Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tagar #JanganJadiDosen yang belakangan ramai di media sosial X dipandang menjadi ungkapan realita upah dan kesejahteraan dosen. Munculnya tagar itu bermula dari cuitan warganet tentang minimnya gaji dosen yang tidak sesuai dengan beratnya beban kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi hal tersebut, pakar kebijakan publik di Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo, menyebutkan pemerintah perlu menetapkan standar kebijakan upah dosen yang lebih optimal. “Kita perlu kembali ke grand design pendidikan Indonesia yang belakangan ini terus berubah,” ujar Gitadi melalui keterangan tertulis, Senin, 4 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gitadi mengungkapkan bahwa terdapat kesenjangan signifikan pada kebijakan upah dosen di Indonesia. Permasalahan ini muncul sebagai akibat dari kebijakan negara khususnya di bidang pendidikan. Di sisi lain juga ada tuntutan ekonomi.
"Dulu, lulusan terbaik itu biasanya menjadi dosen, sekarang lebih memilih bekerja di bidang lain yang tunjangan atau gajinya juga lebih baik,” kata Gitadi.
Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia yang dinamis juga menjadi salah satu pemicu permasalahan ini. Orientasi lulusan sarjana dan diploma yang berubah juga berpengaruh pada profesi dosen, baik dari aspek kualitas maupun kebijakan yang menaunginya.
“Kalau dulu itu pembagiannya yang orientasi pekerjaan itu diploma, kalau pengembangan ilmu sarjana sampai doktor. Tapi sekarang sudah berubah, semua kaitannya dengan pekerjaan," katanya sambil menambahkan, "Perubahan ini secara langsung maupun tidak berdampak pada profesi dosen.”
Dampak Jangka Pendek dan Panjang
Salah satu dampak minimnya upah adalah bahwa para dosen terkadang harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya, kata Gitadi, kualitas pengajaran mengalami penurunan. Ini dimaklumi Gitadi karena kebutuhan fisik masih menjadi yang utama di Indonesia.
"Memang menjadi dosen itu pilihan, tapi dalam praktiknya orang Indonesia bisa dari sumber lain karena untuk memenuhi kebutuhan,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu.
Sementara itu, dampak jangka panjangnya, akan terjadi penurunan minat generasi muda untuk menjadi dosen di masa mendatang. Di sisi lain, menurut Gitadi, kualitas dosen juga terprediksi akan mengalami penurunan sebab dosen tidak lagi menjadi profesi yang banyak digandrungi.
“Sekarang ini yang terjadi adalah menurunnya tingkat kompetisi menjadi dosen. Selama kebijakan yang ada masih seperti ini maka penurunan ini akan terjadi,” tuturnya.
Solusi, Gitadi memandang bahwa pemerintah melalui kementerian terkait seharusnya kembali kepada grand design awal pendidikan Indonesia. Pemerintah perlu memberikan standar yang lebih jelas terkait rekrutmen dan penetapan gaji dosen melalui klasterisasi.
“Beri penghargaan bagi mereka yang terpanggil jadi dosen,” ucapnya.