Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Skrining naik panggung

Sebelum berpentas di luar negeri para seniman ha- rus diskrining dan punya izin khusus. penilai ke- giatan kesenian dan hiburan ini diketuai bakin. alasannya soal keamanan dan sifatnya komersial.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para seniman, sebelum berpentas di luar negeri, harus diskrining dan punya izin khusus. Mengapa hanya seniman yang wajib skrining? "ADA atau tidak ada izin, saya akan tetap berangkat." Begitulah tekad Ni Ketut Arini Alit, pemimpin Sanggar Tari Warini dari Bali. Ia sudah membayangkan kapal Viking Line, kapal pesiar mewah bercat merah darah yang melayari Laut Baltik, antara Oslo dan Helsinki di Skandinavia sana. Di atas kapal itulah rencananya Ni Arini menunjukkan pada bagian dunia lain betapa indahnya tari Bali itu. Sebenarnya, sudah sejak Juni lalu ia mengurus tetek bengek izin pertunjukan kesenian di luar negeri, di kapal itu. Namun, begitulah, sampai ia berangkat pekan lalu, kabar tentang izin itu tak diterimanya. Padahal, Arini mengaku perbekalan dokumennya sudah cukup lengkap. Ia dan rombongannya sudah mempunyai "Pramana Patram Budaya", sertifikat dari pemerintah daerah yang membuktikan pemegangnya sudah mahir menari. Terlebih lagi bukan baru kali ini dia pergi ke luar negeri. Seingatnya ia sudah delapan kali melanglang buana. "Hanya, sebelumnya selalu ada yang mengurus," katanya kepada Silawati dari TEMPO. Maklum, ia pergi bersama misi kebudayaan yang diatur pemerintah. Bisa jadi, kasus serupa Arini akan terjadi lagi. Salah satu sebab adalah, prosedur izin itu memang tidak gampang. Selain Arini, dramawan N. Riantiarno juga pernah ruwet begini. Ia bahkan tak tahu dengan jelas siapa yang melarang. Yang jelas buat dia, Opera Kecoa yang sedianya akan dipentaskannya di Jepang Februari lalu, batal. Dan ia tak nekat seperti Arini. Jadi duduk perkara sebenarnya bagaimana? "Untuk misi yang bukan pemerintah, sekarang ditangani komisi khusus yang ketuanya dari Bakin," demikian penjelasan Sekretaris Ditjen Kebudayaan, Bastomi Ervan. Agak janggal juga, misi kesenian harus dinilai oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara. Namun, tentu saja pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan punya alasan kuat. Misi kesenian nonpemerintah dinilai lebih banyak bersifat komersial. "Biasanya untuk bisnis hotel atau klub malam," Bastomi menambahkan. Alasan berikut adalah soal keamanan. Kalau toh tak ada soal dengan kesenian yang akan dimainkan, bisa jadi si senimanlah yang punya masalah. "Ada skrining," kata W.D. Soekisman, bekas deputi sekuriti di Bakin, badan yang mengurusi soal ini. Skrining ini memang bisa panjang. Selain soal bersih lingkungan, bersih diri, ada pula penilaian khusus untuk orang yang dianggap bisa membuat onar di luar negeri. Itu belum termasuk daftar cegah tangkal yang ada di imigrasi. Untuk itu, para seniman yang hendak pentas di luar negeri diminta melakukan geladi bersih di depan Komisi Peneliti dan Penilai Kegiatan Kesenian dan Hiburan yang diketuai orang Bakin. Cara menilai seperti inilah yang dikeluhkan oleh Sardono W. Kusumo, penari beken yang sudah tak terhitung lagi berapa kali berpentas di mancanegara. Selain dirasakan menghambat keberangkatan, itu dianggap Sardono, "Cara penilaian yang sangat kasar," katanya kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Sardono bukannya tak tahu bahwa ada soal keamanan negara yang dipertaruhkan di sini, tetapi ia menyarankan agar para seniman yang akan berangkat itu bisa lewat prosedur umum. "Nilailah orangnya. Setiap orang ke luar negeri kan memang harus melewati sekuriti," katanya. Kalau seninya juga ikut dinilai, ia malah melihat hal itu merugikan nama Indonesia. "Kalau ekspresi seni diadili, kita malah akan mendapat sorotan dari luar." Seorang seniman lain yang kerap berurusan dengan Bakin juga ikut prihatin. Menurut dia, kalau memang takut malu di luar negeri, lebih baik duta-duta olahraga kita juga melewati skrining. "Sepak bola kita itu kan kalah terus, apa tak bikin malu." YH, Sri Pudyastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus