpinan Ednasa & Co di Sekupang, 13 Juli 1975 yang berisi saran-saran pejabat Tenaga Kerja itu justru disetujui oleh Thomas Lee, superintendent Ednasa. Menurut Suprayitna, jumlah uang yang ditawarkan itu jumlahnya Rp 8,1 juta untuk 12 hari selama perayaan Tahun Baru Imlek, ditambah Rp 3 juta lebih untuk pengganti biaya perawatan dan perumahan. Lalu sekitar Rp 3 juta lebih untuk pesangon 1 hari kerja. Jadi total sekitar Rp 15 juta. Namun fihak buruh menolak tawaran penyelesaian gagasan Suryono. Mengapa? "Sebab yang kami tuntut bukan itu saja", sahut wakil buruh itu. Masih ada beberapa hal lain yang justru lebih merupakan tuntutan utama para buruh seperti pembayaran uang kelebihan jam kerja 1 jam tiap hari. Sebab semenjak anak perusahaan Edna Company milik Robin Lo itu beroperasi di sana, para buruh disuruh kerja 8 jam sehari. Padahal menurut peraturan perburuhan hanya boleh 7 jam. Kelebihan jam kerja itu -- yang semestinya diperhitungkan sebagai kerja lembur -- tidak pernah dibayar oleh Robin Ednasa. Meskipun perusahaan bermodal Singapura itu sudah beroperasi di Batam sejak Nopember 1972, kaum buruh hanya menuntut agar jam kerja lembur itu dibayar selama 2 tahun saja. Robina House Nah, tuntutan itulah yang membuat Robin pusing. Kalau tuntutan itu dipenuhi jumlah uangnya bisa melebihi Rp 100 juta. Bayangkan saja kalau buruh yang paling senior di sana mengantongi kelebihan 600 jam kerja. "Sebenarnya tuntutan inilah yang diharapkan kawan-kawan", kata Prayitna. Tapi justru itu soal yang tak bisa ditemukan persesuaian kata antara perusahaan dengan para buruh, yang mengajukan tuntutan itu dalam surat mereka 6 Agustus lalu. Walaupun P4 Pusat mengakui adanya tuntutan itu, namun setelah setahun ditimbang-timbang dalam SK 6 Juni 1976 P4 Pusat "tidak membenarkan tuntutan uang lembur maupun uang pengganti uang makan" itu. Alasannya, konon karena anggapan Suryono -- yang di Batam sering dianggap "Menteri Kecil" karena dia langsung bertanggungjawab kepada Menteri Subroto -- bahwa "keadaan perusahaan Robin Ednasa yang telah dihentikan operasinya menimbulkan kesulitan keuangan hingga masalah uang pesangon tersebut tidak wajar untuk dipersoalkan". Pendapat Suryono itu ternyata dibenarkan oleh P4 Pusat, meskipun orang pun maklum tak dibayarnya kelebihan jam kerja itu bukan merupakan kesulitan, tapi suatu kesengajaan sejak perusahaan itu mulai beroperasi. Sebab Robin Ednasa baru kepepet beberapa waktu belakangan. Dan di lain fihak kasus serupa berupa tuntutan pembayaran kelebihan jam kerja oleh sejumlan buruh perusahaan Mac Dermont di Batam ternyata dipenuhi oleh P4 Pusat. Lantas kenapa buat ke-1216 buruh Ednasa di mana 900 orang merupakan buruh harian, keputusan P4 Pusat terasa berat? Keputusan P4 Pusat itu -- yang bersidang tanpa dihadiri wakil buruh Robin Ednasa -- itu terasa sangat minimal. Sebab keseluruhan tuntutan buruh yang ditaksir berjumlah Rp 334 juta lebin hanya disetujui-kurang dari 5% oleh P4 Pusat. Namun nasib malang lagi menimpa para bekas buruh itu. Meskipun kabarnya P4 Pusat itu sudah berusaha langsung menghubungi Robin Lo di tingkat 22 Robina House, Singapura, uang yang Rp 10 juta itu pun sampai kini belum beres. Prayitna sendiri sudah berangkat ke Singapura pula, mencari Robin Lo. Namun pengusaha muda yang dekat dengan kalangan Pertamina di masa Ibnu Sutowo itu tak berhasil dijumpainya di sana Malah di Singapura itu orang-orang Robin menganjurkannya menghubungi fihak Pertamina di Batam. Lewat Christoffer yang mewakili Robin Ednasa di Batam, Prayitna konon mendapat jawaban dari Robin Lo bahwa perusahaannya tak bersedia membayar uang Rp 10 juta itu karena Pertamina masih berhutang pada mereka. Maksudnya agar Prayitna menagih uang tersebut pada Pertamina. "Jadi saya tak tahu lagi siapa yang mesti membayar uang itu pada kami", kata Prayitna pada pembantu TEMPO di Tanjung Pinang. Padahal setelah SK P4 Pusat itu keluar. buruh Robin Ednasa itu berharap akan sempat mencicipi hasil perjuangan mereka yang hampir setahun lamanya itu. Meskipun kalau dibagi rata setiap buruh hanya menerima sekitar Rp 10 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus