Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH sebelum Presiden Joko Widodo mengakui 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada 11 Januari lalu, Afrika Selatan sudah mengusut kejahatan serupa 28 tahun silam. Nelson Mandela, pemimpin negara itu, membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 1995 untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat akibat penerapan politik apartheid.
“Komisi Kebenaran di Afrika Selatan menjadi rujukan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi di berbagai negara,” kata Marzuki Darusman, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 1993-1998, saat dihubungi pada Selasa, 17 Januari lalu. Pemerintah Indonesia termasuk yang pernah mempelajari cara kerja Komisi Kebenaran di Afrika Selatan.
Segregasi ras terjadi di Afrika Selatan sejak Partai Nasional berkuasa pada 1948. Selama hampir setengah abad, diskriminasi dan kekerasan menimpa warga non-kulit putih. Komisi Kebenaran dibentuk untuk mencatat pelanggaran HAM berat serta memberikan kompensasi dan rehabilitasi untuk korban yang diduga mencapai puluhan ribu orang.
Baca: Jejak Apartheid di Pulau Maut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marzuki bercerita, Presiden Abdurrahman Wahid sempat ingin membentuk lembaga serupa di Indonesia. Waktu itu Marzuki menjabat Jaksa Agung. Pemerintah lantas mengutus delegasi yang dipimpin Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Hasballah M. Saad dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, H.S. Dillon, melawat ke Afrika Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepulang dari sana, Hasballah dan Dillon memaparkan cara kerja Komisi Kebenaran. Lembaga ini diberi mandat besar untuk meneliti pelanggaran HAM berat, merumuskan program rehabilitasi untuk korban dan ahli warisnya, serta mempertimbangkan permohonan amnesti. Komisi Kebenaran menerima lebih dari 22 ribu aduan dari korban politik apartheid.
Marzuki menyebutkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sangat krusial untuk menuntaskan pelanggaran hak asasi di Afrika Selatan. “Tim itu bekerja secara paralel untuk menuntaskan kasus secara yudisial dan non-yudisial,” ujar mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 ini.
Pada 2004, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan. Seperti di Afrika, anggota KKR menerima aduan dan menyelidiki pelanggaran HAM berat. Namun payung hukum itu pupus dua tahun kemudian. Pada Desember 2006, Mahkamah Konstitusi mencabutnya karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan Mahkamah menjawab uji materi yang diajukan sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Organisasi itu di antaranya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, serta Imparsial.
Mahkamah cuma membatalkan pasal 27 tentang pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada korban jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Namun hakim menyatakan implementasi UU KKR bergantung pada pasal 27 sehingga regulasi itu harus dibatalkan. Hakim I Dewa Gede Palguna satu-satunya yang menyatakan pendapat berbeda.
Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, pernah bermukim di Afrika Selatan selama tiga bulan untuk mempelajari cara kerja Komisi Kebenaran pada 2006. Ia dimentori langsung oleh Alexander Lionel Boraine, Wakil Ketua Komisi Kebenaran. “KKR menjadi salah satu kunci keberhasilan Afrika Selatan menangani pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu,” tuturnya.
Baca: Di Balik Ide Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Haris bercerita, Komisi Kebenaran melibatkan partisipasi publik yang luas ketika mengungkap kekejaman politik apartheid. Alih-alih mengaburkan fakta, testimoni korban justru disiarkan melalui radio dan dibahas dalam forum diskusi terbuka. Ada pula pelaku yang diganjar dengan kewajiban membasuh kaki korban sebagai simbol permintaan maaf.
Mantan Koordinator Kontras itu juga pernah mendalami penanganan kasus pelanggaran hak asasi di Amerika Latin. Salah satunya Argentina. Ia melawat ke Negeri Tango delapan tahun lalu dan beberapa kali hadir dalam persidangan yang menyeret para perwira ketika junta militer berkuasa di negara itu pada 1976-1983.
Dikenal sebagai peristiwa "Dirty War", sejumlah jenderal mengkudeta Presiden Isabel Peron pada Maret 1976. Junta militer lantas menangkap dan menyiksa kelompok oposisi, aktivis, dan jurnalis di kamp tahanan. Tak ada yang dapat memastikan jumlah korban tewas dan hilang selama periode itu. Sejumlah sumber menyebutkan sedikitnya 30 ribu orang terbunuh dan hilang.
Pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di sana sempat macet selama dua dasawarsa. Pemerintah Argentina memutuskan untuk membuka lagi perkara itu pada 2003. Menurut Haris, sejumlah kolonel yang sudah renta dihadirkan kembali di persidangan untuk diadili. “Pemerintah Argentina punya kemauan politik untuk mengusut pelanggaran hak asasi sampai tuntas,” ujarnya.
Filipina menempuh strategi lain untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Presiden Benigno Aquino III membentuk Human Rights Victims’ Claims Board lewat undang-undang yang disahkan pada 2013. Lembaga itu menerima, mengevaluasi, dan menginvestigasi klaim reparasi yang diajukan korban pelanggaran HAM dalam kurun 1972-1986.
Pada periode tersebut, Presiden Ferdinand Marcos yang sedang berkuasa menerapkan kebijakan darurat militer. Rezim diktator yang didukung tentara menangkap, menyiksa, dan membunuh kelompok oposisi—termasuk senator Benigno “Ninoy” Aquino Jr., ayah Aquino III. Amnesty International mencatat sedikitnya 3.200 orang tewas dan sekitar 34 ribu lainnya disiksa.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, Agus Widjojo, menyebutkan pembentukan Badan Klaim itu merupakan bagian dari Komisi Peringatan Korban Pelanggaran HAM. Anggotanya bekerja secara independen untuk memverifikasi tuntutan dari korban ataupun keluarganya. Klaim dari korban akan diberi skala satu sampai sepuluh untuk menentukan alokasi santunan.
Keluarga korban yang mengadukan kehilangan dan pembunuhan kerabatnya diberi nilai 10. Penyiksaan mendapat 6-9 poin, penahanan 3-5 poin, dan aksi kekerasan lain skornya 1-2 poin. Nilai 1 akan diberi bantuan senilai 176.779 peso—setara dengan Rp 48,9 juta—dan korban pembunuhan akan memperoleh sepuluh kali lipatnya. Korban juga menerima pelayanan kesehatan.
Baca: Kenapa Kasus Paniai Bisa ke Pengadilan
Bekerja selama lima tahun, Badan Klaim menerima lebih dari 75 ribu tuntutan. Namun lembaga itu hanya menyetujui 11 ribu nama korban pelanggaran HAM berat yang berhak memperoleh kompensasi. Duit santunannya berasal dari aset keluarga Marcos yang disita.
“Sistemnya terbangun dengan cukup bagus untuk menangani pelanggaran HAM berat,” kata Agus, purnawirawan letnan jenderal yang juga mantan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste.
RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo