Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Ibu di Yogyakarta Desak Polisi dan Tentara Hentikan Kekerasan terhadap Mahasiswa

Gerakan Suara Ibu meminta aparat keamanan menghentikan tindakan represif aparat keamanan terhadap mahasiswa yang demo menolak UU TNI.

29 Maret 2025 | 13.12 WIB

Aksi demonstrasi Gerakan Suara Ibu Indonesia sebagai dukungan bagi perjuangan mahasiswa di kawasan Sarinah, Jakarta, 28 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Aksi demonstrasi Gerakan Suara Ibu Indonesia sebagai dukungan bagi perjuangan mahasiswa di kawasan Sarinah, Jakarta, 28 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan perempuan Suara Ibu memprotes berbagai tindak kekerasan oleh polisi dan tentara terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Mereka berdemonstrasi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Sabtu sore, 29 Maret 2025.

Juru bicara Suara Ibu Sari Oktafiana mengatakan sebagai ibu-ibu yang cinta dan peduli pada masa depan bangsa dan generasi muda, mereka menyerukan aparat keamanan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap demonstrasi mahasiswa. Para perempuan ini juga meminta pemerintah menindak tegas aparat yang melakukan tindakan represif dan melanggar hak asasi manusia. 

Mengutip laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, ada 136 kasus kekerasan oleh polisi dan 12 kasus kekerasan oleh personel TNI dalam berbagai aksi belakangan ini. Saat mahasiswa sedang mendapatkan perawatan dari tenaga medis, demonstran mengalami kekerasan. Aparat juga melakukan tindakan represif kepada tim medis dan jurnalis. “Praktek kekerasan ini melanggar hak asasi manusia, mengancam kebebasan berpendapat, dan melawan konstitusi,” kata Sari melalui siaran tertulis yang dikirim ke Tempo, Sabtu, 29 Maret 2025. 

Menurut dia, praktek kekerasan terhadap warga sipil merupakan tanda kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia dan menyempitkan ruang sipil. Polisi dan tentara, kata Sari, merupakan aparat negara yang memiliki keabsahan untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan negara, tapi bukan untuk memukuli mahasiswa. 

Sari mengatakan, aparat seharusnya mengedepankan pendekatan yang humanis, persuasif, dan terbuka terhadap dialog, bukan merespons dengan kekerasan.

Menurut Sari, Indonesia memiliki sejarah kelam praktik pembungkaman suara masyarakat, praktik kekerasan, penculikan warga sipil, bahkan pembunuhan aktivis dan mahasiswa pada masa kepemimpinan rezim Orde Baru. “Kami tidak menginginkan sejarah gelap itu terulang lagi. Sudah saatnya aparat, baik polisi maupun TNI, mengevaluasi ulang pendekatan mereka dalam merespons aspirasi publik, serta berbenah diri dalam menyikapi aksi demonstrasi,” katanya. 

Suara Ibu juga mendesak pemerintah segera membatalkan Undang-Undang TNI dan menolak Rancangan Undang-Undang Polri. Kedua regulasi itu, kata dia berpotensi memperluas peran aparat keamanan, militer maupun kepolisian dalam kehidupan sipil. 

Hal itu menurut mereka akan membuka ruang bagi menguatnya militerisme, menyempitkan ruang sipil, memperburuk situasi hak asasi manusia di Indonesia, dan meningkatkan potensi kembalinya otoritarianisme. Keterlibatan aparat keamanan dalam urusan sipil, kata Sari, hanya akan memperpanjang siklus kekerasan dan mempersempit ruang demokrasi bagi masyarakat.

Selain itu, pemerintah hendaknya juga menjamin ruang demokrasi yang aman bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut. 

Gerakan perempuan dari beragam latar belakang itu juga mendorong solidaritas sesama kelompok masyarakat sipil agar tidak mudah diadu domba dalam melawan otoritarianisme dan praktik kekerasan oleh negara. “Kami akan terus mengawal isu ini untuk berdiri bersama mahasiswa dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih baik,” kata Sari. 

Pilihan Editor: Suara Ibu Indonesia: Tindak Kekerasan Aparat ke Pendemo Tolak RUU TNI Bukti Pemerintah Antidemokrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus