Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Siapa Penyumbang Terbesar Polusi Udara di Indonesia? Greenpeace Minta Pemerintah Buka Data

Greenpeace menilai pemerintah seharusnya tegas meminta data emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan untuk mengatasi masalah polusi udara.

25 Agustus 2023 | 04.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi langit Jakarta diselimuti kabut polusi pada hari ketiga pelaksanaan work from home (WFH) bagi 50 persen aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, Rabu 23 Agustus 2023. Menurut situs IQAir, pada Rabu sekitar pukul 08.00 nilai inseks kualitas udara di Jakarta adalah 157 atau dalam kondisi tidak sehat. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta – Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, angkat bicara soal perbedaan pendapat dalam hal penyebab polusi udara di Indonesia yang kian buruk saat ini. Menurut dia pemerintah seharusnya mengumpulkan terlebih dahulu data soal ini sebelum buru-buru menyimpulkan kendaraan bermotor sebagai biang keladi buruknya kualitas udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bondan menyatakan sejauh ini pemerintah sebenarnya tak memiliki data pasti berapa jumlah emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor atau pun sumber pencemaran udara lain seperti penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau industri lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ya sejatinya berbicara mengenai pencemaran udara ini kita harus tahu data sumber pencemarnya, nah sampai saat ini memang seolah - olah terjadi banyak perdebatan, apa sih sumbernya, begitu. Nah ini sejatinya terjadi karena pemerintah belum punya datanya secara official,” ujarnya melalui pesan suara kepada Tempo, Kamis, 24 Agustus 2023. 

Bondan menyatakan Greenpeace berpandangan pemerintah seharusnya bisa tegas memerintahkan kepada para pelaku usaha untuk wajib mengirimkan data emisinya melalui sistem yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK). Dengan demikian, menurut dia, pemerintah akan  memiliki data yang jelas dari mana sumber pencemaran udara di Indonesia.

“Seharusnya sebenarnya sampai saat ini kita nggak harus berdebat lagi. Pemerintah tinggal sajikan saja datanya. Karena pemerintah pasti punya namanya sistem yang digunakan bagi pelaku usaha untuk diwajibkan mengirimkan data emisinya. Itu ada di KLHK, kita akan tahu sumber emisinya dari mana nih," kata dia. 

Data untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan memberikan hukuman

Dengan data yang valid, menurut Bondan, pemerintah akan dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah polusi udara. 

Dia juga menyatakan, dengan data ini pemerintah bisa memberikan hukuman kepada para pengusaha yang industrinya menghasilkan emisi melebihi ambang batas. Selain itu, ia juga memberikan saran agar data dari pemerintah ini bisa dibuka ke publik, agar publik juga mengetahui datanya secara pasti. 

“DKI Jakarta harus punya data, kegiatan industri apa saja yang mengeluarkan emisi, bagaimana pemantauannya, dan seperti apa tingkat kepatuhannya. Kalaupun ada yang sudah melebihi emisi haruskah ada hukuman yang diberikan agar membuat efek jera kepada si pelaku usaha. Jadi sejadinya atau seharusnya pemerintah tidak tebang pilih. Kemudian setelah itu pemerintah tinggal sajikan datanya kepada publik agar publik juga tahu”, ujarnya. 

Selanjutnya, KLHK berkeras kendaraan bermotor sebagai sumber terbesar polusi udara di DKI Jakarta

Kualitas udara di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir terus mendapatkan sorotan. Hal itu tak lepas dari masuknya DKI Jakarta sebagai kota besar dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Berdasarkan penilaian sejumlah lembaga, kualitas udara di sejumlah tempat di Indonesia bahkan lebih buruk dari di ibu kota. 

KLHK awalnya berkeras bahwa sumber terbesar polutan udara di DKI Jakarta bukan berasal dari dampak dari keberadaan PLTU di sekitarnya, terutama PLTU Suralaya, Banten. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro menyatakan polutan dari PLTU itu tidak terbawa udara ke DKI Jakarta, tetapi ke arah Selat Sunda. 

"Kita juga melakukan studi untuk PLTU, juga untuk menjawab apakah PLTU masuk ke Jakarta atau tidak. Sudah terkonfirmasi, bahwa sebagian besar masuk ke Selat Sunda, tidak ke arah ke Jakarta," kata Sigit pada 13 Agustus lalu.

Menurutnya, penyebab kualitas udara buruk di Jakarta lebih banyak karena faktor lokal. Salah satunya karena masifnya penggunaan transportasi pribadi seperti motor.

Dalam data yang dipaparkannya, penyumbang emisi terbanyak yakni 44 persen dari transportasi. Kemudian, Sektor industri energi 25,17 persen, manufaktur industri 10 persen, perumahan 14 persen dan komersial 1 persen.

Namun belakangan KLHK menghentikan operasional empat perusahaan di DKI Jakarta dan sekitarnya yang dianggap ikut menyumbang polusi udara. Keempatnya adalah PT Wahana Sumber Rezeki dan PT Unitama Makmur Persada yang berlokasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara. Lalu ada PT Maju Bersama Sejahtera di kawasan Cakung, Jakarta Timur; dan PT Pindo Deli 3 yang berada di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

KLHK menyebut PT Wahana Sumber Rezeki dan PT Unitama Makmur Persada yang merupakan perusahaan stockpile batu bara itu tidak memiliki Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang rinci dalam menjalankan kegiatannya. 

Sedangkan pada PT Maju Bersama Sejahtera, KLHK meyakini adanya pelanggaran mengenai tidak kesesuaian dokumen lingkungan dengan kondisi lapangan. Berikutnya, PT Pindo Deli 3 disebut memiliki kegiatan pembuangan limbah batu bara berupa Fly Ash Bottom Ash (FABA) yang tidak memenuhi ketentuan standar teknis. KLHK juga meyakini perusahaan pulp kertas itu melakukan kesalahan teknis dalam pemasangan lubang sampling pada cerobong asap mereka.  

I GUSTI AYU PUTU PUSPASARI| ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus