ANAK-ANAK itu berdiri atau duduk di samping karya mereka yang
dipamerkan. Ada pot-pot dengan pohon kedelai, ada kotak-kotak
berisi ulat. Ada pula sejumlah botol berisi kecap dan di
sampingnya gambar proses pembuatannya. Juga alat-alat yang lebih
rumit alat pengaman yang kalau disentuh membunyikan suara
sirene, atau roket-roketan dari seng. Dan tak ketinggalan yang
disebut kompor-matahari.
Wajah mereka menunjukkan kesungguhan. Setiap pertanyaan dari
pengunjung dijawab dengan jelas. Tiga hari, akhir Maret lalu, di
Ruang Pameran Planetarium Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mereka
memang tak tahu: mana juri dan mana pengunjung biasa.
Itulah pameran karya para finalis Lomba Karya Cipta dan Tulis,
diselenggarakan oleh LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sudah sejak 1971 LIPI mengadakannya, hanya baru kali ini
memamerkan hasil-hasilnya untuk umum. Dengan cara itu para
pelajar tersebut tak hanya dihadapkan kepada dewan juri --
dan diharap mereka belajar bertanggungjawab secara
lebih-langsung.
"Salah satu tugas LIPI memang untuk memasyarakatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi," kata Drs. Soedito, Kepala Biro
Humas, penanggungjawab acara ini. "Dan salah satu sasaran
utamanya ialah para remaja." Dan diam-diam, sambutan para remaja
menggembirakan.
Kisah bermula dari satu konperensi para menteri pendidikan dan
ilmu pengetahuan se-Asia, 1968. Para peserta di sana sepakat
bahwa masyarakat Asia masih perlu dirangsang minatnya terhadap
ilmu dan teknologi, untuk membentuk satu lingkungan yang punya
sikap ilmiah. LIPI (sebelum 1967 bernama Lembaga Riset Nasional,
dan pernah pula Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), sejak 1969
pun mencantumkan pemasyarakatan ilmu dan teknologi sebagai
programnya. Ini cerita Soedito itu.
Dan salah satu bentuk usaha yang mendapat sambutan ramai dari
remaja ialah: siaran ilmu pengetahuan umum dan populer, acara
hasta karya lewat TVRI Jakarta, dan lomba-lomba karya ilmiah.
Sejak 1969, ketika acara itu mulai dirintis, surat-surat datang
ke LIPI menanyakan segala hal tentang acara yang baru saja
disiarkan.
"Saya bernama Amiruddin Mr, siswa SMPN XII, Palembang. Saya
penggemar acara Hasta Karya oleh LIPI pada siaran TVRI Jakarta.
Saya ingin minta keterangan tentang cara membuat alat pengeras
suara (ampli) dan skemanya." Itu satu contoh.
Menurut Soedito, sekitar 50 surat macam itu -- menanyakan soal
perkalian matematika yang sederhaha, menanyakan di mana bisa
dibeli peralatan elektronika, sampai yang minta bagan satu
pemancar radio -- diterimanya setiap hari. Kewalahan mencari
biaya, kini LIPI mengharuskan setiap surat yang minta balasan
disertai perangko.
Soal biaya, memang klise. Tapi nyata. Soedito mengaku mendapat
anggaran Rp 20 juta lebih setahun -- tak hanya untuk pembinaan
remajanya, tapi menyeluruh. Padahal penyelenggaraan Pekan Ilmiah
Remaja akhir bulan lalu itu saja biayanya hampir Rp 10 juta.
Untung ada sponsor.
Tapi benarkah sambutan para remaja memang sesuai dengan harapan?
Sotikno Boechari, 44 tahun, karyawan Bagian Umum Kimia Farma
Jakarta yang menjadi Ketua Juri bidang Teknologi dan
Elektronika, melihat tumbuhnya minat remaja pada ilmu dan
teknologi -- bidang yang tak sepopuler musik pop atau olahraga
itu -- positif.
Ditunjukkannya misalnya bagaimana anak-anak yang sering dituduh
hanya tahu santai dan bersenang-senang itu punya perhatian
terhadap masalah hari ini. Pemenang I bidang teknologi
misalnya, yang terdiri dari satu tim anak-anak SMAN VII Jakarta,
membuat penelitian bagaimana mengubah air laut menjadi air
tawar untuk diminum -- satu hal yang sudah dilakukan di Arab
Saudi atau beberapa negeri lain.
"Mereka tak hanya berusaha menghilangkan rasa asin, tapi juga
mensterilkan airnya. Malah dipikirkan pula bagaimana air murni
itu bisa mengandung mineral yang dibutuhkan manusia," tutur
Boechari bangga. "Dan yang penting lagi, proses penawarannya
memakai tenaga matahari."
Berbeda dengan yang diceritakan oleh Prijono Soemantri,
Koordinator Kegiatan Ilmiah Remaja LIPI. "Banyak memang remaja
kita yang tak menyadari masalah lingkungannya -- datang pada
saya, minta tolong dibimbing meneliti soal atom." Tentu saja itu
tak buruk. Yang disayangkan, kecuali pengetahuan si remaja
belum cukup, subyek yang dipilihnya tak timbul dari tantangan
setempet.
ITULAH sebabnya Ketua Juri, Drs. Rosman Yunus, sangat memuji
pemenang I. "Hasil penelitian mereka adalah apa yang
senyatanya ada di masyarakat, dan ada gunanya, kata guru
olahraga SMAN 31 Jakarta itu. Pemenang itu, satu tim dari SMAN
414 Jayapura, Irian Jaya, meneliti kehidupan ulat sagu -- yang
hidup dalam pohon sagu yang telah rusak -- yang menjadi makanan
penduduk setempat.
Dari sudut orisinalitas masalah, yang juga menjadi kriteria
dewan juri, boleh dikata memang sangat kurang. Diakui oleh
Soedito, bahwa untuk tiap bidang memang sudah ditentukan
subyek-subyeknya. Misalnya untuk bidang kimia peserta boleh
memilih satu di antara ini: pembuatan tempe, kecap, tahu, telur
asin atau pembuatan sabun, atau masalah pengkaratan dan
pencegahannya, atau masalah pencemaran lingkungan.
Dengan begitu memang agak berbeda dengan lomba penelitian ilmiah
yang diselenggarakan Departemen P&K -- setiap Hari Pendidikan
Nasional, sejak 1977. Lomba Dep. P&K tak menentukan obyek
penelitian. Akibatnya, memang karya yang masuk banyak yang
menunjukkan bahwa mereka belum tahu apa itu penelitian. Lomba
1979 misalnya: beberapa remaja mengirimkan satu atau dua
halaman kertas tulis bergaris, bercerita tentang, misalnya,
pengaruh jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) terhadap buah
rambutan yang pohonnya dipanjatnya."
Tak berarti pemenang lomba Dep. P&K tak bermutu, tentu.
Baswardono, misalnya, pemenang I tahun lalu, yang meneliti
kemungkinan kupang menjadi makanan murah bergizi, sangat
mendapat pujian juri (TEMPO, 25 Agustus 1979). Yang akan
sangat berguna bagi para remaja, adalah buku pedoman penelitian
beserta contoh penelitian yang baik. Buku P&K itu akan terbit
tahun ini juga -- ditulis oleh tiga orang: dr. Kartono Mohamad,
Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion dan Prof. Dr. Amin Rivai.
Tiadanya pedoman yang jelas, menyebabkan soal kualitas karya --
lomba dari LIPI maupun Dep. P&K -- lalu tergantung lingkungan si
remaja sendiri. Henny Indreswari, peserta Bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan, beruntung karena mendapat
pelajaran metode penelitian di sekolahnya.
Kegiatan remaja yang boleh dibilang bisa sangat bermanfaat ini
mudah-mudahan cepat populer. Apalagi, dalam dua-tiga tahun
belakangan ini banyak sekali terbit buku pengetahuan populer. PT
Gramedia misalnya menerbitkan serial Pustaka Dasar. Juga
penerbit Cypress yang biasanya hanya menerbitkan novel pop.
Tapi kebanyakan buku-buku tersebut, dinilai Rosman Yunus, guru
biologi itu, "kurang mendalam." Memang, buku itu dimaksudkan
untuk memberi pengetahuan kepada anak-anak SD -- walaupun
bahasanya kurang jelas, merupakan terjemahan mentah dengan
gambar-gambar yang tetap "kulit putih".
Yang sampai kini masih menjadi masalah pihak LIPI ialah soal
kelanjutan lomba. "Kami merasa mulai lagi dari nol, sebab
pesertanya selalu anak-anak baru," kata Prijono Soemantri.
Idealnya, ceritanya pula, kalau kemudian tumbuh klub-klub ilmiah
remaja.
Memang sudah ada KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) di Jakarta yang
dibina LIPI, berdiri Oktober tahun Ialu. "Tapi masih baru
hendak melangkah, masih taraf konsolidasi," kata Usman
Perdanakusuma, ketuanya. Kegiatannya baru menyelenggarakan
ceramah, misalnya tentang lingkungan hidup.
Adanya wadah lebih lanjut agaknya memang diperlukan. Kalau
membaca surat-surat remaja yang masuk LIPI, tumbuhnya minat
terhadap ilmu dan teknologi agaknya masih terbatas pada hal-hal
tertentu saja. Hasil yang sangat diharap oleh pihak Dep P&K
misalnya, tumbuhnya tenaga peneliti, masih tipis terbayang.
Apalagi kalau misalnya hadiah yang dijanjikan ternyata gagal --
dan mungkin menghilangkan kepercayaan calon peneliti itu.
(lihat box ).
Semangat sebagian peserta lomba, juga pengirim surat, masih
sekedar semangat merakit. Itu yang membuat seorang Kodir dari
kelas I STM 17 Bandung, pemenang bidang elektronika bebas, bisa
berkata: "Punya saya hasil utak-atik saya sendiri. Yang
lain-lain itu 'kan hanya mencontoh buku saja. Onderdilnya mereka
beli, lantas lihat buku, dipasang persis seperti yang dibuku."
Kenyataan seperti itu diakui juga oleh Soedito. Yang sedang
ditumbuhkan sebenarnya adalah niat untuk mengetahui seluk-beluk
sesuatu, dan tak hanya menerimanya seperti apa adanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini