PEMDA Sumenep di Pulau Madura kini disibukkan oleh tuntutan warganya yang menagih "janji" untuk diangkat sebagai pegawai negeri. Bukan jabatan mentereng, hanya penjaga SD. Sekltar 50 orang merasa "berhak" atas jabatan itu -- karena mereka sudah menyerahkan tanah miliknya untuk pembangunan gedung SD, tanpa ganti rugi sepeser pun. Siapa yang menjanjikan? Bermula dari datangnya Inpres SD yang dananya tidak mencantumkan soal tanah. "Kami bingung menyediakan tanah karena pemerintah pusat hanya memberikan jatah gedung," kata Drs. Muhjidin, Kahumas Pemda Sumenep. Pemda mengajak masyarakat berpartisipasi. Ada yang menyediakan tanahnya, tanpa imbalan. Pemilik tanah itu kemudian menjadi penjaga gedung SD itu. Penjaga SD merupakan pekerjaan bergengsi di sana. Tugasnya membersihkan halaman dan ruangan kelas. Kemudian menyiapkan sarana pendidikan. Mereka sudah merasa sebagai pegawai negeri sejajar dengan guru-guru. Pada awal-awalnya, memang ada upaya untuk mengajukan pejaga SD itu sebagai pegawai negeri. Dan banyak yang berhasil, terutama penjaga SD yang melepaskan tanah miliknya tadi. Rupanya upaya ini diartikan otomatis. Dan menurut sumber TEMPO, memang ada aparat Pemda yang pernah membuat janji: yang merelakan tanahnya, otomatis jadi penjaga SD. Menurut Kepala Dinas P dan K Sumenep Munawar, saat ini di wilayahnya terdapat 734 SD yang tersebar di 332 desa. Penjaga SD ada 680 orang, belum semuanya pegawai negeri. Dari jumlah itu, yang berasal dari SD Inpres dan mereka yang menyerahkan tanahnya ada 300 orang. Tapi baru 219 di antaranya yang sudah diangkat jadi pegawai negeri. Sisanya inilah yang, bulan lalu, mengajukan tuntutan. "Padahal tak ada peraturan kalau menyerahkan tanah, terus diangkat jadi pegawai negeri," kata Munawar. Ia menyangkal isu bahwa bukti penyerahan tanah menjadi syarat pengangkatan sebagai pegawai negeri. "Syarat-syaratnya, ya sama dengan yang ditetapkan BAKN, seperti WNI berijazah SD, lulus testing, bebas G-30 S/PKI," kata Munawar. Tapi masyarakat telanjur termakan janji. Sebenarnya keresahan itu pun sudah lama. Penjaga SD Gayam III di Pulau Sapudi, misalnya, membawa sapi-sapinya ke halaman sekolah sebagai protes karena terlambat diangkat. Ia berhasil, permohonannya segera diproses. Tak semua lancar. Proses pengangkatan itu bisa makan waktu panjang. Seperti yang dialami H. Abubakar, Kepala Desa Mancuk Barat. Ia mewariskan tanahnya kepada Ali Pagi, anaknya Empat tahun lalu, atas desakan ayahnya, Ali menyerahkan tanah warisan itu untuk bangunan SD Inpres Mancuk Barat, dengan harapan Ali bisa diangkat sebagai pengawai negeri. "Dulu janjinya memang begitu," tutur Abubakar. Harapan tinggal harapan. Lain lagi yang dilakukan M. Ilyas dari Desa Torjek, Pulau Kangean. Januari lalu ia mengirim surat ke Bupati Sumenep. Ia balik minta ganti rugi atas tanahnya. Itu dilakukannya karena sejak 1981 ia gagal memperjuangkan "haknya" untuk menjadi penjaga SD. Bupati Sumenep, Soegondo, kini tanggap. "Dua tahun lalu, kami hanya mendapat jatah 200 orang. Nah, kar! mesti bertahap," katanya. Ia berjanji akan menuntaskan masalah ini, hingga tidak berlarut-larut. Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini