Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
DI bawah langit abu-abu yang mengepung kawasan Istana Negara, payung hitam Sumarsih mengembang. Hari itu, 19 Januari lalu, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan, korban pelanggaran hak asasi manusia berat, tersebut mengikuti aksi Kamisan yang ke-760. Ia menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat yang menewaskan putranya.
Delapan hari sebelum aksi itu, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Salah satunya peristiwa Semanggi I, yang membuat putra Sumarsih rebah diterjang peluru. Namun tak ada kelegaan di hati Sumarsih. Hatinya tetap porak-poranda.
“Kenapa baru sekarang menyesal? Jokowi sudah berjanji menuntaskan pelanggaran HAM berat saat kampanye pemilu presiden 2014,” ujar Maria Catarina Sumarsih—nama lengkap Sumarsih—kepada Tempo, Jumat, 20 Januari lalu. Kekesalan penerima Yap Thiam Hien Award 2004 itu bertambah karena Presiden tak menyampaikan permintaan maaf untuk korban dan keluarganya.
Seperti ratusan pekan sebelumnya, salah satu penggagas aksi Kamisan ini berdiri hampir tiga jam menghadap kantor presiden. Bersamanya sekitar 300 orang juga berunjuk rasa menyerukan perlawanan terhadap impunitas para pelaku kejahatan kemanusiaan. Mereka adalah korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya, aktivis hak asasi, seniman, serta akademikus.
Baca: Cerita Sumarsih Bertahan di Aksi Kamisan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo