Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR Inpres Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Kamis pekan lalu tampak lebih sepi. Deru motor yang biasa beradu keras tak terdengar lagi. Belasan tukang ojek yang biasa mangkal di sekitar pasar pun tak tampak batang hidungnya. Rahmanto, salah seorang pengojek yang tersisa di sana, menuturkan bahwa situasi Poso, Sulawesi Tengah, yang tak menentu keamanannya belakangan ini, membuat para pelanggannya enggan keluar rumah. Sehari mereka biasa menerima Rp 50 ribu, kini jumlah itu susut lebih dari setengahnya.
Rasa waswas juga mencengkeram beberapa wanita penjaja pisang goreng. Mereka yang biasa berjualan di dermaga Poso memilih tinggal di rumah saja. Tempat nongkrong itu pun sepi pengunjung. ”Kami takut, jangan-jangan kami juga menjadi sasaran,” kata seorang di antara mereka. Ketakutan itu muncul setelah bertebaran isu berbau teror yang menyebut aksi pembunuhan tak akan berhenti sebelum memakan korban 100 wanita Poso.
Serentetan peristiwa pembunuhan sadistis belakangan ini, yang terjadi di wilayah itu, membangun rasa takut yang luar biasa di alam pikiran masyarakat di sana. Akhir Oktober lalu tiga siswi SMU Kristen Poso, masing-masing Ida Yarni Sambue (15 tahun), Theresia Morangke (15 tahun), dan Alfita Poliwo (19 tahun), dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh sekelompok orang tidak dikenal. Potongan tubuh mereka ditemukan di Dusun Bambu, Poso Kota. Sebelumnya—sejak Agustus lalu—empat warga Poso tewas, termasuk anggota Polres Poso Briptu Agus Soleman.
Belum hilang rasa cemas yang baru saja menyergap, sepekan kemudian, 8 November, dua siswi muslim ditembak oleh orang tidak dikenal. Saat itu korban, Ivon Maganti (17 tahun) dan Siti Nur Aini (17 tahun), sedang berada di luar rumah kos mereka di Jalan Gatot Subroto, Lombogia, Poso.
Untunglah, peristiwa itu tidak membuat warga Poso terpancing untuk meletupkan persoalan menjadi lebih luas yang dikhawatirkan dapat menyulut kerusuhan berbau SARA, seperti yang pernah melanda wilayah itu. Menurut Ketua Front Solidaritas Islam Revolusioner (FSIR), Sofyan Farid Lembah, ini lebih dikarenakan resistansi masyarakat Poso sudah kuat. ”Masyarakat Poso tak mau lagi diprovokasi,” ujar salah satu tokoh deklarator Malino itu.
Kecemasan warga justru tertumpu pada kemampuan aparat keamanan dalam upaya menangkap dan menghukum para pelaku kejahatan sadistis itu. Rasa khawatir itu boleh jadi beralasan. Menurut tokoh lembaga swadaya masyarakat di Palu, Arianto Sangadji, dari 59 kasus penembakan misterius yang terjadi sejak 2001, belum satu pun kasus yang telah dapat diungkap secara tuntas. ”Masa, kasus di Poso yang begitu sedikit penduduknya tidak bisa diselesaikan,” kata Sekretaris Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, heran.
Pekan lalu, Kepala Polisi Daerah Sul-Teng Brigadir Jenderal Oegroseno mengumumkan ada tiga tersangka dalam kasus penembakan Ivon dan Siti. Mereka adalah David (24 tahun), Ismed (30 tahun), dan Asman (24 tahun).
David ditangkap pada Selasa malam, tak lama setelah peristiwa penembakan itu. Polisi yang tengah melakukan pengejaran menemukan David dekat kuburan Cina di Jalan Talasa, sekitar 500 meter dari Gatot Subroto.
Namun, penangkapan atas diri David agaknya mengagetkan bagi pihak keluarga. Lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek itu, menurut kesaksian Hendra, adik kandung David, sedang menggendong anaknya ketika tembakan terdengar. David lalu pergi untuk melihat kejadian tersebut. Belum sampai di Jalan Gatot Subroto, ia sudah ditangkap polisi.
Menurut pengacara David, Tajwin Ibrahim dari Tim Pembela Muslim, aparat mengaku menemukan jaket dan lima butir peluru yang kemudian dijadikan barang bukti. ”Padahal David menuju ke lokasi penembakan hanya memakai kaus oblong,” ujarnya.
Beberapa jam setelah meringkus David, polisi menangkap Ismed di rumahnya di Jalan Ade Irma, Kelurahan Lawanga, tak jauh dari tempat kejadian. Dia sempat dilepas keesokan harinya, namun Sabtu pekan itu juga polisi kembali ”menciduknya”.
Keluarga serta tetangga Ismed merasa sangsi bujang itu terlibat. Sebab, selain dikenal penakut, Ismed dianggap orang yang netral pada masa konflik bernuansa agama melanda Poso lima tahun lalu. Dia, misalnya, sering menjadi penghubung bila warga Kristen Poso yang mengungsi mau menyewakan rumah yang mereka tinggalkan di Kota Poso. ”Dia sering diminta membawa uang sewa rumah,” ujar Habib Sis Aljufrie, sahabat dekat Ismed.
Dan ketika peristiwa penembakan terjadi, Ismed sedang bekerja di rumah tetangganya, Siti, 30 tahun. ”Waktu terdengar bunyi tembakan, Ismed hendak ke lokasi kejadian, tapi saya cegah dia,” kata Siti.
Bersamaan dengan Ismed, polisi menangkap Aksan. Mereka dua bersahabat. Menurut Daud, ayah Aksan, pada saat kejadian anaknya berada di rumah kenalannya di Jalan Talasa. ”Dia cuma keluar rumah ingin melihat situasi, malah kemudian ditangkap,” ujarnya.
Sumber Tempo di kepolisian Poso mengatakan, Ismed dan Aksan ditangkap karena pengakuan Ivon. Menurut Ivon, sore hari sebelum penembakan itu Aksan menemuinya di rumah kos Jalan Gatot Subroto itu. Cuma, tidak jelas apa yang mereka bicarakan.
Selain ketiga tersangka yang kini mendekam di ruang tahanan Polda Sul-Teng, polisi juga menangkap dua orang lain: IP dan YS. Pekan lalu keduanya dibawa ke Markas Besar Polri di Jakarta. ”Secara bersama-sama keduanya menjadi tersangka dua kasus pembunuhan, pada 2004 dan 2005,” ujar Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Soenarko, tanpa merinci pembunuhan yang dimaksud.
Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriadi, bahkan mengatakan bukti kejahatan IP dan YS dalam salah satu kasus pembunuhan sudah lengkap. ”Sekarang lagi diselidiki apakah mereka berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu,” ujarnya.
Kapolda Sul-Teng, Oegroseno, yang dihubungi Tempo melalui telepon Rabu pekan lalu, menyebut barang bukti dan saksi mendukung tuduhan itu. Oegroseno menolak menyebutkan bukti-bukti yang ia maksud serta motif di balik penembakan Ivon dan Siti. Namun, dia mengatakan Ivon mengenal David, Ismed, maupun Aksan. ”Sekarang kami tengah melengkapi bukti-bukti agar mereka tidak sampai lepas di pengadilan,” ujarnya.
Philipus Parera, Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo