KH. Ali Ma'shum menundukKkan kepala. Suasana ruang tamu di rumah
di dalam komplek pondok Krapyak, Yogyakarta, pagi itu terasa
sunyi. Lebih setengah jam Kiai Ali membiarkan Syaiful Mujab,
tamunya, gelisah menunggu kata apa yang bakal ia ucapkan: maukah
dia memegang jabatan Rais Am?
"Tapi sampeyan harus membantu saya," tiba-tiba katanya.
Mengucapkan kalimat itu. Kiai Ali menatap tamunya. Dan utusan
seluruh peserta Munas NU, yang telah memilih Kiai Ali sebagai
Rais Aam, tahu apa maksud Kiai. Syaiful, Ketua NU DIY, menarik
napas panjang. Lega.
"Saya juga diutus menderekkan-Kiai Ali ke Kaliurang untuk
pembaiatan," ujar Mujab. Lalu dua orang ini kemudian menuju
Kaliurang.
Apa sebab Kiai yang disegani itu menerima pencalonan? Kata
pengantar yang diucapkan Mujab tampaknya membuat Kiai Ali tidak
bisa berkata lain. "Kalau tidak segera ditentukan siapa
pemimpinnya, keresahan akan timbul dan berkepanjangan. Bukan
saja melanda 10.000 ulama tapi juga seluruh keluarga besar NU,"
ujar Mujab.
Sejak semula Kiai Ali sebenarnya menolak dicalonkan. Ketika
delegasi sembilan orang datang dari Kaliurang ke Krapyak untuk
meminta kesediaannya dicalonkan, Kiai Ali menolak keras Bahkan
ketika sembilan orang tadi, antara lain Abdurrahman Wahid
kembali ke Kaliurang, Kiai Ali ternyata sudah ada di ruang
sidang mengucapkan pidato, yang intinya tetap menolak usaha
pencalonannya.
"Calon Rais Aam harus punya wawasan luas, berumur kurang 50
tahun dan keturunan Kiai Hasyim Asy'ari," ujarnya. Meski tidak
menyebut nama, tapi seluruh pandangan tertuju pada Abdurrahman
Wahid.
Tapi pidato dalam bahasa Arab yang dinilai sangat indah itu
justru membuat Kiai Ali lebih menonjol. Dan ketika pilihan
akhirnya toh tertuju padanya, upaya menolak masih dilakukan.
Menjelang subuh, setelah pemilihan, beredar selebaran yang
ditandatangani Kiai Ali sendiri mempertegas penolakan itu. "Demi
Allah saya merasa tidak mampu. Saya juga sakit jantung. Kalau
dipaksakan mungkin menyebabkan umur saya tidak panjang lagi, "
begitu antara lain bunyi selebaran.
Bukan hanya itu. "Saya sampaisampai bernadzar kalau tidak
terpilih akan bersedekah Rp 100.000," ujar kiai tinggi besar
ini pada TEMPO. "Saya ini kan kenek, kok tiba-tiba disuruh jadi
sopir," kata Kiai Ali, ketika ditanya mengapa begitu keras
menolak. Kiai Ali akhirnya menerima jabatan itu. Ia ingat sebuah
hadits: "Jabatan jangan kau kejar tapi tanggungjawab angan kau
elakkan."
Kiai Ali, lahir 15 Maret 1915 di Lacem, Rembang (Java Tengah)
adalah putra sulung K.H. Ma'shum, salah satu pendiri NU. Selagi
muda Ali mondok sampai ke Termas di Pacitan dan kemudian di
Krapyak. Bukan hanya ilmu yang didapatnya dari pondok asuhan
K.H. Munawir ini, tapi juga teman hidup. Ia dijadikan menantu
oleh Kiai Munawir. Dari perkawinannya dengan Hasyimah itu lahir
sembilan orang anak.
Pada usia 17 tahun, Kiai Ali berangkat ke Mekah dan mukim di
sana hampir tiga tahun. Kiai Ali dikenal pula sebagai kiai yang
hafal Qur'am Pondok Krapyak sendiri, didirikan tahun 1911 oleh
mertuanya, sudah menghasilkan 1.300 penghafal Qur'an.
Pukul 03.00 dinihari Kiai Ali bangun melakukan shalat tahajjud.
Menjelang subuh Kiai Ali keliling pondok mengetuk kamar-kamar
santrinya agar bangun untuk sembahyang subuh. Seuai jamaah
subuh, Kiai Ali "bula praktek" sorogan. Bergantian para saltri
maju satu persatu memperdalan "kitab" yang diminati
masing-masing.
Letak Krapyak yang hanya 9 km di selatan Yogya membuat pondok
ini jadi tumpuan sebagian mahasiswa untuk memperdalam agama. Ada
250-an mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogya yang
mukim di Krapyak.
Mereka ini menempati blok utara di kampus yang terletak di atas
tanah 2,5 ha itu. Seusai kuliah di kota, mereka menambah
pengetahuan agama pada Kiai Ali. "Saya memang kepingin melihat
lahirnya teknokrat muslim," ujar Kiai Ali mengenai kesediaannya
menampung mahasiswa itu. Pondok itu sendiri, di luar yang 250
tadi, punya 900-an santri.
Dikenal sebagai salah satu kiai yang mutafakkih fiddin --ahli
hukum agama (salah satu persyaratan untuk jadi Rais Aam
NU)--Kiai Ali juga berpandangan luas. "Dialah kiai yang
memandang soal-soal kemiskinan dan sanitasi sama pentingnya
dengan shalat rawatib," ujar Abdurrahman Wahid. Shalat rawatib
adalah shalat sunnah yang dilakukan beriringan dengan shalat
lima waktu yang sangat dianjurkan.
Kiai Ali juga sangat dihormati oleh kiai lain. Apalagi Kiai
Ma'shum, ayah Kiai Ali adalah seniornya Kiai Bisri.
Yusuf Hasyim, putra Kiai Hasyim yang pernah mondok di Krapyak
begitu gembira ketika Kiai Ali terpilih. "Pukul 12 malam itu
saya ngebut ke Yogya, membangunkan Kiai Masykur dan Kiai Idham
Cholid, sekedar memberitahukan hasil pemilihan itu," ujar Yusuf
Hasyim.
Jabatan Rais Aam memang sangat menentukan -- terutama dalam masa
krisis. Peristiwa walk-out tempo hari dinilai tak bakal terjadi
seandainya ada Rais Aam.
Sebagai contoh ketika terjadi krisis RUU Perkawinan di tahun
1974. Kiai Bisri ketika itu segera ambil langkah mengundang
sembilan kiai utama NU. Dalam sebuah pertemuan yang dilaksanakan
di sebuah garasi mobil di dalam komplek pondok Denanyar,
lombang, mereka merumuskan konsep perubahan. Konsep dari garasi
itu kemudian diajukan dan 75% terwujud seperti apa yang ada
sekarang dalam UU Perkawinan.
Peran yang menentukan itu kini ada di pundak Kiai Ali, yang
segera otomatis juga jadi Rais Aam PPP. Kiai berkulit kuning jni
belum menjanjikan apa-apa kecuali sebuah pesan "kalau saya
salah, pecatlah!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini