Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sisi Lain Wajah Remaja

Kegiatan remaja indonesia, bukan hanya wajah disko kegiatan ilmiah di kalangan remaja sudah berjalan, dapat dilihat dalam lomba karya ilmiah remaja.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK itu berdiri atau duduk di samping karya mereka yang dipamerkan. Ada pot-pot dengan pohon kedelai, ada kotak-kotak berisi ulat. Ada pula sejumlah botol berisi kecap dan di sampingnya gambar proses pembuatannya. Juga alat-alat yang lebih rumit alat pengaman yang kalau disentuh membunyikan suara sirene, atau roket-roketan dari seng. Dan tak ketinggalan yang disebut kompor-matahari. Wajah mereka menunjukkan kesungguhan. Setiap pertanyaan dari pengunjung dijawab dengan jelas. Tiga hari, akhir Maret lalu, di Ruang Pameran Planetarium Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mereka memang tak tahu: mana juri dan mana pengunjung biasa. Itulah pameran karya para finalis Lomba Karya Cipta dan Tulis, diselenggarakan oleh LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sudah sejak 1971 LIPI mengadakannya, hanya baru kali ini memamerkan hasil-hasilnya untuk umum. Dengan cara itu para pelajar tersebut tak hanya dihadapkan kepada dewan juri -- dan diharap mereka belajar bertanggungjawab secara lebih-langsung. "Salah satu tugas LIPI memang untuk memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Drs. Soedito, Kepala Biro Humas, penanggungjawab acara ini. "Dan salah satu sasaran utamanya ialah para remaja." Dan diam-diam, sambutan para remaja menggembirakan. Kisah bermula dari satu konperensi para menteri pendidikan dan ilmu pengetahuan se-Asia, 1968. Para peserta di sana sepakat bahwa masyarakat Asia masih perlu dirangsang minatnya terhadap ilmu dan teknologi, untuk membentuk satu lingkungan yang punya sikap ilmiah. LIPI (sebelum 1967 bernama Lembaga Riset Nasional, dan pernah pula Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), sejak 1969 pun mencantumkan pemasyarakatan ilmu dan teknologi sebagai programnya. Ini cerita Soedito itu. Dan salah satu bentuk usaha yang mendapat sambutan ramai dari remaja ialah: siaran ilmu pengetahuan umum dan populer, acara hasta karya lewat TVRI Jakarta, dan lomba-lomba karya ilmiah. Sejak 1969, ketika acara itu mulai dirintis, surat-surat datang ke LIPI menanyakan segala hal tentang acara yang baru saja disiarkan. "Saya bernama Amiruddin Mr, siswa SMPN XII, Palembang. Saya penggemar acara Hasta Karya oleh LIPI pada siaran TVRI Jakarta. Saya ingin minta keterangan tentang cara membuat alat pengeras suara (ampli) dan skemanya." Itu satu contoh. Menurut Soedito, sekitar 50 surat macam itu -- menanyakan soal perkalian matematika yang sederhaha, menanyakan di mana bisa dibeli peralatan elektronika, sampai yang minta bagan satu pemancar radio -- diterimanya setiap hari. Kewalahan mencari biaya, kini LIPI mengharuskan setiap surat yang minta balasan disertai perangko. Soal biaya, memang klise. Tapi nyata. Soedito mengaku mendapat anggaran Rp 20 juta lebih setahun -- tak hanya untuk pembinaan remajanya, tapi menyeluruh. Padahal penyelenggaraan Pekan Ilmiah Remaja akhir bulan lalu itu saja biayanya hampir Rp 10 juta. Untung ada sponsor. Tapi benarkah sambutan para remaja memang sesuai dengan harapan? Sotikno Boechari, 44 tahun, karyawan Bagian Umum Kimia Farma Jakarta yang menjadi Ketua Juri bidang Teknologi dan Elektronika, melihat tumbuhnya minat remaja pada ilmu dan teknologi -- bidang yang tak sepopuler musik pop atau olahraga itu -- positif. Ditunjukkannya misalnya bagaimana anak-anak yang sering dituduh hanya tahu santai dan bersenang-senang itu punya perhatian terhadap masalah hari ini. Pemenang I bidang teknologi misalnya, yang terdiri dari satu tim anak-anak SMAN VII Jakarta, membuat penelitian bagaimana mengubah air laut menjadi air tawar untuk diminum -- satu hal yang sudah dilakukan di Arab Saudi atau beberapa negeri lain. "Mereka tak hanya berusaha menghilangkan rasa asin, tapi juga mensterilkan airnya. Malah dipikirkan pula bagaimana air murni itu bisa mengandung mineral yang dibutuhkan manusia," tutur Boechari bangga. "Dan yang penting lagi, proses penawarannya memakai tenaga matahari." Berbeda dengan yang diceritakan oleh Prijono Soemantri, Koordinator Kegiatan Ilmiah Remaja LIPI. "Banyak memang remaja kita yang tak menyadari masalah lingkungannya -- datang pada saya, minta tolong dibimbing meneliti soal atom." Tentu saja itu tak buruk. Yang disayangkan, kecuali pengetahuan si remaja belum cukup, subyek yang dipilihnya tak timbul dari tantangan setempet. ITULAH sebabnya Ketua Juri, Drs. Rosman Yunus, sangat memuji pemenang I. "Hasil penelitian mereka adalah apa yang senyatanya ada di masyarakat, dan ada gunanya, kata guru olahraga SMAN 31 Jakarta itu. Pemenang itu, satu tim dari SMAN 414 Jayapura, Irian Jaya, meneliti kehidupan ulat sagu -- yang hidup dalam pohon sagu yang telah rusak -- yang menjadi makanan penduduk setempat. Dari sudut orisinalitas masalah, yang juga menjadi kriteria dewan juri, boleh dikata memang sangat kurang. Diakui oleh Soedito, bahwa untuk tiap bidang memang sudah ditentukan subyek-subyeknya. Misalnya untuk bidang kimia peserta boleh memilih satu di antara ini: pembuatan tempe, kecap, tahu, telur asin atau pembuatan sabun, atau masalah pengkaratan dan pencegahannya, atau masalah pencemaran lingkungan. Dengan begitu memang agak berbeda dengan lomba penelitian ilmiah yang diselenggarakan Departemen P&K -- setiap Hari Pendidikan Nasional, sejak 1977. Lomba Dep. P&K tak menentukan obyek penelitian. Akibatnya, memang karya yang masuk banyak yang menunjukkan bahwa mereka belum tahu apa itu penelitian. Lomba 1979 misalnya: beberapa remaja mengirimkan satu atau dua halaman kertas tulis bergaris, bercerita tentang, misalnya, pengaruh jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) terhadap buah rambutan yang pohonnya dipanjatnya." Tak berarti pemenang lomba Dep. P&K tak bermutu, tentu. Baswardono, misalnya, pemenang I tahun lalu, yang meneliti kemungkinan kupang menjadi makanan murah bergizi, sangat mendapat pujian juri (TEMPO, 25 Agustus 1979). Yang akan sangat berguna bagi para remaja, adalah buku pedoman penelitian beserta contoh penelitian yang baik. Buku P&K itu akan terbit tahun ini juga -- ditulis oleh tiga orang: dr. Kartono Mohamad, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion dan Prof. Dr. Amin Rivai. Tiadanya pedoman yang jelas, menyebabkan soal kualitas karya -- lomba dari LIPI maupun Dep. P&K -- lalu tergantung lingkungan si remaja sendiri. Henny Indreswari, peserta Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan, beruntung karena mendapat pelajaran metode penelitian di sekolahnya. Kegiatan remaja yang boleh dibilang bisa sangat bermanfaat ini mudah-mudahan cepat populer. Apalagi, dalam dua-tiga tahun belakangan ini banyak sekali terbit buku pengetahuan populer. PT Gramedia misalnya menerbitkan serial Pustaka Dasar. Juga penerbit Cypress yang biasanya hanya menerbitkan novel pop. Tapi kebanyakan buku-buku tersebut, dinilai Rosman Yunus, guru biologi itu, "kurang mendalam." Memang, buku itu dimaksudkan untuk memberi pengetahuan kepada anak-anak SD -- walaupun bahasanya kurang jelas, merupakan terjemahan mentah dengan gambar-gambar yang tetap "kulit putih". Yang sampai kini masih menjadi masalah pihak LIPI ialah soal kelanjutan lomba. "Kami merasa mulai lagi dari nol, sebab pesertanya selalu anak-anak baru," kata Prijono Soemantri. Idealnya, ceritanya pula, kalau kemudian tumbuh klub-klub ilmiah remaja. Memang sudah ada KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) di Jakarta yang dibina LIPI, berdiri Oktober tahun Ialu. "Tapi masih baru hendak melangkah, masih taraf konsolidasi," kata Usman Perdanakusuma, ketuanya. Kegiatannya baru menyelenggarakan ceramah, misalnya tentang lingkungan hidup. Adanya wadah lebih lanjut agaknya memang diperlukan. Kalau membaca surat-surat remaja yang masuk LIPI, tumbuhnya minat terhadap ilmu dan teknologi agaknya masih terbatas pada hal-hal tertentu saja. Hasil yang sangat diharap oleh pihak Dep P&K misalnya, tumbuhnya tenaga peneliti, masih tipis terbayang. Apalagi kalau misalnya hadiah yang dijanjikan ternyata gagal -- dan mungkin menghilangkan kepercayaan calon peneliti itu. (lihat box ). Semangat sebagian peserta lomba, juga pengirim surat, masih sekedar semangat merakit. Itu yang membuat seorang Kodir dari kelas I STM 17 Bandung, pemenang bidang elektronika bebas, bisa berkata: "Punya saya hasil utak-atik saya sendiri. Yang lain-lain itu 'kan hanya mencontoh buku saja. Onderdilnya mereka beli, lantas lihat buku, dipasang persis seperti yang dibuku." Kenyataan seperti itu diakui juga oleh Soedito. Yang sedang ditumbuhkan sebenarnya adalah niat untuk mengetahui seluk-beluk sesuatu, dan tak hanya menerimanya seperti apa adanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus