Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ernest Douwes Dekker merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada 8 Oktober 1879. Ia terlahir dari pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menggunakan nama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker sejak kecil dan baru menggunakan Nama Danudirja Setiabudi, yang merupakan nama pemberian Presiden Sukarno setelah Indonesia merdeka. Danu memiliki arti yaitu banteng, Dirja berarti kuat dan tangguh, dan Setiabudi memiliki arti berbudi setia. Sukarno berkeinginan nama Danudirja dapat diabadikan sebagai singkatan dari DD menggantikan Douwes Dekker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir dari Diskerpus.lebakkab.go.id, Danudirja pernah menikah sebanyak 3 kali selama hidupnya. Pernikahan pertamanya yaitu bersama dengan Clara Charlotte Deije (1895-1968), anak dokter campuran Jerman-Belnada pada tahun 1903. Mereka dikaruniai 5 orang anak namun kedua anak laki-lakinya meninggal saat masih bayi. Mereka pun sepakat untuk bercerai pada tahun 1919.
Ia pun menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel pada tahun 1927. Danudirja diasingkan ke Suriname pada tahun 1941, namun berhasil kabur dari Suriname dan sementara menetap di Belanda, ia dirawat oleh Nelly Alberta Geertzema, janda beranak satu. Bersama dengan Nelly, ia pulang kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama samaran yaitu Danudirja Setiabudi dan Haroemi Wanasita kemudian menikah setelah mengetahui Johanna, istri keduanya sudah menikah lagi.
Perjuangan Danudirja di Bidang Jurnalistik dan Politik
Danudirja kembali ke Hindia Belanda pada 1902 dan menjadi reporter koran Seamrang terkemukan. De Locomotief di bawah pimpinan P. Brooschoft. Danudirja mulai mengasah kemampuannya dalam berorganisasi. Danudirja berkarir di bidang jurnalistik dengan bergabung dengan Soerabaiasch Handelsblad serta menjadi salah satu staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad.
Setelah memiliki pengalaman di Bataviaasch Nieuwsblad, ia memutuskan mendirikan surat kabar miliknya sendiri yaitu majalah Tijdschrift yang nantinya berganti nama menjadi majalah De Express.
Danudirja tahu bahwabidang jurnalistik dapat menjadi sebuah alat perjuangannya melawan pemerintah kolonial Belanda. Selama berprofesi sebagai wartawan, ia tak jarang membuat tulisan-tulisannya yang pro terhadap kaum Indo dan pribumi. Hal ini membuatnya masuk daftar orang yang ada dalam radar intelijen pemerintah kolonial.
Selain aktif dalam bidang jurnalistik, rumahnya juga menjadi wadah untuk tempat berkumpul dan berdiskusi para perintis gerakan kebangkitan nasional seperti Soetomo dan Cipto Mangunkusumo (pelajar STOVIA). Ia juga memberikan bantuan untuk mendirikan organisasi Budi Utomo.
Perjuangannya di Bidang Pendidikan
Danudirja, Tjipto dan Soewardi tergabung ke dalam Insulinde memperkokoh perjuangan dalam bidang politik. Insulinde berubah nama menjadi Nationaal Indische Partij pada tahun 1919 dan diketuai oleh Soewardi.
Pada tahun 1921 akhirnya pemerintah kolonial resmi membubarkan Nationaal Indische Partij yang dianggap membahayakan dan menggangu ketertiban umum. Setelah Nationaal Indische Partij dibubarkan, Danudirja meninggalkan Semarang menuju Cibadak dan mulai beternak ayam untuk sehari-hari.
Ia pun memutuskan untuk mengubah haluan perjuangannya dari politik menjadi pendidikan karena usianya yang sudah tidak muda. Danudirja melihat masih adanya diskriminasi pendidikan pada saat tu dan akhirnya tergerak untuk mempropagandakan sebuah pemikiran dan pembelajaran tentang makna nasionalisme sebagai tujuan akhir yaitu Hindia Belanda memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan yang tidak mudah.
Pada 1923, muncul Institut Pengajaran Priangan dan perkumpulan pengajaran rakyat di Bandung.
Danudirja siap mengbadikan jiwa dan raga untuk kemajuan pendidikan di Hindia Belanda. Sejak November 1924, lembaga Priangan diubah menjadi yayasan yang bernama School Vereeniging Het Kesatrian Instituut atau sering disingkat Kesatrian Institut.
Jabatan ketua yayasan dipegang oleh Danudirja dan istrinya bertindak sebagai Sekretaris. Pada mulanya sekolah sekolah Ksatrian hanya sebuah sekolah dasar yang sederhana dengan tujuan memberikan kesempatan belajar yang lebih baik bagi rakyat Hindia Belanda.
Pada Januari 1941 Danudirja ditangkap dan ditahan di Ngawi dengan tuduhan menjadi kaki tangan Jepang. Hal itersebut karena adanya rencana pengiriman pelajar lulusan sekolah Ksatrian ke Jepang. Tuduhan itu hanya alasan yang dicari-cari oleh pemerintah kolonial untuk menangkapnya.
Penangkapan Danudirja membuat kepemimpinan Ksatrian Institut terombang-ambing hingga pada bulan Februari 1941, Danudirja membuat surat kuasa yang isinya memberikan kekuasaan penuh kepada istrinya saat itu, Johanna untuk menjaga kelangsungan hidup sekolah Ksatrian.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi kembali ke Indonesia dan turut dalam perjuangan kemerdekaan. Ia ditangkap dan dipenjarakan kembali Belanda. Setelah itu, ia pun dibebaskan dan menetap di Bandung dan wafat pada 28 Agustus 1950.
VALMAI ALZENA KARLA