TUNTUTAN buruh dan pengusaha selalu bertolak belakang. Ketika buruh menuntut upahnya dinaikkan, para pengusaha minta agar ketentuan kenaikan upah minimum -- misalnya di Jabotabek dan Jawa Barat yang Rp 3.800 itu -- ditangguhkan dulu. Alasannya pun serupa: perusahaan sedang rugi. Buruh memang acap menjadi korban pemangkasan ongkos produksi. Kalau ada gerakan efisiensi, langkah mudah yang dilakukan pengusaha adalah memangkas jumlah buruh atau jam kerja. Tapi, bila untung menggembung, belum tentu upah naik. Contohnya PT Ria Star Angkasa, Surabaya. Biarpun ekspornya meningkat, tetap saja buruh di sana dibayar pas upah minimum regional, Rp 3.000. Bila dibandingkan dengan total ongkos produksi, komponen upah termasuk relatif kecil. Menurut penelitian SBSI, upah hanya makan 8% ongkos produksi, lebih kecil daripada "biaya siluman" yang mesti disetor pengusaha -- konon sekitar 25-30%. Aktivis LBH Surabaya, Munir, dalam penelitiannya di 650 perusahaan di Malang tahun 1989, menemukan: pada sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, rasio upah terhadap ongkos produksi 4,5%. Industri kimia, minyak bumi, batubara, dan karet plastik 7,7%, sedangkan sektor industri barang logam dan mesin 19,9%. Yang lumayan industri kayu, perabot rumah tangga: 30,4%. Kenaikan upah minimum regional -- di Jakarta dari Rp 3.000 menjadi Rp 3.800 -- itu hanya sedikit menaikkan persentasenya terhadap ongkos produksi. Kalau dipakai hitungan SBSI, dengan kenaikan itu, rasio upah menjadi sekitar 10%. Padahal, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Timur, Bambang Soedarsono, rasio upah buruh idealnya adalah 18- 20%. "Jika komposisi ini tercapai, kebutuhan hidup minimum buruh dapat terpenuhi," kata Bambang. Menurut Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief, banyak pengusaha yang belum mau membayar sesuai dengan upah minimum. Di Jakarta dan sekitarnya, masih ada 251 pengusaha (2,6%). Bayangkan, upah minimum itu hanya 80% dari kebutuhan fisik minimum. Bagaimana buruh hidup layak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini