Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Suara barmin, dakman, dan...

Tak seorang murid pun senang melihat gurunya kurus kering dan berpakain kumal. tiga guru menulis untuk tempo, tentang kesejahteraan guru, tentang hubungan murid dan guru, dan tentang mengajar di kelas.

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN seorang guru yang menuhskan sendlri pengalamannya bisa lebih bebas dan santai, dibandingkan bila diwawancarai. Maka, TEMPO mengundang tiga guru untuk menuliskan pengalaman mereka. Yang pertama, Barmin, guru menggambar dan bahasa Indonesia di SD Negeri Balong I, Ponorogo, Jawa Timur. Ia juara II dalam sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa tahun lalu dengan karangannya tentang pengaruh lingkungan terhadap perkembangan bahasa Indonesia siswa. Untuk TEMPO ia menulis masalah kesejahteraan guru. Barmin, 29, masih bujangan, memang tidak bercerita tentang dirinya sendiri. Tapi, tentang rekan gurunya dan guru-guru lain yang dia ketahui. Berikut tulisan Barmin, lulusan SPG (1974) yang kini berpangkat II B dan bergaji pokok Rp 31.700: "YANG kita ambil sebagai contoh dalam pembicaraan ini adalah seorang guru dengan seorang istri dan dua anak. Guru ini tidak menuntut kekayaan atau keuntungan pribadi dari profesi gurunya. Ia hanya ingin tampil dengan pantas ketika menunaikan tugas. Sebab, menurut anggapannya, tidak seorang murid pun, atau siapa pun juga, yang ingin meihat gurunya kelihatan kurus kering kekurangan gizi, atau berpakaian kumal. Sementara itu, soal rumah pribadi dan bagaimana nanti ia membiayai sekolah kedua anaknya belum terlintas di benaknya. "Kondisi ekonomi Pak Guru ini hanya memberikan kesempatan kepadanya untuk mengikuti perkembangan aman dan ilmu dengan membaca koran langganan bersama di sekolah. Ditambah dengan mendengarkan radionya sendiri, dan nonton televisi di rumah tetangga. Untuk rekreasi, cukup sekali setahun bersama murid-muridnya. Untuk menambah penghasilan, Pak Guru kita ini membuka pintu depan rumahnya untuk menjajakan keperluan sehari-hari. Usaha sampingan seperti itu tak dilakukannya sendiri. Di daerah Ponorogo sering terlihat seorang guru di suatu sore turun ke sawah. Kalau ia tidak beternak, ya, menjadi perantara jual beli hasil pertanian. "Itu memberikan gambaran kepada kita sampai di mana tingkat kesejahteraan guru umumnya, dan guru SD khususnya dengan gaji yang mereka terima, dan khusus dl daerah Ponogoro. Anehnya, dengan kerja sampingan itu, tampaknya para guru itu lebih tenang. Mereka tampaknya lebih bisa berkonsentrasi dalam mengajar. Mungkin karena urusan dapur sudah tertutupi. "Memang idealnya, selama seharian seharusnya waktu guru disediakan untuk murid. Pulang dari sekolah, seorang guru semestinya tidak harus beralih kerja lain, tapi mengevaluasi pekerjaan murid-muridnya. Guru sangat banyak dituntut untuk keperluan profesinya. Tapi, gajinya untuk memenuhi tuntutan itu tidak seimbang." Barmin sendiri sejak 1976 rajin menulis cerita pendek dan puisi di harian Suara Kaya, Jakarta. Bukan terutama untuk menambah penghasilan, tapi untuk menopang kanernya sebagai guru bahasa. Ia memang berterus terang, pada mulanya tak bercitacita jadi guru. Karena tak ada biaya meneruskan sekolah, ia memilih SPG. Guru kedua, Dakman Mudyadi, 53, Kepala SMPN 156, Jakarta. Ia berpengalaman menjadi guru sekitar 20 tahuni di SD, SGB, dan SMP. Kini, kebetulan, lingkungan SMPN 156 di kawasan Kramat Pulo, Jakarta Pusat, cukup menantang. Terletak di permukiman kelas menengah bawah yang padat, di sekolah ini dulu, sekltar dua tahun lalu, banyak siswa yang suka minum-minum sampai slebor. Tapi Dakman beserta staf urunya sepakat untuk tidak bersikap kasar terhadap murid. Ia punya resep, yang ternyata ampuh. Yakni memberi contoh bagaimana seharusnya bersekolah. Pak Guru yang suka menulis cerita anak-anak ini selalu datang pagi sekali, dan pulang paling akhir. Kepada para guru ia selalu berpesan, "Jangan mau menang sendiri." Maksudnya, kalau guru salah, harus langsung minta maaf kepada murid. Itu antara lain yang menyebabkan guru punya wibawa, "lantas disegani, bukan ditakuti, oleh siswa." Dan, berikut ini tulisan guru yang juga penulis tujuh buah buku anak-anak - antara lain Putri Ayu Puni Tanjung (Pustaka Jaya, 1973). Dari Pak Guru yang masih menanggung keenam putranya, dan suka main catur ini, kami mintakan tulisan tentang bagaimana sebaiknya hubungan murid dengan guru. Bukan sepenuhnya hasil tulisannya sendiri, tapi dipadu dengan wawancara TEMPO: "SEBAGAIMANA orangtua terhadap anak, begitulah sebaiknya seorang guru terhadap murid. Guru hendaknya sadar bahwa ia harus siap berkorban. Senyum bibir guru adalah senyum sopan santun, sebisanya guru jangan pernah marah. Juga, jangan menyimpan dendam, dan jangan pilih kasih terhadap murid. "Pernah di SMP ini datang seorang bapak membawa golok, mencari anaknya, karena bapak itu menerima surat dari sekolah bahwa anaknya tiga bulan belum membayar SPP. Padahal, uang sudah diberikan. Si murid, tahu bapaknya datang, lari. Kata temannya, mau cari pisau. Terpaksa saya berbicara kepada bapak itu di kantor ini, dan seorang guru lain berbicara dengan anaknya di kelas. "Akhirnya saya damaikan. Ini 'kan anak Bapak juga. Dan murid ltu saya suruh minta maaf kepada bapaknya, yang sudah susah-susah bekerja sebagai petugas keamanan- di Pasar Kramatjati. Bapak itu marah, karena ia ingin agar anaknya tidak mengikuti jejaknya, menjadi pemboros dan peminum. Anak itu kemudian tak lagi terlambat membayar SPP. "Pernah pula karena diejek-ejek murid, seorang guru muda menempeleng siswa. Hampir saja ia dikeroyok. Untung, saya tahu. Guru itu saya minta untuk minta maaf kepada murid yang ditempelengnya. Di kantor, kepada guru itu saya bilang, kita sudah jadi guru, jadi orangtua jadi, harus berani berkorban, siap mental. Sekarang guru itu masih mengajar di sini dan hubungannya dengan murid-murid baik. "Guru, di-gugu (dianut) dan di-tiru. Murid akan meniru sikap guru yang Jadi panutannya. Murid akan bangga dan mencontoh guru yang simpatik. Tapi hubungan murid dengan guru harus tetap berjarak, jangan terlalu akrab. Misalnya, guru yang mau menerima tawaran rokok dari muridnya, saya tidak setuju.- Kalau saya tahu, pasti saya tegur. Ini mengurangi kewibawaan guru. "Menurut saya, yang penting, guru harus ikhlas menerima profesinya, hmgga tidak merasa tersiksa oleh kerjanya." Pak Dakman, lulusan sekolah guru di zaman Jepang, tapi kemudian sempat meneruskan di Sekolah Guru Atas (SGA) pada awal 1950-an, dan lulus PGSLP pada 1972, memang melihat ada perbedaan pendidikan guru dulu dan kini. Dulu, menurut Dakman, yang jadi guru karena disuruh orangtuanya, ada tes lisan. Dari tes itulah ditentukan apakah calon siswa sekolah guru berbakat jadi guru atau tidak. Tapi, bagaimana sebaiknya mengajar siswa di kelas? Tentang masalah ini, S.N. Ratmana, guru fisika di SMA Negeri I, Tegal, Jawa Tengah, menuliskannya. Guru ini kelahiran Kurajan, 48 tahun lalu, lulusan BI Ilmu Alam, memang populer di kalangan siswa. Ia ramah, tapi berwibawa. Bapak tiga anak ini termasuk guru yang tidak mau memberi pelajaran tambahan di luar jam sekolah. "Itu berarti, guru yang bersangkutan sudah tidak sepenuhnya lagi mengajar. Dan bahayanya lagi, bisa tak obyektif lagi menilai murid-muridnya," katanya. Guru ini, yang dulu suka menulis cerita pendek di majalah sastra - Kisah dan Sastra, sekarang di majalah Horison mengaku memperoleh keuntungan dari menulis. Bukan hanya soal tambahan penghasilan, tapi "dalam menerangkan pelajaran bisa lancar." Berikut, tulisan Suci Ningrat Ratmana: "METODE mengajar yang dikenal dengan nama CBSA (cara belajar siswa - aktif) perlu digalakkan dan diintensifkan. Bila benar-benar dilaksanakan secara konsekuen, diharapkan bisa melenyapkan sikap santai para siswa dalam mengikuti pelajaran. "Sehubungan dengan itu, maka buku teks buat slswa menjadi sangat menentukan. Hendaknya diingat, dari buku itulah siswa menimba ilmu, bukan dari guru. Buku teks yang sekarang ada perlu direvisi! "Tapi tak berarti guru ganti bersikap santai. Guru pun harus aktif. Setiap guru yang masuk ke dalam kelas harus sudah memiliki sejumlah pertanyaan yang siap dilontarkan kepada siswa, sebagai pemancing kegiatan siswa. Pendek kata guru harus siap menjadi motivator kegiatan siswa. "Memang, menurut pengalaman saya, pada taraf permulaan, siswa merasa berat mengikuti metode CBSA. Selama jam pelajaran biasanya siswa merasa tegang, khawatir sewaktw-waktu kena lontaran pertanyaan guru. Tapi kalau sudah terbiasa, mereka justru tenggelam dalam keasvikan berdiskusi. Suasana kelas menjadi benar-benar hidup. Dan yang lebih penting lagi, tumbuh kesadaran pada diri siswa bahwa tlmu tidak selalu terpancar dari kehebatan seorang guru, melainkan bisa juga ditimba langsung dari buku." Dan, yang tak ditulis oleh Ratmana, tapi dikatakan kepada TEMPO, yakni dalam mengajar ia selalu menyelipkan humor. Pelajaran apa saja, katanya, bila dibumbui humor bisa diterima dengan enak oleh siswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus