Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkas itu cuma setebal sebelas halaman. Tujuh halaman pertama adalah disposisi internal Bank Indonesia. Empat lembar berikutnya berisi laporan pertanggungjawaban penggunaan uang Rp 4,4 miliar. Dituliskan, uang sejumlah itu telah disetorkan BI kepada anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.
Diduga aliran dana dimaksudkan untuk memuluskan pembahasan tiga rancangan undang-undang: Likuidasi Bank, Lembaga Penjaminan Simpanan, dan Kepailitan, serta sebuah rencana anggaran Bank Indonesia. Semuanya telah disahkan sepanjang tahun 2004.
Isu permainan uang dalam pembahasan ketiga rancangan undang-undang itu sesungguhnya sudah merebak sejak masa pembahasan di awal 2004. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bahkan sudah melaporkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, karena bukti kurang kuat, laporan masuk laci.
Awal Agustus lalu, kasus itu hidup kembali. Kali ini yang membangkitkannya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga swadaya masyarakat yang getol mempersoalkan kasus korupsi. Teten Masduki, Koordinator ICW, tiga pekan lalu datang ke KPK dengan membawa bukti berlembar-lembar disposisi internal BI tadi.
Kelihatannya kasus ini akan bergulir cepat. Para penyidik KPK serius meneliti dokumen itu. Dari Senayan, Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dikabarkan segera mendesak pemimpin Dewan untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigasi. BPK pun sudah siap membongkar kasus ini hingga terang benderang.
Jika laporan ICW benar, aliran dana dari Bank Indonesia itu patut diduga sebagai suap. Sebab, uang yang mengalir dipakai untuk memuluskan hubungan dengan para wakil rakyat di Senayan. Ini bukan kasus uang pertama kali. Belum lama ini merebak berita adanya aliran dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan kepada sejumlah wakil rakyat. Semuanya dikemas atas nama dana sosialisasi.
Dana ”sosialisasi” dalam kasus Bank Indonesia ini memang masih perlu diselidiki. Tapi berkas yang diusung ICW—lagi-lagi kalau benar adanya—secara telak menunjukkan ini bukan sekadar sosialisasi.
Lihatlah disposisi tanggal 29 September 2004, yang dikirim Rizal Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI, kepada Aslim Tadjuddin, Deputi Gubernur Bank Indonesia. Disposisi ini dikirim setelah RUU Lembaga Penjaminan Simpanan dan Kepailitan disahkan oleh rapat paripurna DPR.
Surat ini berisi empat poin. Pada poin pertama disebutkan bahwa seluruh high call Bank Indonesia pada dua rancangan itu dapat diakomodasi. Di antaranya tentang kewenangan Bank Indonesia selaku lembaga pengawas bank.
Surat itu melaporkan bahwa Lembaga Penjaminan Simpanan hanya berwenang merekomendasikan pencabutan izin usaha bank. Urusan pencabutan izin usaha merupakan wewenang Bank Indonesia.
Keberhasilan lobi itu juga terlihat dalam Undang-Undang Kepailitan. Di situ Bank Indonesia mendapat kewenangan eksklusif dalam prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Artinya, permohonan pernyataan pailit terhadap bank sepenuhnya wewenang Bank Indonesia.
Dalam surat ini juga disampaikan bahwa semua permintaan dari Bank Indonesia telah masuk ke dua undang-undang tadi. Itu berkat dukungan data dan hasil lobi dengan anggota Panitia Kerja DPR.
Dua RUU itu kemudian disahkan dalam rapat paripurna anggota Dewan. Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan disahkan pada 25 Agustus 2004 dan Undang-Undang Kepailitan disahkan 23 September 2004. Kerja keras juru lobi bank sentral rupanya membuahkan hasil baik.
Seorang pengamat perbankan mencatat satu ”sukses” penting akibat pengaruh BI di balik lolosnya UU Lembaga Penjaminan Simpanan. Ini menyangkut kewenangan BI selaku lembaga pengawas bank. Kewenangan BI dalam UU Lembaga Penjaminan Simpanan dinilai bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 34 UU Bank Indonesia menyatakan pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang.
Nama lembaganya sudah ditetapkan: Otoritas Jasa Keuangan. Tugasnya mengawasi perbankan, pasar modal, dan asuransi—yang sekarang masing-masing diawasi oleh BI, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan seharusnya diisi oleh wakil dari pengusaha, pemerintah, BI, Jaksa Agung, juga polisi. Tenggat operasional terbentuknya otoritas itu juga sudah ditetapkan: selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
Tapi Bank Indonesia sampai sekarang belum juga menepati tenggat itu. Apakah ini berkat lobi atau bukan, masih perlu ditelusuri. Tapi belum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan patut disayangkan karena lembaga itu bakal memisahkan fungsi regulator dan pengawas bank yang semuanya berada di tangan Bank Indonesia.
Selain itu, poin ketiga disposisi BI sangat mencurigakan. Di situ disebutkan sebagian besar anggota panitia kerja di DPR akan berakhir masa tugasnya. Mereka akan menggunakan waktu yang tersisa untuk mensosialisasi materi dua rancangan undang-undang itu kepada publik. Sebagai wujud dukungan, serta untuk tetap membina hubungan baik, menurut disposisi itu, diusulkan dana bantuan sebesar Rp 2,6 miliar. Uang bantuan ini tidak lazim dan berbau ”suap” mengingat anggota Dewan sudah punya dana sosialisasi sendiri.
Dana bantuan itu juga terlihat saat pembahasan RUU Likuidasi Bank. Lihatlah surat disposisi yang diajukan Rizal Djaafara kepada Aulia Pohan, juga salah seorang Deputi Gubernur BI.
Di situ disebutkan bahwa RUU Lembaga Penjaminan Simpanan sudah disetujui anggota Dewan. Tapi beberapa materi, seperti jaminan kliring, belum masuk. Setelah koordinasi dengan beberapa mantan anggota panitia kerja yang akan menjabat kembali, begitu bunyi disposisi itu, disepakati untuk membuat RUU Likuidasi Bank.
Sampai di situ belum ada masalah. Tapi poin keempat dalam disposisi itu tak sedap. Di sana disebutkan, sebagai upaya sosialisasi dan pentingnya pembinaan hubungan baik, Biro Gubernur BI mengusulkan dana bantuan awal sebesar Rp 500 juta.
Dana bantuan juga digelontorkan saat pembahasan anggaran Bank Indonesia. Itu terlihat dalam surat yang diajukan Biro Gubernur BI tanggal 21 September 2004. Di situ disebutkan bahwa sesuai dengan kesepakatan dengan anggota DPR dari Komisi Keuangan dan Perbankan, akan diadakan pertemuan informal di Hotel Mulia di Senayan, Jakarta Pusat. Sekitar 18 anggota Dewan akan hadir. Sebagai apresiasi terhadap anggota Dewan, pembuat surat ini mengusulkan penyediaan dana diseminasi sebesar Rp 540 juta.
Selain kepada anggota Dewan, dana mengalir ke Sekretariat Komisi Keuangan dan Perbankan. Jumlahnya Rp 75 juta untuk sekitar 15 orang. Bantuan ini disebutkan untuk membiayai perjalanan dalam masa reses. Semua pengeluaran ini sudah dilaporkan kepada Gubernur Bank Indonesia.
Aliran dana kepada anggota Dewan di Senayan itu dikecam sejumlah kalangan. Kasus ini, kata pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, masuk kategori gratifikasi alias pemberian hadiah kepada pejabat negara. Dana pemberian hadiah, kata Denny, adalah salah satu dari 30 jenis tindak pidana korupsi.
Mereka yang terlibat dalam kasus ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Itu sebabnya Denny mendesak, ”KPK harus segera bergerak sebelum bukti-buktinya hilang.”
Dewan Gubernur Bank Indonesia sudah merapatkan barisan menghadapi tuduhan itu. Kamis dua pekan lalu, mereka menggelar rapat mendadak di kantor bank itu di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di sana disepakati bahwa penjelasan atas kasus ini akan dilakukan Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Budi Mulya.
Budi mengaku sudah mempelajari dokumen yang dilaporkan ICW itu. Menurut dia, dokumen itu berbeda dengan dokumen yang dimiliki Bank Indonesia. Karena itu, Budi menegaskan, ”Berita bahwa kami memberi uang kepada anggota Dewan cuma isu belaka.” Apa saja perbedaan dokumen yang dilaporkan ICW dengan dokumen Bank Indonesia, Budi enggan memberikan jawaban.
Dia juga menjelaskan bahwa setiap kegiatan di Bank Indonesia ada anggarannya, termasuk sosialisasi dan komunikasi. Dan setiap anggaran itu, katanya, ”Secara berkala diaudit secara internal dan oleh lembaga eksternal.” Direktur Direktorat Hukum BI Oey Hoey Tiong memperkuat koleganya. Kata Oey, pandangan seolah-olah Bank Indonesia memberikan uang kepada anggota Dewan agak keliru. Padahal, ”Uang yang keluar tersebut merupakan bagian dari proses pembuatan RUU itu.”
Semua pembuatan RUU, kata Oey, ada tahapnya, dimulai dari draf akademis yang disusun atas kerja sama dengan sejumlah para pakar dari kampus dan para pengamat. Dalam proses ini, bisa saja ada anggota Dewan yang diundang. ”Honor dan akomodasinya dibayar,” ujarnya.
Jika sudah beres, draf itu menjadi RUU dan diserahkan ke DPR. Karena banyak hal teknis yang tidak mudah dipahami, perlu diseminasi. Di situ diberikan penjelasan soal dasar pemikiran rancangan itu, tujuan, dan soal teknis lainnya.
Proses diseminasi bisa berlangsung di dalam atau di luar kota. Perlu biaya untuk kegiatan itu, tapi Oey memastikan, ”Tidak pernah ada pemberian uang secara langsung ke anggota Dewan.” Dalam soal uang ini, keterangan Oey sedikit lain dengan Budi Mulya.
Faisal Baasyir, Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004, mengaku tidak pernah menerima uang dari Bank Indonesia. Orang Partai Persatuan Pembangunan yang kini sudah pensiun dari politik itu setuju jika kasus ini diusut tuntas. Dia mengusulkan, ”Agar BPK segera melakukan audit investigasi atas kasus ini.”
Agus Condroprayitno, mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengaku tidak ingat soal ada-tidaknya dana dari Bank Indonesia saat pembahasan empat rancangan itu.
Selama satu tahun menjadi anggota komisi itu, kata Agus, ia pernah menerima uang dari koleganya. ”Sekitar Rp 5 juta. Saya tidak tahu uang dari mana, teman yang memberi,” katanya.
Apa pun pengakuan anggota Dewan, pengusutan mutlak perlu dilakukan. Sungguh berbahaya jika uang sudah berhasil mengubah aturan hukum yang mengatur kepentingan lembaga yang mampu menyediakan dana miliaran.
Wenseslaus Manggut, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo