SEPERTI kesurupan para juru lelang di seluruh pasar modal dunia serak berteriak-teriak, "Jual ....jual.... jual." Bergerombol-gerombol orang tegang di depan layar monitor. Detik demi detik angka-angka -- yang cepat sekali berubah -- dipelajari dengan saksama. Sesekali terdengar helaan napas berat dan gelisah. Kepala keamanan jembatan Brooklyn dan Manhattan, New York, belum mencabut perintah siaga penuh kepada anak buahnya. Setiap gerak-gerik pelintas jembatan East River -- berjalan kaki atau berkendaraan diawasi dengan ketat. Sungai itu, belakangan, terasa menggoda penduduk New York yang dilanda putus asa. Resesi. Depresi. Dua kata itu yang paling banyak dlucapkan orang menyambut rontoknya harga saham dalam minggu-minggu ini. Sebab, begitu bursa di New York, Wall Street, terserang demam, yang lain ikut meriang. Stock Exchange of London, pasar modal terbesar di Inggris, tanda Fast Market muncul berkali-kali setiap hari di papan elektronik. Artinya, para pialang jangan mengandalkan harga-harga saham yang muncul, karena papan itu tak sanggup lagi mengikuti kecepatan gelolak harga yang terjadi. Di Singapura, Jumat lalu, jaringan telepon di Central Business District macet sampai menjelang sore saking banyaknya orang yang blcara. Sementara itu, para pegawai kantor-kantor pialang saham terpaksa mengusiri para kliennya yang terus mengerubut. Jam kantor sampai molor sejam. Dampaknya belum terasa di Indonesia (lihat New York Bersin, Siapa yang Pilek ?). Tapi di Tokyo hebat terasa. Pada jam istirahat, para pegawai kantor menghambur ke pasar modal, meninggalkan makan siang agar bisa langsung mengikuti rontoknya harga saham. Para petugas kewalahan menjawab satu pertanyaan yang diulang-ulang: sampai titik mana harga akan terus melorot? Puas atau tidak, jawaban petugas di bursa Yomaichi Shoken cuma begini, "Staf di sini belum ada yang berpengalaman dengan situasi seperti ini." Pejabat bursa di Hong Kong tak mau repot. Tahu keadaan memburuk, mereka tutup pintu, mulai Rabu sampai Senin. Apa boleh buat, soalnya harga saham di sana anjlok sampai 11%, sehari sebelum libur stimewa itu. Malapetaka itu bermula dari New York Stock Exchange (NYSE), pasar modal di Amerika Serikat, yang terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Hari itu, 19 Oktober, yang kemudian disebut "Senin Hitam", Dow Jones Industrial Average Index mengumumkan sebuah berita pembantaian harga saham. Nyali pedagang dan pemilik saham langsung ciut. Menurut indeks yang mewakili 30 saham perusahaan terkemuka di AS itu, harga-harga saham rontok 508 titik, atau 22,6% dari harga semula. Persentase itu hampir dua kalinya angka bersejarah, 12,9%, yang terbetik pada 28 Oktober 1929. Kala itu terjadi depresi ekonomi. Kesulitan ekonomi dunia yang bukan main parahnya (lihat Krisis 1930, Krisis 1987). Seberapa besar sabetan angka itu kini? Belum ada yang sanggup menjawab secara tepat. Tapi, siapa yang tak ngeri, bila ternyata saham perusahaan-perusahaan raksasa yang rontok? Saham IBM turun 31 dolar menjadi 104 dolar, Eastman Kodak turun 27,25 dolar menjadi 62,875 dolar, dan Westinghouse turun 20,45 dolar menjadi 40,25 dolar. "Ini kejadian terburuk yang sama sekali di luar perkiraan," ujar John Phelan, Presiden NYSE. Beberapa perusahaan jual beli saham langsung "menjual diri". Salah satu di antaranya adalah AB Tompane & Co. Perusahaan yang selama ini bermain dengan saham perusahaan-perusahaan raksasa, seperti Royal Dutch Petroleum, US Steel, dan Sterling Drug, itu sejak pekan lalu dijual kepada Merryl Lynch Co. Betapapun tangguhnya perusahaan-perusahaan spesialis semacam Tompanc menurut Phelan, tidak akan sanggup menghadapi malapetaka itu. Dalam tempo sehari 52 perusahaan spesialis itu menanggung kerugian 750 juta dolar. Beberapa hari kemudian kerugian mereka mungkin sudah mencapai satu trilyun dolar. Situasi runyam itu memaksa Presiden Ronald Reagan muncul di televisi. Yakin betul presiden Amerika Serikat itu berkata "Jangan panik, ekonomi kita masih membaik." Tapi kepanikan tak bisa dibendung dengan satu dua kalimat. Pasar-pasar modal dari Tokyo, Hong Kong, Singapura, London, Paris, Sydney, sampai Afrika Selatan, meledak. Para analis ekonomi atau pedagang hanya bicara soal depresi atau resesi ekonomi dunia. Setiap negara, yang sudah menginternasionalisasikan pasar modalnya, mencatat rekor-rekor baru dalam sejarah bursa mereka. Bahkan berita terpilihnya Noboru Takeshita sebagai Perdana Menteri Jepang, Selasa lalu, hanya sempat mendominasi koran-koran pagi. Sorenya, hampir semua headline berkisah tentang rontoknya harga saham di mana-mana. Bisa dipahami. Karena, hari itu, bursa saham di Tokyo mencatat rekor baru: 30 perusahaan terkemuka, yang masuk dalam indeks Nikkei Stock Average, ambles 14,9%. Sedangkan rekor lama, yang dicetak pada 1953, masih 4,9% di bawahnya. Tohokan telak itu langsung mengenai pemegang saham perusahaan-perusahaan yang selama ini dianggap paling tangguh di dunia. Saham Sony, misalnya, rontok 500 yen per lembar, menjadi 4.050 yen. Dan Honda, jatuh 300 yen, menjadi 1.220 yen per lembar. Pemerintah Jepang, yang tampaknya paham betul pada gawatnya situasi, tak berani mengumbar janji. "Guncangan ini bagaikan gempa bumi raksasa. Tak mustahil akan muncul gcmpa lanjutannya," ujar Kiichi Miyazawa, menteri keuangan Kekaisaran. Tapi gaya yakin Reagan diikuti menteri perdagangan merangkap wakil perdana menteri Singapura, Goh Chok Tong, yang juga menyatakan bahwa masyarakat tak perlu panik, karena ekonomi Singapura sedang membaik. Pertumbuhan ekonomi negara itu, 1986/87, memang termasuk salah satu yang tertinggi di dunia: 5% -- rata-rata mentok di sekitar 3%. Peringatan itu, tak lain, karena kalapnya para investor yang serentak menjual sahamnya. Itu bisa dilihat dari Straits Time Industrial Index (STII), Selasa lalu, yang menyatakan bahwa harga saham di sana jatuh 12%: dari 1.391,42 menjadi 1.222.78 poin. Rontoknya harga saham itu, kalau dihitung duitnya, berarti sama dengan menguapnya 3,6 milyar dolar. Yang paling menderita adalah para pemegang saham Singapore International Airline. Karena sepertiga uang yang beredar di bursa berasal dari perusahaan penerbangan elite dunia itu. Bagi para investor di pasar modal Singapura, datangnya malapetaka itu terlalu cepat. Baru Desember tahun lalu, mereka dihantam oleh Pan Electrie Industries yang mendadak gulung tikar. sehingga saham mereka yang masuk dalam STII rontok 11,9% dalam sehari. Sementara itu, perusahaan minyak Inggris yang masuk dalam urutan lima besar perusahaan minyak dunia, British Petroleum, juga kehilangan nama besarnya. Selasa lalu, NM Rothchild Bank mendadak menghentikan semua promosi penjualannya, yang menelan dua juta pound seminggu . Padahal, tiga hari sebelumnya, perusahaan yang 31,7%, sahamnya di tangan pemerintah Inggris itu mendemonstrasikan keunggulannya. Enam anggota pasukan para diluncurkan dengan tali dari lantai 20, Gedung London Stock Exchange (LSE), pasar modal terbesar di Inggris. Mereka berhenti di lantai 10, lalu mengibarkan 6 spanduk raksasa bertuliskan angka 330. Maksudnya, saham pemerintah di perusahaan itu ditawarkan dengan harga 330 pence (sennya pound) per lembar, kenda di pasar masih laku 355 pence. Sementara itu, lewat televisi diumumkan. "Seger beli, tawaran ini hanya berlaku sampai Oktober 1987." Tepuk tangan segera menggelegar dari para pejabat pemerintah dan pengusaha pendukung Perdana Menteri Margaret Thatcher yang menyaksikan dari jalanan. Maklum, privatisasi termasuk salah satu isu utama Thatcher dalam kampanye pemilihannya. Tapi tawaran bernilai total 7,2 milyar pound itu berantakan. Di hari Selasa kelabu itu, saham prestisius itu hanya berharga 316 pence, lantaran banyak pembeli yang mendadak mundur. Dan secara keseluruhan nilai saham Financial Time Index (FTl) yang menguap di LSE tercatat 43,7 milyar pound. Kamis pekan lalu, angin sedikit bertiup, harga di NYSE. naik sampai separuh dari posisi Senin Hitam. Di Tokyo naik sampai 65% dari kemerosotan Selasa. Tapi, Jumat berikutnya, harga terbantai lagi. Meski di NYSE, menurut Dow Jones Industrial Average, terjadi kenaikan 0,3 titik. Kenaikan sangat tipis itu memang tak bisa diandalkan. Apalagi dengan munculnya gejala aneh. Banyak saham yang sudah direncanakan akan dibeli kembali sebagian oleh perusahaan induknya malah ambruk keesokan harinya. Padahal, rencana itu diumumkan pada hari Rabu, ketika harga saham mereka naik tajam. Saham EF Hutton Group, misalnya, pada hari Kamis jatuh jadi sedolar dari 1,875 dolar Dayton-Hudson jatuh separuhnya, hingga tinggal sedolar Sedangkan Minnesota Mining 8 Manufacturing -- paling sial -- sahamnya terbanting sampai tinggal sedolar dari 3,5 dolar. Para eksekutif perusahaan di AS yakin, program "beli kembali" itu akan mampu menyelamatkan prestise perusahaan, selain menyehatkan pasar. Hari itu, pengumuman-pengumuman program itu bermunculan dari berbagai perusahaan raksasa, antara lain Pepsico Inc., Delta Airline, dan Procter & Gamble. "Kondisi pasar sekarang sebenarnya merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk memperkuat posisi modalnya," ujar Richard L. Gelb, Presiden Bristol-Myers, yang merencanakan membeli kembali 25 juta lembar sahamnya dari bursa. Yang pasti, kesehatan bursa di NYSE ditunggu oleh bursa-bursa lain di seluruh dunia. "NYSE adalah sumber optimisme terhadap pesimisme," ujar seorang pialang saham dari raksasa Jepang, Daiwa Securities. Bisa dipahami, karena teknologi komunikasi saat ini sanggup menelanjangi catatan rugi laba perusahaan yang sudah goblic selama 24 jam, untuk disebarkan ke seluruh dunia dalam beberapa detik. Sekaligus mengatur transaksi antara investor dan bursa. Selain itu, proses internasionalisasi pasar modal dunia juga sudah terjadi, meski baru LSE yang membuka pintu lebar-lebar dan menyediakan kursi bagi siapa pun yang berminat jadi anggotanya. Sedangkan TSE, yang baru tahun ini memberi 6 kursi buat perusahaan asing, tahun depan akan menambah 11 lagi. Dan NYSE memberi jatah 8 kursi buat perusahaan asing sebagai agen utama penjualan obligasi Departemen Keuangan AS. Sementara itu muncul berbagai spekulasi mengenai sebab-sebab malapetaka belakangan ini. Ada analisa yang mempersalahkan para investor sendiri. Sejak lima tahun lalu, mereka sangat bergairah memborong saham di pasar-pasar modal, mengejar keuntungan yang menggiurkan. "Sehingga, harga di pasar tak realistis lagi," ujar Koji Nakagawa, Presiden Lembaga Riset Nomura. Karena itu, menurut anggapan Nakagawa, kekacauan saat ini mengarah pada normalisasi harga. Sedangkan kubu Reagan langsung menuding kenaikan bunga Bank Sentral Jerman Barat sebagai biang kerok. Dan Menteri Keuangan AS James Baker, yang terbang ke sana pada hari "Senin Hitam" itu, langsung mengancam, "Nilai dolar akan sengaja diturunkan terhadap mata uang kuat tertentu." Di dalam negeri, Reagan langsung bertempur melawan Kongres, yang dikontrol oleh Partai Demokrat. Di Capitol Hill, markas besar Kongres, pekan lalu, presiden dari Partai Republik itu langsung menuding: gejolak pasar modal saat ini bisa terjadi lantaran Kongres tak becus merumuskan kebijaksanaan ekonomi. Menurut Reagan, ada dua ketidakberesan di Kongres. Pertama, katanya, ada kecenderungan untuk menyetujui undang-undang perdagangan proteksionistis -- yang dianggap menakut-nakuti para calon pemodal. Kedua, tidak mampu mengontrol defisit pembelanjaan. Reagan menyatakan kesediaannya berhadapan dengan ketua Kongres untuk mendiskusikan bagaimana menekan defisit anggaran belanja pemerintah. Defisit anggaran belanja pemerintahan Reagan, yang tahun fiskal 1986-87 masih mencapai 148 milyar dolar, memang banyak dikaitkan dengan naiknya suku bunga. Dengan alasan, untuk menutup defisit, pemerintah harus mencari uang di pasar bebas. Dan, sesuai dengan hukum pasar, makin banyak permintaan, barang dagangan jadi ikut mahal. Tapi Robert Sollow, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun ini, balas menyerang Reagan. Defisit belanja AS, menurut guru besar ekonomi di Massachusetts Institute of Technology itu, terjadi gara-gara Reagan selalu menolak keras kenaikan pajak. "Sekarang pemerintah harus menaikkan pajak," ujarnya. Dari sisi lain, Marc Wesseling, pialang saham dari Morgan Stanley Bank di NYSE, berkesimpulan bahwa kekacauan sekarang ini bersumber dari Robert Precter, pengamat pasar modal paling kondang dari AS, dan kebodohan para investor itu sendiri. "Kalau dia bilang nilai saham akan anjlok, orang-orang langsung jual saham ramai-ramai," ujarnya. Pialang yang perusahaannya hanya menerima klien bermodal minimum sejuta dolar itu tidak yakin bahwa gejolak saham bisa berhenti sebelum dua bulan. Lalu dia kasih nasihat, agar para investor berpaling kepada pasar obligasi atau komoditi, atau menanam uangnya di pasar-pasar modal luar negeri. Teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih juga tak luput dari makian. "Mesin itu menjauhkan manusia dari realitas pasar," ujar Sarwar Hobohm, pengamat ekonomi dari The Economist Intelligence Unit. Kecenderungan semakin nyata bahwa orang hanya mengikuti perintah komputer untuk menjual atau membeli saham. Dan Ian Macdonald, pialang senior dari Barclays de Zoete Weld di LSE, yakin betul bahwa apa yang terjadi sekarang ini memang dosa komputer. Menurut dia, sebelum komputer diizinkan masuk pasar modal, beberapa tahun lalu, dalam keadaan krisis pun diperlukan waktu setahun untuk merontokkan saham sampai 200 poin. "Eh, sekarang, nilai saham bisa jatuh 277 poin hanya dalam 5 menit," ujarnya. Bahkan secara resmi The Federation of British Industry, organisasi industri Inggris, pekan lalu menyatakan hal yang sama: komputer biang kekacauan belakangan ini. Tapi, seperti biasa, pernyataan-pernyataan resmi kurang banyak bisa diharapkan menolong keluar dari persoalan. Hal-hal baru biasa menimbulkan penyimpangan. Tapi tidak bisa dielakkan apa lagi ditampik. Praginanto (Jakarta), Yudhi Soerjoatmodjo (London), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini