Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pengadilan maut digelar. Ruangannya begitu sempit, di bawah gundukan tanah makam. Hakimnya malaikat Munkar dan Nakir. Bila si pendosa tak mampu menjawab pertanyan si malaikat seputar rukun iman, tak ayal, siksaan akan merajamnyapertanyaan diajukan dalam bahasa Arab, semisal, "Man Rabbuka?" atau "Siapa Tuhanmu?" Sebab itu, muncul tradisi talqin, menuntun almarhum agar kelak mampu "menghadapi" sang hakim yang gencar mencecar pertanyaan. Buku-buku tentang "hidup sesudah mati" atau "siksa kubur" banyak pula yang mengisahkan peristiwa itu.
Benarkah kematian begitu mengerikan? Jawaban seputar misteri alam kubur itu akan diulas dalam kajian bertema "Metode Menjemput Maut", yang digagas Universitas Paramadina Mulya di kompleks Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Di situlah selama sebulan lebih, mulai Sabtu pekan lalu, para pakar Islam, antara lain Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, dan Jalaluddin Rakhmat, akan bicara panjang. Studi tentang pengalaman nyaris mati (near death experience, disingkat NDE), yang sedang bergemuruh di Barat, tak akan dilewatkan. Kiat meraih khusnul khatimah, mengakhiri hidup dengan baik, juga diberikan. Penting, memang. Apalagi, "Siksaan itu sangat mengerikan," kata Ustad Didin Hafidhuddin, pengasuh Pesantren Ulil Albab di Bogor.
Kepercayaan akan siksa kubur bukannya tanpa dasar. "Sudah jamak di kalangan santri, dan kaum muslimin pada umumnya, jika di tengah salatnya, saat duduk tahiyat akhir, mereka memanjatkan doa yang berbunyi, "Allahumma inni a'udhu bika min 'azabil jahannama wa min 'azabil qabri..." (Ya Allah, sungguh aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka dan siksa kubur .). Ancaman maut pascakematian dan doa siksa kubur ini, sebagaimana diakui K.H. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, memang diajarkan di kebanyakan madrasah dan pesantren.
Imam Ghazali, ahli fikih terkemuka abad ke-14, bahkan menggambarkan sesuatu yang menakutkan justru sejak sakaratul maut, meregang ajal. Muncul rasa sakit yang luar biasa, kata penulis buku klasik monumental Ihya 'Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) itu. Cuma, "Rasa sakit sakaratul maut tidak dapat diketahui dengan pasti kecuali oleh yang merasakannya," kata Ghazali. Berdasarkan beberapa riwayat, Nabi Muhammad juga menderita sakit sebelum kemudian meninggal dunia. Untuk meraih akhir kehidupan yang baik, seperti yang disebutkan dalam hadis, selain iman dan amal saleh, ucapan laa ilaaha illallah (tiada Tuhan kecuali Allah) ketika maut bakal menjemput merupakan bekal ampuh.
Tapi, Kautsar Azhari Noer, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, tak bisa menerima penafsiran literal semacam siksaan di alam kubur itu. Menurut doktor dalam bidang tasawuf ini, soal siksa kubur itu merupakan mitos yang dimaksudkan untuk mendidik umat kebanyakanyang lebih bisa memahami pesan agama lewat ancamanagar taat beribadah. Ia tak tahu persis ihwal ada tidaknya siksa kubur. Yang jelas, Kautsar melihat penggambaran sesuatu yang gaib dengan bahasa manusia semacam itu tidak pas. "Itu personifikasi atas sesuatu yang gaib, " kata Kautsar, yang mengaku tidak berani menjelaskan soal-soal eskatologis semacam ini. Hal gaib itu sejatinya realitas yang tidak bisa digambarkan.
Penggambaran menakutkan itu kebetulan memang tidak sesuai dengan studi empiris kontemporer tentang pengalaman nyaris mati di Barat. Sebuah riset dilakukan oleh dokter dan filsuf Raymond Moody pada 1975 terhadap sejumlah responden yang pernah dinyatakan mati oleh dokter tapi kemudian hidup kembali. Hasil riset menunjukkan, selama kematian fisik itu, banyak responden yang mengungkapkan fenomena penampakan sesosok "Cahaya" yang cemerlang dan bersifat melindungi, hangat, penuh kasih, tidak menghakimi, dan dianggap malaikat atau Tuhan. Pendek kata, para responden mengalami berbagai fenomena serba indah dan membahagiakan. (Baca boks: Mat Suri dalam Buku)
Cara pandang ahli tasawuf menyangkut kematian agaknya lebih klop dengan kesimpulan riset ini. Sebab, para sufi, yang berhubungan dengan Tuhan dengan penuh rasa cinta, tidak memandang kematian sebagai sesuatu yang menakutkan. Mereka bahkan "merindukan" kematianyang bagi mereka merupakan pintu menuju sang Pencipta. Bahkan, wanita sufi Rabiah Aladawiyah dalam puisinya mengatakan, "Ya Allah, lemparkan aku ke dalam neraka jika ibadahku kepadaMu karena takut neraka." Kematian adalah momentum kembalinya roh manusiayang digambarkan sebagai cahayake haribaan sang Mahacahaya. "Kematian bukanlah jalan yang penuh ranjau," kata Kiai Mustofa Bisri.
Tapi, Dr. Jalaluddin Rakhmat, pemerhati tasawuf dari Yayasan Mutahhari, Bandung, menyangsikan kisah nyaris mati ini sebagai jalan spiritual. "Itu mungkin sekadar rangkaian informasi dan komunikasi antarsel saraf dalam kondisi tubuh tidak normal," kata Jalaluddin. Ada yang berpikiran beda. Dr. Hanna Jumhana, ahli psikologi transpersonal Universitas Indonesia, menilai bahwa studi itu bisa dipakai. "Lewat pengalaman orang yang nyaris mati itulah kita mencoba mencari gambaran kematian yang lebih jelas, " kata Hanna Jumhana. Tampaknya, tafsir ilmiah menyangkut sang maut memang diperlukan.
Kelik M. Nugroho, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo