Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti bidang politik pada The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Felia Primaresti, mengatakan wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada oleh DPRD tidak serta-merta menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan.
“Negosiasi politik antarpartai, lobi, hingga potensi praktik politik uang dapat tetap terjadi dalam proses penunjukan ini,” kata Felia dalam keterangan diterima di Jakarta pada Rabu, 18 Desember 2024.
Dia menuturkan mekanisme penunjukan kepala daerah oleh DPRD justru berisiko memunculkan konflik kepentingan. Kepala daerah dikhawatirkan mengabaikan aspirasi masyarakat apabila hanya berfokus mencari dukungan DPRD.
Di sisi lain, kata dia, mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga dinilai berisiko merusak prinsip pengawasan dan kesimbangan (checks and balances) dalam demokrasi. “Jangan sampai DPRD memilih kepala daerah yang hanya aman untuk kepentingan mereka sendiri, mematikan partisipasi publik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi lokal,” ujarnya.
Posisi eksekutif, seperti gubernur, bupati, atau wali kota membutuhkan legitimasi kuat oleh rakyat. Karena itu, menurut dia, mengganti pilkada langsung menjadi penunjukan DPRD dapat melemahkan demokrasi lokal.
“Pilkada langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi lokal. Pilkada langsung memberi rakyat hak penuh untuk menentukan pemimpin mereka, menciptakan rasa keterlibatan, dan kepemilikan dalam demokrasi,” ujarnya.
Pilkada langsung juga memungkinkan rakyat memilih pemimpin terbaik menurut mereka yang pada akhirnya memperkuat prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Atas dasar itu, TII merekomendasikan agar sistem pilkada langsung tetap dipertahankan.
“Pilkada langsung memberikan rakyat kuasa politik yang lebih bermakna, menciptakan demokrasi yang lebih kuat, dan memastikan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi langsung dari masyarakat," katanya.
Namun, jika mekanisme pemilihan oleh DPRD diterapkan, TII menekankan integritas DPRD dan partai politik perlu diawasi secara ketat. Selain itu, rekam jejak, kompetensi, dan seleksi calon kepala daerah perlu dibuka kepada publik.
“DPRD adalah lembaga publik yang tunduk pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Proses penunjukan kepala daerah harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna,” tuturnya.
Kemendagri Tak akan Terburu-buru Menentukan Sistem Pilkada
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan Kementerian Dalam Negeri tidak akan terburu-buru dalam menentukan sistem pemilihan kepala daerah. Meski demikian, Bima menuturkan semakin cepat menentukan sistem pilkada, maka semakin baik karena akan berdampak terhadap waktu persiapannya.
Karena itu, dia mengatakan Kemendagri saat ini membutuhkan masukan dari publik dalam menentukan sistem pilkada.
“Perlu masukan dari teman-teman kampus, peneliti, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan terutama teman-teman partai politik, serta DPR RI,” ujar Bima setelah berkunjung ke SMAN 34 Jakarta pada Selasa, 17 Desember 2024.
Dia juga menanggapi soal kekhawatiran masyarakat akan terjadi kemunduran bila kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Semua opsi itu ada plus minus. Ya, kembali ke DPRD ada plus minusnya, langsung ada plus minusnya, ya semuanya pasti ada catatannya. Kami bahas semuanya di atas meja bersama-sama,” kata mantan Wali Kota Bogor itu.
Bima juga mengatakan mengetahui akar masalah dari politik uang yang membuat biaya politik tinggi merupakan hal yang penting.
“Pemilihan di DPRD adalah salah satu opsi, tetapi yang paling penting saat ini adalah mengidentifikasi, memahami akar masalah dari politik biaya tinggi, itu dulu. Jangan sampai akar masalahnya apa kemudian solusinya ke mana, harus nyambung semua,” kata dia.
Wamendagri mengatakan Presiden menyampaikan wacana itu karena memperhatikan fakta yang berkembang di masyarakat, yakni adanya biaya politik yang tinggi dalam pemilu.
“Ini ditangkap oleh Presiden, dan kemudian memerintahkan kepada kami untuk mulai melakukan kajian. Ini kami berkolaborasi juga dengan teman-teman kampus dan peneliti karena akan ada banyak opsinya,” ujarnya.
Sebelumnya, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung sistem politik di Indonesia mahal dan tidak efisien.
“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya pada Puncak Perayaan HUT Ke-60 Partai Golkar di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024.
Prabowo juga menyinggung soal efisiensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sebab, selain tidak boros anggaran, hal itu juga mempermudah transisi kepemimpinan. Dia mencontohkan dengan apa yang terjadi di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
ANTARA
Pilihan editor: Prabowo ke Mesir, Gibran Jadi Plt Presiden Harus Lakukan 4 Poin Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini