MENGENAKAN baju batik berlengan panjang, Ir. H.M. Sanusi, 63, masih - bisa mengumbar senyum kepada hadirin, ketika dia digiring petugas meninggalkan ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis pekan lalu. Padahal, beberapa anak dan menantunya, yang menguntit, memandangnya dengan isak tangis. Betapa tidak, beberapa saat sebelumnya, Jaksa A. Hasan Ketaren menuntut menteri pertekstilan dan kerajinan rakyat 1966-1968 itu dengan hukuman mati. Sanusi dituduh terlibat merencanakan dan membiayai pengeboman dua gedung BCA di Jalan Gajah Mada dan Pecenongan, Jakarta Pusat serta pusat pertokoan Jembatan Metro, Glodok, Jakarta Barat. Akibat peristiwa Kamis pagi, 4 Oktober tahun lalu, itu timbul kerugian sekitar Rp 115 juta, tiga orang luka-luka, dan dua lainnya meninggal dunia. Menurut Jaksa, secara sadar, terdakwa, 20 September 1984, menyerahkan uang Rp 80.000 kepada Rachmat Basuki melalui Hasnul Arifin, untuk membuat selebaran membantah pengumuman resmi pemerintah tentang peristiwa huru-hara di Tanjung Priok, 12 September. Uang sebesar Rp 500.000 yang diberikan terdakwa kepada Rachmat Basuki dan Rp 100.000 kepada Amir Wijaya adalah untuk biaya pengeboman. Belum cukup, Jaksa masih menuduh terdakwa menerima enam detonator dari Amir Wijaya dan memberikannya kepada Tashrif, koordinator peledakan BCA. Mereka kini sedang diadili secara terpisah. Rachmat Basuki, seminggu sebelumnya, juga dituntut mati. Sanusi, menurut tuduhan, melakukan ini karena tak puas pada demokrasi di sini, merasa ada dominasi ekonomi oleh golongan tertentu, dan umat Islam didepolitisasikan. Selain pernah menjadi menteri dan anggota DPR, Sanusi adalah pengurus PP Muhammadiyah dan pengurus masjid Al Azhar, Kebayoran Baru. Rupanya, semua itu tak dilihat jaksa sebagai hal yang bisa memperingan hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini