Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sisa dari kaa

Pidato Sheikh Mohammad Ibrahim Masoud dari Arab saudi pada peringatan konperensi ke-30 KAA mengundang amarah dari delegasi Afganistan. PM Wu Xuaqian ingin memperbaiki hubungan dengan Indonesia. (nas)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN 30 tahun Konperensi Asia Afrika sudah hampir usai, Kamis pekan lalu, ketika delegasi Arab Saudi mendapat giliran berbicara. Tak ada yang istimewa pada penampilan Sheikh Mohammad Ibrahim Masoud, ketua delegasi Saudi ini selain pakaian khas Arabnya. Pidato resminya pun dimulai dengan basa-basi memuji tuan rumah seperti yang juga dilakukan delegasi lain. Tetapi, ketika pidatonya mencapai bagian pertengahan, banyak anggota konperensi terkejut. Terutama anggota dari Afghanistan. Sebab, Menteri Negara Saudi ini tegas-tegas menyatakan dukungannya terhadap kaum pejuang Afghanistan. Dikatakannya bahwa rakyat Afghanistan kini sedang berjihad melawan penjajah Soviet. Karena itu, perlu dukungan. Keruan saja delegasi Afghanistan angkat bicara. Giliran Saudi dituduhnya sebagai melanggar prinsip Dasasila Bandung. "Saudi telah melanggar prinsip menghormati urusan dalam negeri negara lain," kata Sarwar Yorish, deputi menteri luar negeri Afghanistan ini. Bahkan tuduhan pun dilanjutkan dengan menyatakan, antara lain, Saudi telah menjadi boneka imperialis. Tentu saja delegasi Saudi tak mau menerima. Papan nama negaranya pun segera diangkat sebagai tanda minta bicara lagi. Tapi Mochtar Kusumaatmadja cukup sigap, dan tak menghiraukan tingkah delegasi Saudi itu. Maka, pertikaian pun tak berlanjut. Sebenarnya suasana panas ini tak perlu terjadi andai delegasi Saudi tak terlambat datang. Jauh hari pihak panitia memang telah menyiapkan draft deklarasi. Dari isinya terlihat niat Indonesia untuk menghindarkan konperensi dari kemungkinan konflik. "Semangat Bandung 'kan mencari kebersamaan," kata Mochtar menjelaskan. RRC tampaknya memelopori semangat ini. Pidato Menteri Luar Negeri Wu Xuaqian memang sangat menekankan, "Saling menghormati kemerdekaan dan kedaulatan." Mau tak mau menyiratkan keinginan RRC untuk memperbaiki hubungannya dengan tuan rumah, yang putus sejak 1967. Kesan ini semakin kuat dengan apa yang terjadi di Istana, malam harinya. Wu memanfaatkan saat berjabat tangan dengan Presiden Soeharto untuk berbincang sekitar lima menit. Semenjak kehadirannya di Indonesia, Wu memang telah, secara terbuka, menyatakan ingin berbicara dengan Pak Harto. Namun, ketika kesempatan untuk bertemu lebih lama itu diberikan Presiden - Jumat pagi, 26 April - Wu saat itu justru pulang ke negerinya. "Wu telah kehilangan kesempatan baik," komentar Mochtar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus