ISU suap di DPR ternyata merembet pula ke DPRD DKI Jakarta. Ini terbongkar gara-gara rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pasar swasta yang disahkan DPRD itu 21 Juli lalu. Raperda yang disusun sejak tahun 1990 dan segera akan diterapkan itu oleh AP3I dirasa sangat menyulitkan. Misalnya saja, pasar swasta kelak harus didaftar kembali setiap lima tahun. Untuk pendaftaran itu, pengusaha ditarik retribusi Rp 1.000 per m2 dan Rp 1.800 tiap m2 untuk izin pengusahaan pasar. Jangan cobacoba melanggar, sebab ada ancaman pidana berupa tiga bulan kurungan atau denda Rp 100.000. Denda itu memang jauh lebih ringan ketimbang ancaman bagi tukang ojek yang tak punya SIM dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya yang ancamannya enam bulan penjara atau denda Rp 6 juta. Yang mungkin lebih berat adalah pemerintah daerah bisa menutup usaha itu. Selain itu, izin pemakaian pasar yang semula 30 tahun diperpendek menjadi 20 tahun. Tahu-tahu muncul isu suap US# 39.850 (sekitar Rp 80 juta). Duit sebesar itu disediakan untuk biaya perjalanan 11 anggota Komisi C DPRD Jakarta mengadakan studi perbandingan ke Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Manila selama delapan hari pada Juli 1990. Jadi, setidaknya setiap anggota mendapat uang saku Rp 7 juta. Siapa yang menyumbang? Patungan dolar itu, kata sebuah sumber, dikumpulkan dari beberapa pasar swalayan. Lima pasar swalayan masing-masing menyumbang US# 5.000 dan tujuh lainnya kebagian jatah sumbangan US# 2.990 tiap swalayan. Kekecewaan atas calon peraturan daerah yang tak menguntungkan pengusaha pasar swalayan itu pun meledak. Sebab, walau para anggota dewan sudah diongkosi jalan-jalan ke luar negeri, kata Ketua AP3I (asosiasi pusat pertokoan dan perbelanjaan Indonesia) H.J.A. Sinungan, DPRD tak menampilkan persoalan baru. Mereka cuma mengutip surat keputusan gubernur soal pasar swasta itu. Sinungan meminta agar pengesahan rancangan peraturan daerah itu ditunda. Betulkah kabar tentang suap di DPRD Jakarta itu? Ketua DPRD Jakarta Suparno Wirjosubroto menyangkal, "Undangan resmi, sopan dan terhormat, akhirnya dianggap suap. Saya kecewa sekali," katanya kesal. Suparno, yang masa jabatannya habis Sabtu pekan lalu, menegaskan bahwa ia menerima undangan resmi dari AP3I tanggal 6 Juli 1990. Di situ disebutkan tentang pentingnya studi perbandingan ke beberapa negara Asia untuk meningkatkan bisnis eceran di DKI. AP3I bersedia membiayai perjalanan itu. Tawaran itu diterima, 'Tapi tidak sembunyi-sembunyi. Sebelum pergi saya minta izin kepada Gubernur Wiyogo dan Menteri Dalam Negeri Rudini," katanya. Soal suap mungkin tak mesti berkaitan dengan izin dan pemberitahuan kepada atasan. Syarifudin Siregar Pahu yang ikut dalam rombongan membantahnya. "Amat pilu mendengar tuduhan suap itu. Kemauan mereka tak bisa kami turuti, lalu mengungkit-ungkit soal lama," ujarnya dengan gusar. Yang menjadi soal, menurut Suparno, mengapa soal suap itu baru dibuka sekarang. Ia juga mempersoalkan mengapa AP3I tak membeberkannya ketika rombongan DPRD itu pulang dari kunjungan. "Ini kan karena mereka tak berhasil mengatur wakil rakyat?" Belakangan, setelah isu suap merebak, ternyata AP3I "rikuh" sendiri. Mereka menyesalkan isu itu dan dalam siaran persnya disebutkan bahwa AP3I menyetujui secara bulat semua materi Perda. "Nonsens pemberitaan di koran yang bilang anggota DPRD dapat uang saku Rp 7 juta," kata Sekjen AP3I, Hidayat. Sri Pudyastuti R., Linda Djalil, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini