Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Status Jakarta sebagai Ibu Kota Jadi Polemik, Begini Penjelasan Pengamat

Pasal 41 Ayat (2) UU IKN mengimplikasikan Jakarta sebagai Ibu Kota telah kehilangan statusnya dua tahun setelah UU IKN disahkan pada 15 Februari 2022.

9 Maret 2024 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kereta MRT (Mass Rapid Transit) di Jakarta, Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Polemik ihwal bagaimana status Jakarta setelah dua tahun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara disahkan menjadi perdebatan sejumlah pihak. Polemik ini muncul menyusul klausul yang terdapat pada Pasal di UU IKN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 41 Ayat (2) UU IKN mengimplikasikan Jakarta sebagai Ibu Kota telah kehilangan statusnya dua tahun setelah UU IKN disahkan pada 15 Februari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan, secara teoritik, klausul batas waktu atau sunset clause hanya bisa diberlakukan dalam satu UU saja, tidak bisa menjadi perintah kepada pembentuk UU. "Oleh karenanya, status Jakarta sebagai Ibu Kota masih berlaku," kata Herdiansyah kepada Tempo, Sabtu 9 Maret 2024.

Sunset clause dalam UU IKN, Herdiansyah melanjutkan, tidak bisa secara otomatis menggugurkan keberlakukan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota yang mengatur status Jakarta sebelumnya. "Sepanjang tidak diubah, Jakarta statusnya masih sebagai Ibu Kota," ujar dia.

Sebelumnya, pada rapat Badan Legislasi DPR, Selasa lalu, Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas menyebut UU DKI habis statusnya pada 15 Februari 2024 atau setelah dua tahun UU IKN disahkan.

Jumat kemarin, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dwi Purwono menampik ihwal status Jakarta yang tidak lagi menjadi Ibu Kota. Dia mengatakan, bahwa pencabutan status Ibu Kota pada Jakarta berlaku saat diterbitkannya Keputusan Presiden.
  
Hal tersebut merujuk pada Pasal 39 UU IKN, yang menyebutkan pemindahan Ibu Kota dilakukan setelah diterbitkannya Keppres pemindahan IKN dari Jakarta ke Nusantara di Penajam Paser Utara. "Kapan penerbitan Keppres dilakukan, menjadi kewenangan Presiden," kata Dini.

Pakar Hukum Tata Negara Universtas Gadjah Mada, Yance Arizona mengatakan, anggapan pada Jakarta yang tidak lagi menjadi Ibu Kota karena telah melewati limitasi waktu dalam UU IKN akan berimplikasi serius pada banyak hal. 

Misalnya pada ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang menyebutkan jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu berkedudukan di Ibu Kota Negara. "Jika nanti KPU menetapkan hasil pemilu di Jakarta yang tidak jadi Ibu Kota lagi. Maka, hasil pemilu batal demi hukum," kata Yance.

Herdiansyah Hamzah mengatakan serupa. Menurut ia, implikasi terhadap limitasi waktu dalam UU IKN terhadap status Jakarta juga akan berdampak bagi lembaga-lembaga negara lainnya. "Semua lembaga yang menyatakan berkedudukan di Ibu Kota kemudian mengumumkan hasil temuannya di Jakarta saat ini, semua hasilnya batal demi hukum," ujar Herdiansyah.

Keputusan pemindahan Ibu Kota ini, kata dia, membuktikan betapa buruknya legislasi yang dilakukan tanpa ada kematangan dan pencegahan terhadap kekosongan hukum. "Pemindahan Ibu Kota bukan hanya soal infrastruktur, namun juga pondasi hukumnya. Itu tidak nampak diperhitungkan," ucap Herdiansyah.

Andi Adam Faturahman

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus