Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru Tak Kencing Berdiri

Guru kini bukan lagi seorang yang mahatahu. Bahkan sejumlah peristiwa telah mencoreng nama guru. Meski ada yang membela, guru bukan malaikat.(pdk)

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru Namun akan selalu hidup dalam sanubariku Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku Sebagai prasasti terima kasihku untuk pengabdianmu (Himne Guru, ciptaan Sartono) TAPI dunia guru yang begitu tulus dan damai dalam lagu ciptaan seorang guru SMP di Madiun, Jawa Timur, itu kini terguncang. Cobalah simak berbagai peristiwa akhir-akhir ini yang melibatkan guru. Ibu Yayuk (bukan nama sebenarnya), kepala sebuah SD di Palembang, kini berurusan dengan polisi. Ia terlibat kasus kredit barang, dan tiga perusahaan menuntut ganti rugi jutaan rupiah kepadanya. Masih di Kota Sriwijaya itu, belum lama ini Barus (bukan nama sebenarnya), guru di sebuah SMA, berhantam dengan muridnya hingga babak belur, gara-gara Pak Guru dituduh pilih kasih dalam memberi nilai. Fuad (juga bukan nama sebenarnya), guru sebuah SMA di Medan kini terpaksa tak lagi mengajar. Ia dituduh berbuat yang bukan-bukan dengan seorang muridnya. Tuduhan itu sulit dibuktikan, tapi ditemukan foto sang guru dan murid lagi asyik berduaan. Yang senada dengan ini, seorang kepala SMP di Pati, Jawa Tengah, terpaksa dirumahkan karena ia - yang sudah berkeluarga - terlibat petualangan cinta dengan teman sekerjanya. Lain lagi di Tangerang, Jawa Barat, seorang guru agama SD terpaksa berurusan dengan polisi karena dituduh menjadi penadah barang curian. Belum lagi sejumlah ulah guru menghukum siswa secara tak proporsional. Seorang kepala SMP di Tuban, Jawa Timur, menjatuhkan hukuman tempeleng kepada sekelas siswanya karena mereka dilaporkan menolak kerja bakti. Konon, seorang siswa jadi sakit, siswa-siswa perempuan menangis. Dan seorang guru, yang mencoba membela para siswa, menemukan jalan buntu. Pihak kanwil P & K yang dilaporinya justru menyalahkan guru itu. Walhasil, Pak Guru yang melaporkan kejadian itu dimutasikan ke sekolah terpencil. Maka, kata Hamonangan Siregar (kali ini nama sebenarnya), guru matematika di SMA Yosua, Medan, tentang guru-guru yang berulah itu, "Mereka orang-orang yang tersesat masuk guru." Hamonangan, mungkin, memang perkecualian yang kini seperti makin langka. Ia menjadi guru sejak 1954, dan menolak ketika suatu saat kepadanya ditawarkan menjadi administrator pendidikan di Kantor Wilayah P & K. "Memindahkan ilmu kepada murid, itulah kebahagiaan," katanya. Salah satu kebangaannya seorang bekas muridnya kini adalah Wakii Kepala SMA di situ, Arifin Ismail . Biasanya, guru-guru yang mencintai profesinya memang menaruh kebanggaan pada murid-murid, bukan sebaliknya. Seperti Hamonangan, yang menurut rekannya tak pernah ringan tangan terhadap siswa dan sering kali dengan suka rela menggantikan guru yang lagi absen. Sikap seperti itulah agaknya yang mendukung keberhasilan belajar mengajar. Suhadi, guru SD Rejomulyo, Kediri, Jawa Timur, yang merangkap mengajar di sebuah SMP swasta, begitu pula. Guru yang lahir 44 tahun yang lalu ini, yang sejak kecil memang sudah bercita-cita Jadi guru, mengamati citra guru kini "buram". Kurang jelas yang dimaksudkan, tapi ia mengaku sangat prihatin dengan berbagai kasus yang melibatkan guru, terutama kasus antara guru dan murid. "Maunya anak-anak sekarang, guru itu, ya, seperti orangtuanya sekaligus sahabat," kata Suhadi. Bapak lima anak ini tidak cuma berteori. Sejak 1966 ia punya kerja sambilan sebagai tukang cukur. Istimewanya, tidak pasang tarif, dan sebagian "klien"-nya adalah murid-muridnya sendiri. "Dan saya kok masih dihormati sebagai guru," katanya. Suhadi contoh seorang guru yang tidak mengeluhkan nasib guru, tapi juga tidak hanya pasrah. Selain membuka bisnis mencukur, ia suka pula menulis artikel di suratsurat kabar. Pada 1982, Suhadi memenangkan sayembara mengarang tingkat nasional tentang pembinaan bahasa Indonesia. Bahkan tahun lalu, ia sempat bersalaman denganPresiden, karena memenangkan lomba mengarang tentang pahlawan. Dari pengalaman 24 tahun berdiri di depan kelas, ia mengakui, "Zaman sudah berubah, guru bukan lagi manusia super yang serba tahu." Dan memang itulah yang kini diharapkan para siswa. "Guru mestinya jangan otoriter, minta pendapatnya harus dianggap mutlak benar," kata Siswanto, siswa kelas III IPS SMA Pembangunan, Bandung. Menurut pengalaman dan pengamatannya, bila ada guru yang mau menang sendiri, siswa lantas bersikap masa bodoh. "Akibatnya, pelajaran tak berjalan lancar," tuturnya. Atau, seperti kata Pater Drost, Kepala SMA Kanisius, Jakarta, "Guru harus berani mengatakan tidak tahu," kalau ada pertanyaan siswa yang tak dapat dijawabnya. Menurut Drost, Guru sebenarnya tak bisa berbuat apa-apa, bila bibit yang diasuhnya kurang baik." Tapi, adilkah guru disorot begitu tajam, sementara keburukan di profesi-profesi lain juga tak kurang serunya? Memang tidak, kata K.H. E.Z. Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia. "Bukan hanya guru yang mengalami erosi nilai," kata ulama ini. "Masalahnya, karena guru adalah orang pertama yang berhubungan dengan anak-anak sesudah orangtua mereka, erosi nilai pada guru terasa lebih mengkhawatirkan." Kiai ini, yang juga Rektor Universitas Islam Bandung, tak bisa sepenuhnya menuding guru yang ringan tangan sebagai semata kesalahan guru. "Guru itu bukan malaikat atau nabi," tambahnya. Maksudnya, bila seharian seorang guru harus bertugas mengajar 10 jam di beberapa sekolah untuk mencukupi kebutuhan hidup, bila ia gampang tersinggung dan naik darah, harap dimaklumi. Maka, seorang ibu, Nyonya Kusnandiah, 44, guru di SD Tebet Barat, Jakarta Selatan, patut ditampilkan. Istri seorang pensiunan pegawal negeri, ibu tujuh anak, ini punya Kesibukan lumayan. Pagi ia mengajar d SD, siangnya di sebuah SMP swasta. Masih pula ia membuka les privat matematika di rumah. Ditambah lagi masih menjadi mahasiswa di Lembaga Administrasi Negara. Yang harus dipuji, ia tak menelantarkan tugasnya. Menurut kepala sekolahnya di SD Tebet Barat, Bu Kus tak pernah absen. Hubungan dengan anak didiknya boleh dikata akrab. Seperti yang sempat diintip TEMPO pekan lalu. Ibu guru itu, yang wajahnya mencerminkan seorang berkemauan keras, ternyata begitu fasih menjelaskan bab-bab matematika, sementara sekitar 40 siswa mendengarkan denan antusias. Sewaktu Ibu Guru itu kemudian melemparkan pertanyaan, banyak siswa langsung mengacungkan jarinya, siap menjawab. "Gaji guru sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup guru," kata Kusnandiah, kelahiran Yogya 44 tahun yang lalu. Ia ingin menjelaskan, menjadi guru yang baik pun membutuhkan uang. Kuliahnya di Lembaga Administrasi Negara itu, misalnya, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tapi juga untuk kemajuan sekolah. Ia kini dicalonkan menjadi kepala sekolah. Tapi tidak semua orang berani menghadapi realita dengan usaha. Banyak kemudian yang menengok tempo dulu, ketika gaji guru dianggap cukup. J. Sugimin misalnya, guru bahasa daerah di SMPN V, Yogyakarta. Pak Guru yang kini berusia 51 tahun itu bernostalgia. Dulu, begitu ceritanya, ia berani menanggung biaya seorang muridnya yang memang tidak mampu. "Akhirnya, ia rulus," katanya dengan senyum. Sementara itu, hidup Pak Sugimin, bapak tujuh anak, seperti tak beranjak: dari dulu hingga kini ia selalu, naik sepeda ke mana pergi. Dan tidak cuma gaji yang merosot harganya. Juga mutu. Kata Soemarjono, 50, Kepala SPGN I,, Yogyakarta, "Umumnya, mutu guru sekarang lebih rendah dibandingkan dengan guru keluaran tahun 1960-an ke belakang. Adapun sebabnya, "Penerimaan calon guru dan uJlannya kini memang lebih longgar." Dan itu ada sebabnya. Yakni, bila ujian itu diperketat, "Jangan-jangan kita segera kehabisan guru," kata Kepala SPG itu. Ada yang terkesan, baik dari wawancara maupun dari poll (Lihat: Dari Diktat Gombal sampai yang Menyesal) bahwa para guru lebih bersikap defensif. Sikap bertahan untuk membenarkan diri itu bisa mencerminkan ketertutupan guru. Juga, bisa menunjukkan kurangnya kreativitas pada mereka. Seandainya kesan itu benar, suatu perubahan sikap dan citra guru masih jauh terbayangkan. Padahal, kini, sebagian orangtua muridyang diwawancarai TEMPO ternyata memahami kesulitan guru. Soekarsono, Ketua Persatuan Orangtua Murid dan Guru SMPN 115, Jakarta, menyadari benar pengaruh lingkungan sosial anak bisa lebih kuat daripada pengaruh guru. "Anak-anak tak akan menjadi baik jika hanya dididik oleh guru. Orangtua harus pula membimbing anaknya sendiri," katanya. Itu pun belum cukup. Semestinya jaringanitu tak terbatas pada sekolah dan rumah. Tapi juga tempat-tempat yang bisa mendatangkan pengetahuan, seperti perpustakaan, pabrik, tanah pertanian, bengkel, dan museum .... Bukan untuk membebaskan guru dari tugasnya, tentu. Tapi, dalam jaringan itu, diharapkan guru jadi pembangkit motivasi mengapa seorang murid harus belajar di bengkel las, murid yang lain harus tekun di perpustakaan. Dengan demikian, tuntutan kepada guru pun akan bergeser. Seorang murid yang tak naik kelas kemudian tak akan lagi mengancam gurunya dengan golok. Murid itu tahu, bukan hanya guru yang menentukan jalan hidupnya kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus